Selasa, 22 Mei 2018

Bahaya Copy + Paste

Salah satu trend yang paling mengemuka di era medsos zaman now ini adalah tradisi copas. Entah bahasa apa itu copas, yang jelas jagad medsos sudah terbiasa menggunakan kata copas yang memaksudkan pada copy and paste alias menyalin sebuah tulisan, gambar, atau video lalu menempelkannya pada media lainnya.

Sesungguhnya copas bukan hal baru atau kebiasaan zaman now, bukan. Copas sudah banyak dilakukan orang zaman old meskipun dengan sebutan lain, seperti menjiplak, nyontek atau plagiasi. Namun terma copas sengaja kami sorot karena kebiasaan ini akan dikaitkan dengan trend media sosial dewasa ini.

Semula, kami menduga bahwa tema ini menjadi tidak perlu bagi generasi digital yang sudah sangat tinggi literasinya pada dunia maya. Tapi ternyata tema ini tetap sangat penting dipahami bagi seluruh lapisan masyarakat kita tanpa kecuali.

Kawula muda atau bahasa kekinian digelari generasi millenial yang memasuki ranah publik penuh keterbukaan dengan dilengkapi gadget di genggaman, ternyata masih rentan terkena penyakit copas. Singkatnya, keluasan akses pada media komunikasi dan informasi tidak menjadi perisai yang melindungi kita dari wabah copas. Tidak ada lagi 'tersangka' utamanya kecuali sosial media. 

Seorang pejabat, sekedar illustrasi, sudah divonis medis 'memiliki' kadar kolesterol tinggi di tubuhnya. Ia berkonsultasi dengan seorang kyai mengenai status hukum memakan udang yang berkadar kolesterol tinggi itu, karena sang pejabat itu hobby mengkonsumsi udang. "Status hukum memakan udang itu dalam pandangan Islam itu haram", demikian sang kyai berfatwa. "Karena hukum menjaga kesehatan itu wajib, sehingga hal-hal yang jelas sudah divonis secara profesional oleh medis untuk dihindari wajib diikuti". Tegas wejangan kyai di telinga pajabat tadi.

Artikel terkait lainnya:

Bayangkan jika ucapan kyai itu dipotong hanya pada kalimat "Status hukum memakan udang itu dalam pandangan Islam itu haram". Kemudian, kalimat sepotong itu diposting di media sosial tanpa dijelaskan konteksnya. Menyebarlah kemana-mana, udang haram. Betapa mengerikan kita membayangkan bullying sejenis apa yang akan menimpa sang kyai? 

Contoh lainnya. Ada seorang anak ABG di Jakarta menulis di laman medsos-nya tentang berita duka meninggalnya seorang tokoh masyarakat di Makassar yang ia dapatkan informasinya dari teman di medsos yang melihat ada ambulance mengarah ke rumah sang tokoh masyarakat di Makassar. 

Posting-an sang ABG Jakarta ini di-copy oleh seorang mahasiswa di Makassar dan di-paste ke laman medsos-nya lalu dikirim via broadcast message. Singkatnya menyebarlah berita ini ke seantero jagad. Anak sang tokoh masyarakat di Makassar membacanya sambil keheranan karena ternyata ambulance tadi itu dikirim dealer mobil karena ayahnya hendak membelinya untuk disumbangkan ke yayasan sosial. Mengerikan bukan?

Tradisi copas sedikitnya berbahaya karena beberapa faktor. Pertama, informasinya cenderung tidak berdasarkan sumber yang jelas, pasti, dan terpercaya. Sumber informasi hanya kiriman dari satu posting ke posting berikutnya. Saking berantainya sampai tidak jelas lagi siapa yang pertamakali menyebarkannya. Kalau sebuah informasi sudah tidak bersumber jelas, bagaimana merunut siapa yang bertanggungjawab?

Kedua, copas dengan mudah menjadi alibi bagi siapapun yang melakukannya untuk berkilah bahwa ia cuma berbagi informasi yang ia dapat. Tanpa beban, tanpa dosa, dan tanpa peduli apakah informasi itu valid atau sebaliknya. Bahkan, anehnya lagi sang pelaku copas mengakhiri posting-nya dengan kalimat "indahnya berbagi" atau ada juga dewasa ini yang jelas menyerukan "viralkan!". Menyebarkan informasi yang tak bertuan dengan keyakinan bahwa ia sedang berbuat benar. Padahal jelas menyesatkan.

Ketiga, copas tidak hanya memuat content informasi biasa tentang sebuah kejadian, misalkan. Bertebaran di medsos pola copas yang memuat materi berat tentang nasihat keagamaan, surat resmi instansi pemerintah, video, dan photo caption (keterangan bergambar), dan sebagainya. Muatan seperti ini ketika di-copas akan menimbulkan polemik diantara orang-orang yang sama-sama tidak merasa bertanggungjawab atas informasi itu. 

Terakhir, kami ingin menggaris-bawahi bahwa dalam disiplin ilmu apapun reliabilitas sumber atau referensi menjadi keniscayaan. Tanpa rujukan yang jelas, informasi keilmuan apapun menjadi tidak layak untuk dikaji. Di dunia pesantren dikenal seruan "La 'ilma bi la sanadin", tidak disebut ilmu jika tanpa rujukan (sanad).

Berhentilah menjadi kontributor copas. Jika anda tertarik dengan sebuah informasi atau ide yang menyebar di media sosial dan ingin membagikannya kepada yang lain, teliti baik-baik sumber informasi tersebut dan cantumkan dengan jelas dari mana informasi itu anda dapatkan.

Perangi hoax, hentikan copas!
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...