Kamis, 05 April 2018

Puisi Sukmawati: Relasi Ilmu dan Amal

"Aku Tidak Tahu Syariat Islam"

Demikian potongan kalimat dalam puisi yang dibacakan oleh Ibu Sukmawati yang belakangan ini heboh dan bahkan menjadi bahan gunjingan publik. Sebelum diteruskan, nampaknya anda menuduh saya pro dengan ibu sukmawati. Tidak. Penyebutan ibu disitu say sandingkan karena usia beliau dan penghormatan kami kepada ayahnya, Bung Karno.

Setelah itu, tidak ada kalangan intelektual yang bersuara dari perspektif kebebasan berpendapat yang menjadi penanda sebuah negara-bangsa yang demokratis, saling menghargai, dan saling menghormati.

Hilang sudah ruang ekspresi terbuka bagi karya seni dan sastra yang sejatinya keterbukaan ruang itulah nyawa dari lahir, berkembang, dan terartikulasinya karya-karya besar budaya kita.

Artikel lainnya:

Para ahli semantik dan hermeneutika diam seribu bahasa, tak ada satu pun yang mencoba menjelaskan ulang teori "The Death of The Author" yang dulu diurai Roland Barthes dan menjadi landas epistemik tentang dimana dan sampai mana batasan otoritas penulis/pengucap dengan kuasa pembaca/pendengar.

Lupa sudah kita semua pada makna terdalam dari keterangan "Istanthiq al-Qur'an" yang mengasumsikan bahwa kitab suci sekalipun tak bisa dihalang dan dilindungi sepenuhnya dari interpretasi para pembacanya yang terkadang minim kompetensi.

Lebih dalam, raib sudah nilai bersama kita selama ini yang menghasratkan kebebasan dan mempercayakan proses pertentangan apapun di ranah publik pada mekanisme hukum formal, bukan mobilisasi massa dan/atau penggiringan opini.

Sahabatku sesama warga bangsa,

Saya tidak berpretensi untuk menilai benar-salah karya sastra yang dibacakan Ibu Sukmawati itu, termasuk perbandingan yang termuat didalamnya. Saya pun tidak berminat untuk terseret pada arus massa pendukung-pelawan pendapat personal Ibu Sukmawati dalam karya sastra yang dibacakannya saat itu. Hal yang ingin dicetak tebal disini adalah soal potongan kalimat di puisi itu dalam relasinya dengan ilmu dan amal. 

Ilmu membuat kita berbicara. Jika anda memiliki ilmu tentang sesuatu, berbicaralah untuk menjelaskan tentang sesuatu itu. Jika anda tidak memahami ilmu tentang sesuatu, berbicaralah untuk bertanya agar kemudian menjadi tahu. 

Berbicara bisa dilakukan karena ilmu/tahu dan tidak tahu/tidak berilmu, tetapi bentuk dan content pembicaraannya berbeda. Disebutkan dalam berbagai literatur keislaman bahwa kelak di hari akhir ada sekelompok orang yang tidak bisa dijebloskan ke neraka tetapi juga tidak bisa dianugerahi kenikmatan surga. 

Orang-orang ini disebut sebagai orang yang hidup diantara dua nabi/rasul. Posisi antara dimaksud adalah adanya masyakarat yang sudah tidak memiliki informasi yang cukup tentang ajaran yang disampaikan oleh nabi sebelumnya karena sudah terlalu jauh periodesasinya dan mulai hilang manuskripnya atau bahkan tanpa sisa. 

Di sisi diametris lainnya, masyarakat ini tidak berkesempatan bertemu dan/atau menerima informasi tentang ajaran keagamaan dari nabi yang datang kemudian dikarenakan masyarakat tersebut sudah tiada. Masyarakat di posisi antara itu, dimaklumi status keilmuannya karena mereka berada jauh diantara dua sumber pengetahuan.

Namun bagi kita, umat beragama yang hidup di masa kini, kita tidak dapat mengelak dan beralibi bahwa kita jauh atau tidak mendapatkan informasi tentang ajaran keagamaan karena meskipun jarak waktu kita dengan Nabi Muhammad SAW terbentang belasan abad, tetapi para ulama sudah mengistikamahkan dirinya untuk dengan sabar menunggu bahkan menjemput kita untuk menggali ilmu tentang kebenaran, tentang keagamaan, tentang pedoman hidup, tentang Syari'at Islam.

Catatan lainnya:

Kita semua, tidak hanya Ibu Sukmawati, punya kewajiban untuk mencari ilmu, mengetahui, dan memahami ajaran keagamaan. Tidak cukup dengan mengucap "Saya tidak tahu..." kemudian kita terbebas dari kewajiban beramal sesuai dengan guidelines yang jelas mudah diakses.

Perlu ditegaskan disini, jika kita sudah dalam track pencarian ilmu, pembelajar, murid, santri, pelajar, maka kita berada dalam suaka dari kekeliruan atas sesuatu yang belum kita pelajari. Sekali lagi, asalkan memang kita sedang, masih dan terus menjadi pembelajar atau berada pada track pencarian ilmu. Once kita mengetahui sesuatu, amalkanlah sesuatu yang kita ketahui itu. Tanpa ilmu, tiada amal yang akan diterima-Nya. Tanpa amal, ilmu yang dimiliki hanya akan menjauhkan pemiliknya dari-Nya.

[baca juga: Apakah Amal Kita Diterima?]

Jadi, dalam relasi ilmu dan amal, puisi Ibu Sukmawati mengingatkan kita semua, khususnya beliau, untuk kembali ke hamparan luas majlis ilmu. Temui para kyai yang berakhlak mulia dan reguk ilmu seluasnya. Jangan lupa, ini penting... jangan salah memilih guru dan yang paling jelas jangan pernah terpikir belajar agama secara otodidak. Stop! Otodidak mungkin bisa kita lakukan pada disiplin ilmu lain, tapi untuk memahami agama posisi guru langsung menjadi mutlak.

Terakhir, kini Ibu Sukmawati sudah meminta maaf. Sebagian dari kita pun sudah mengumpat, mencaci-maki, memvonis Ibu Sukmawati, dan menghinanya dengan sebutan yang tidak bisa disebut santun. Bahkan mobilisasi massa pun sudah ditabuh riuh mengiringi tuntutan hukum; pengadilan dan pemenjaraan sebagai penista agama. 

Di ujung pelataran tulisan ini, kalbu kita termenung sendu menerawang masa depan bangsa yang telah dianugerahi semegah ini kedamaian yang dibeli dengan petuah para kyai dengan akhlak mulia dan dakwah yang mengaji bukan mencaci, mengajak bukan mengejek. 

Ingatkah kita tebaran kisah tentang akhlak mulia Rasulullah SAW kepada seorang Yahudi buta yang terus mencaci Muhammad saat jemari lembut Sang Baginda menyuapinya makanan setiap hari? Ingatkah kita apa redaksi do'a Rasul untuk Masyarakat Thaif yang mengusirnya dan melemparinya batu? Ingatkah kita....

Seraya berharap keberkahan Bulan Rajab 

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...