Dalam organisasi, generasi berganti generasi melahirkan yang lama menjadi senior bagi juniornya yang tak lain adalah generasi berikutnya. Di tempat bekerja, karyawan baru diterima diperlakukan dengan "cara khas" orang lama.
Dimana pun kita berada, stereotyping senior-junior selalu hadir menjadi penanda generasi lama dan baru. Relasi senior-junior yang sangat mempengaruhi iklim organisasi itulah yang akan kita diskusikan santai di alinea-alinea berikutnya.
Siapa yang paling tahu
Senior acapkali menempatkan dirinya lebih tahu daripada juniornya. Klaim lebih tahu ini dengan mudah dibangun konklusinya oleh para senior dari premis sederhana, siapa yang lebih dulu, jawabannya: senior.
Hal yang menggelitik dari relasi senioritas dan klaim pengetahuan ini adalah peluang bahwa pengetahuan bisa diakses dari manapun dan kapanpun. Artinya, di era tanpa batas ini, tidak bisa digaransi bahwa kebaruan seseorang bergabung dalam dunia manajemen SDM, misalnya, memastikan bahwa yang bersangkutan masih hijau pengetahuannya tentang manajemen SDM karena resources pengetahuan tentang manajemen SDM bisa diakses jauh-jauh hari sebelum ia bergabung kesana.
Selain itu, hubungan pengetahuan dan senioritas pun menjadi goyah dengan hipotesa sederhana bahwa pengetahuan mengasumsikan level pemahaman. Dengan kata lain, ketika saya lebih dulu berada di suatu tempat maka saya mengetahui berbagai hal tentang tempat itu. Namun tidak bisa dipungkiri jika anda yang baru datang ke tempat itu dan rajin menggali informasi tentang tempat itu maka tiba-tiba anda lebih tahu daripada saya.
Terakhir, logika senior lebih tahu pun bisa runtuh dengan asumsi sederhana bahwa obyek pengetahuan selalu berubah, sekecil apapun pergeseran perubahannya. Misalkan, jika anda sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai dokter spesialis gigi, maka tidak kemudian anda dijamin paling mengetahui berbagai hal tentang gigi. Hal itu dikarenakan berbagai permasalahan terkait gigi akan terus dan selalu berkembang berbanding lurus dengan perkembangan kehidupan masyarakat kita.
Sampai disini, senior-junior, siapa yang paling tahu?
Siapa yang paling berpengalaman
Pengalaman seringkali menjadi jurus paling jitu bagi senior untuk menancapkan bendera otoritasnya. Junior seolah terpukul telak saat atas nama senioritas dihujamkanlah pertanyaan "Siapa yang paling berpengalaman disini?".
Bagian dari pengalaman adalah pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu mewujud menjadi pengalaman.
Siapa yang pernah mengalami, ia mendapat bekal pengetahuan baru. Namun siapa yang mengetahui sesuatu tapi belum mengalaminya, maka pengetahuan itu belum paripurna. Pada titik inilah, pengalaman diasumsikan berada pada level otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan. Apakah benar demikian?
Pengetahuan acapkali diasumsikan sebagai seperangkat informasi yang digali dari proses pendidikan, kajian, dan lain sebagainya. Pada sisi yang "dianggap berbeda", pengalaman dihasilkan dari praktek langsung memahami, menghadapi, dan menyelesaikan masalah.
Pada tingkat lapangan, dengan mudahnya publik mengklasifikasikan bahwa orang yang berpengetahuan adalah sekelompok konseptor, penyaji teori, dan kutu buku. Sedangkan orang yang berpengalaman adalah tipe orang yang sudah pernah mengerjakan sebuah pekerjaan dan mengetahui solusinya meskipun tanpa perlu mamahami teorinya.
Cara pandang memperhadapkan antara pengetahuan dan pengalaman ini menjadi titik pisah junir-senior yang pada sejatinya pengetahuan dan pengalaman tidak perlu diperhadapkan.
Betapa banyaknya hal bisa kita perbuat saat yang memiliki pengetahuan terkini dan yang memiliki pengalaman sejak lama dapat berkolaborasi bersama.
Sungguh diferensiasi senior dan junior itu pada substansinya tidak perlu menjadi sumbu masalah bahkan sebaliknya senioritas dan junioritas adalah bekal penting membangun kolaborasi organisasi yang tidak terbutakan oleh profesionalitas yang menafikan etika. Kolaborasi yang profesional dalam organisasi akan terbangun dengan landas social ethics yang indah saat senior-junior tak dipersoalkan.