Analisis Jabatan (selanjutnya disingkat Anjab) mutlak dilakukan dalam setiap pola penataan organisasi. Tanpa anjab, pelaksanaan tugas dalam sebuah organisasi menjadi tidak terdistribusi dengan jelas. Anjab dapat digunakan untuk meletakan batasan kewenangan dan tanggung jawab yang pasti antar jabatan yang ada dalam organisasi.
In short, anjab itu tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab masing-masing jabatan. Anjab bukan tentang diksi; jangan jadikan kegiatan penyusunan Anjab menjadi workshop bahasa Indonesia yang diramaikan dengan perdebatan diksi. Disinilah kami mempertanyakan tentang kata kerja operasional pada Anjab.
Agak sedikit mundur ke belakang, anjab bukan dokumen tapi proses yang teknisnya dituangkan menjadi penyusunan dokumen. Jadi, tidak bisa ditanyakan "mana anjab kamu?". Yang bisa ditanyakan adalah "mana dokumen hasil penyusunan anjab kamu?"
Hal paling laten dalam penyusunan anjab adalah terkait dengan uraian tugas. Komponen apapun dalam dokumen anjab tidak rumit untuk disusun. Giliran menyusun uraian tugas mulailah perdebatan terjadi. [Baca juga: Organisasi-pekerjaan-mana-lebih-dulu?]
Namun yang menarik untuk digarisbawahi disini adalah sessi penyusunan uraian tugas dalam proses anjab acapkali disimplifikasi menjadi penulisan seluruh pekerjaan jabatan yang kemudian "ditata" dengan pencantuman kata kerja operasional.
Bimbingan teknis penyusunan analisis jabatan, gara-gara membahas uraian tugas, tiba-tiba berubah wujud menjadi "workshop bahasa Indonesia" yang alur diskusinya memperdebatkan tentang diksi (pilihan kata), bukan tentang kewenangan jabatan.
Tentu saja keadaan seperti itu sudah keluar dari track awal penyusunan anjab. Karena memperdebatkan pilihan kata yang tercerabut dari pendalaman tentang batasan kewenangan hanya akan mengarahkan pada penyusunan dokumen anjab menjadi sekedar formalitas belaka.
Pada beberapa instansi pemerintah, kegiatan penyusunan anjab menjadi kegiatan rutin yang "perlu-ga perlu". Kenapa demikian? karena tidak jelas reward bagi yang menyusun anjab dan tidak clear apa bentuk punishment bagi yang tidak mempedulikannya. [Baca juga: Regulasi harusn ber-konsekuensi]
Namun tentu bukan hanya itu. Mandulnya dokumen anjab ini diakibatkan dari proses penyusunannya yang acapkali tidak bersentuhan dengan real challenge dari setiap jabatan. Jarak antara dokumen anjab dengan kesunyataan jabatan itu disebabkan oleh uraian tugas dalam anjab itu yang, sekali lagi, disusun dengan jurus "pemilihan kata" kerja operasional.
Perlu diakui bahwa pemilihan kata kerja operasional dalam penyusunan uraian tugas pada dokumen anjab itu memang memudahkan, mempermudah, dan mempercepat proses penyusunan dokumen. Tetapi pada saat bersamaan, mantra itupun telah mem-bonsai anjab menjadi sekedar formalitas penulisan dokumen.
Pada sisi lain, kemudahan penyusunan anjab itu menjadi alibi bagi para praktisi anjab yang mengedepankan pola pemilihan kata operasional. Hal ini menjadi termaklumi karena anjab diletakan pada prinsip "yang penting ada". Dengan kata lain, yang output dari anjab itu hanya sebatas penyusunan dokumen, titik.
Tanpa mengurangi sedikitpun apresiasi kami pada para penyusun dokumen anjab, perlu dipertegas bahwa langkah yang dilakukan itu telah memberikan kontribusi besar menjadikan impotensi anjab.
Selanjutnya, apa saja peran dari pendekatan pemilihan kata kerja operasional yang telah melemahkan dan/atau memperlemah positioning anjab?
Pertama, melakukan generalisasi kewenangan jabatan. Pemilihan kata kerja operasional seringkali dengan mengasumsikan bahwa setiap jabatan pada jenjang yang sama berarti memiliki kata kerja operasional yang sama. In fact, jenjang jabatan yang sama tidak menggambarkan batasan kewenangan yang sama.
Jenjang jabatan akan memiliki batasan kewenangan berbeda tergantung dari bentuk keorganisasiannya. Misal pada organisasi pemerintahan yang bersifat vertikal, jika organisasi itu hanya level unit di tingkat kabupaten/kota, maka jenjang administrator (eselon III) adalah jabatan tertinggi. Tetapi jenjang yang sama di tingkat provinsi bukanlah puncak jabatan, karena masih ada jenjang Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II).
Kedua, pembatasan illustrasi kewenangan dengan keterbatasan kata kerja operasional. Setiap jabatan memiliki dimensi yang sangat beragam. Tidak mudah menggambarkan kerumitan pekerjaan melalui kalimat apalagi yang "diseragamkan". Jalan keluarnya adalah penyeragaman kewenangan dan keluwesan dalam penerjemahan kewenangan tersebut dalam redaksi kalimat. [Baca juga: Bimbingan Teknis Anjab]
Walhasil, kata kerja operasional dalam analisis jabatan itu memudahkan penyusunan sekaligus menyesatkan arah dasar dari analisis jabatan.
Hentikanlah mengubah bimbingan teknis penyusunan analisis jabatan menjadi workshop Bahasa Indonesia.