Fakir yang kadung dipahami sepadan dengan miskin, sesungguhnya bermakna sedikit berbeda. Pendapat paling populer menyatakan bahwa terpaan kesusahan lebih keras menimpa orang fakir dibandingkan orang miskin. Fakir tidak bisa membayangkan kapan ia makan, sedangkan miskin ada makanan tapi masih kurang.
Orang miskin adalah orang yang punya sesuatu yang dibutuhkannya, namun tidak mencukupi kebutuhannya, sedangkan orang fakir tidak punya yang dibutuhkannya sama sekali.
Tulisan ini terfokus pada fakir dalam kaitannya dengan penyebutan bahwa kefakiran cenderung menjadikan seseorang terjerumus pada kekufuran. Kita akan kupas bersama.Sebuah keterangan yang sumbernya diklaim merupakan ucapannya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib KW, menyebutkan:

"Seringkali kefakiran menjerumuskan seseorang (pada) kekafiran"
Makna Luas Fakir
Umumnya, kata fakir diasosiasikan lekat dengan kondisi ekonomi, harta, kebendaan, atau keuangan. Tidak keliru, iya benar. Namun kami mengajak pembaca untuk membuka possibility lainnya atas makna fakir.
Seseorang yang fakir tidak selalu secara ekonomi tak berpunya, tetapi bisa jadi ia tak memiliki ilmu atau wawasan yang dituntut darinya, tidak memiliki kompetensi yang diperlukannya, tidak memiliki "modal" yang dibutuhkannya.
Apapun aktivitas yang kita sedang, akan, atau telah dilakukan selalu mengasumsikan adanya "modal" yang membuat kita terlibat dalam aktivitas itu. Pertanyaan sederhananya, apakah yang dimaksud modal itu selalu hanya sekedar uang?
Saya yakin kebanyakan dari kita akan menjawab "iya", meskipun dengan suara agak lirih karena masih tertanam dalam benak kita bahwa "money can buy anything". Mungkin masih klise dalam benak kita untuk setuju dengan ungkapan "money can't buy everything".
Mari kita gunakan logika terbalik. Jika kita punya uang dan tidak punya apapun selain itu, apakah aktivitas yang kita lakukan akan berjalan lancar?
Kita tidak punya minat pada dunia pengetahuan, apakah uang bisa membuat kita berminat? Kita tidak punya kemampuan bergaul yang luwes, apakah uang bisa membuat kita menjadi mudah bergaul? Kita tidak punya teman yang memiliki gagasan dan cita-cita yang sama, apakah uang bisa memaksa orang untuk beride dan asa yang sama dengan kita?
Ketidakpunyaan selain "tidak punya uang" ternyata lebih berbahaya. Saat kita tenggelam di tengah lautan, milyaran uang di rekening tak akan bisa menyelamatkan kecuali persahabatan sehingga membuat orang lain sudi berenang ke tengah lautan untuk menolong kita.
Saat kita tidak punya apapun selain uang, kita jelas berada pada posisi kegagalan yang pasti. Karena uang hanya bisa membeli banyak hal, tapi tidak bisa memiliki semua hal.
Saat itulah kita mulai percaya bahwa kefakiran dalam segala sesuatu selain sisi ekonomi lebih harus kita waspadai dan khawatirkan demi masa depan kita.
Kubangan Kekafiran
Ketiadaan dalam konteks multi-dimensi sebagaimana diujar diatas, yang menurut kami, lebih berpotensi membawa kita menuju kubangan kekafiran.
Kafir acapkali secara sederhana kita maknai lawan kata dari iman. Kafir mengingkari, iman mempercayai. Di sisi lain, pernah juga kita membaca literatur yang memperlawankan sikap kafir dengan sikap syukur. Kafir tidak berterimakasih, syukur pandai berterimakasih.
Kami hendak meletakan terma kafir disini pada makna yang paling universal yakni dis-orientasi dan kegagalan.
Saat seseorang sudah kehilangan kepercayaannya, maka dia sejurus kemudian kehilangan arah yang hendak ditujunya. Tiadanya kepercayaan sama halnya dengan tiadanya keputusan atas apa yang hendak digapai.
Jika orientasi sudah tak ada, bagaimana kita bisa berharap pada proses yang dijalani, karena proses itu dilakukan tanpa kepastian, tanpa tujuan yang pasti.
Demikian pula halnya dengan kegagalan. Terjatuh pada sebuah kegagalan sangat mungkin kita alami, tapi yang sangat berat kemudian adalah bangkit dari kegagalan. Karenanya, kekafiran kami lekatkan dengan kubangan; sekali terjatuh, tidak mudah untuk kembali.
Fakir dan Kafir
Sekali lagi silahkan anda renungkan; apakah saat terjerambab dalam pedihnya kegagalan, uang yang akan membangkitkan kita? kefakiran pengetahuan, budi pekerti, dan nilai-nilai luhur jelas lebih bermakna dibandingkan dengan materi.
Walhasil, ketidakpunyaan dalam hal diluar ekonomi lebih mungkin membuat kita terpuruk di ranah tanpa arah dan terjatuh di kubangan kegagalan, lagi dan lagi.
CMIIW
WHS