Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini adalah catatan tentang instrospeksi sistem tata kelola SDM yang masih harus terus dibenahi karena ternyata tidak sedikit dari kita yang sudah bergaya very important person (VIP) padahal faktanya masih very ordinary person (VOP). Lho koq bisa ya?
Ajakan ngopi muncul di WA, "Ngopi dimana hari ini kita, bang?". Sambil santai saja, kubalas sederhana, "Di ruang kerja ku saja. Arabica robusta ada, kalo mau sachetan juga sedia. Kapan kesini?". Tak dinyana, respons cepat langsung kuterima berbentuk shareloc caffee berkelas yang tidak cukup selembar merah untuk dua gelas kopi, wow! "lanjut deh....", respons ku singkat.
Dalam benak saya, sederhana saja. Seberapa besar effort yang dibutuhkan untuk segelas kopi, harus sebanding dengan seberapa penting kualitas sesuatu yang dibicarakan sambil ngopi itu. Kalau sepanjang perbincangan hanya rantaian kalau, jika, dan andaikan, ya cukup sambil lalu saja kali ya.... ngga usah sampai harus berpindah gedung. Ajakan ngopi yang tidak apple to apple dengan kualitas pembicaraannya itu menyiratkan VOP yang bergaya VIP sebagaimana di pembukaan catatan ini.
Pun demikian dengan pejabat non pimpinan (versi UU ASN itu selain eselon I dan II), yang dengan gagah berani menyatakan "Gampang, semua bisa saya atur. Kirimkan saja berkasnya. Beliau pasti setuju dan bakal langsung tandatangan saja tuh ntar, saya ini koq yang menentukan semuanya!". Ruarrr biasa, non-pimpinan mengklaim dia penentunya, sedangkan pimpinan berada dibawah kendalinya. Tidak bicara soal ketidaktertiban, tapi ini adalah contoh orang biasa bergaya luar biasa.
Di kalangan pesantren tradisional, penggunaan sorban memiliki makna istimewa, tidak hanya sekedar sunnah nabi. Sorban digunakan hanya untuk moment shalat jum'at yang memang Rasulullah SAW menganjurkan untuk mengenakan pakaian terbaik. Bahkan, jika ada yang mengenakan sorban dalam kesehariannya itu hanya pimpinan pesantren atau ulama sepuh, karena sorban adalah simbol keulamaan. Jika ada seseorang yang ilmu keagamaannya masih pas-pasan lalu memberanikan diri mengenakan sorban, disebutnya bergaya mu'allim padahal faktanya muta'allim.
Terakhir, bahwa benar semua manusia tanpa terkecuali itu terjerambab dalam dosa dan kesalahan (kullu bani adam khaththa-uun), sehingga sudah sepantasnya memperbanyak permohonan ampun kepada NYA. Jika ada diantara kita bermalas-malasan bersimpuh di hadapan kekuasaan NYA, maka itu adalah sejatinya orang yang bergaya penghuni surga padahal faktanya kandidat penghuni neraka. Na'udzubillahi min dzalika.
Sahabatku yang budiman, jangan berhenti untuk terus mengenali diri sendiri agar kita semakin mengenal pada posisi apa kita berada sehingga sikap pun akan memantaskan dirinya dengan posisi itu. Saat kita mengenal posisi nyata kita, maka kita pun perlahan akan memahami bahwa yang sesungguhnya wajib kita sembah hanyalah DIA semata.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar