Bukanlah kehidupan jika tanpa permasalahan, namun hal itu sebaris dengan keyakinan bahwa tidak ada permasalahan yang tidak ada solusinya. Pertanyaannya kemudian, kapan pertolongan sejati dari-Nya menghampiri kita?
Dalam khazanah tafsir al-Qur'an dikenal pendekatan munaasabah. Masterpiece pada subbidang ini diantaranya adalah tafsir Nazhmu Durar fi Tanasub al-Aay wa al-Suwar. Secara sederhana, pendekatan munaasabah itu adalah memahami al-Qur-an dengan memaknai hubungan antara satu kata dengan kata lainnya, satu ayat dengan ayat lainnya, dan satu surat dengan surat lainnya.
Intinya, ini adalah pendekatan relasional. Asumsi yang dibangun adalah setiap huruf, kata, ayat, surat, dan keseluruhan komponen tekstual al-Qur'an pada dasarnya terhubung secara integral.
Kita akan melihat pendekatan tersebut untuk memahami Surat al-Nashr, surat ke-110 dalam al-Qur'an, untuk mengurai apa yang tercantum pada prolog dari catatan ini; kapan pertolongan-Nya tiba?
Redaksi lengkap QS Al-Nashr adalah sebagai berikut,

Sengaja, kami tidak cantumkan terjemahan dari surat tersebut, karena kita akan mengkaji tafsirnya. Tafsir, bukan terjemah. Tapi bukan tempatnya disini kita bahas tema itu. Kita lepaskan asbab al-nuzul (latar historis dibalik turunnya ayat al-Qur'an) dari QS al-Nashr ini. Kita langsung masuk ke pemaknaan dan pemahamannya saja.
Pertama, kalimat idza jaa-a nashrullah. Kata idza dapat dimaknai prasyarat yakni "ketika" dan juga dapat dimaknai bahwa kata sesudah idza itu tidak bisa direncanakan atau diprediksi.
Dengan makna pertama, maka nashrullah atau pertolongan dari-Nya itu menjadi prasyarat dari al-fath atau kemenangan. Maksudnya, kemenangan atau kesuksesan kita itu mempersyaratkan pertolongan dari-Nya. Dengan perspektif sedikit berbeda, kita diharuskan untuk menyadari bahwa tidak mungkin ada kesuksesan sejati tanpa hadirnya pertolongan dari-Nya.
Pada makna kedua dari keberadaan kata idza adalah bahwa kehadiran pertolongan-Nya (nashrullah) itu merupakan hak mutlak Allah SWT; tidak bisa dipaksa, tidak dapat direkayasa. Mudah bagi-Nya untuk menolong orang yang direndahkan oleh manusia, begitupun sebaliknya. Jika pertolongan-Nya saja berupa prerogatif, apalagi kemenangan atau kesuksesan, pasti mutlak hak Allah SWT untuk memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.
Kedua, disaat pertolongan-Nya datang dan kesuksesan pun kita raih, maka sudah lumrah kita akan mendapatkan legitimasi dalam bentuk pengakuan publik. Demikian tafsir umum dari ayat kedua. Kita akan melihat khalayak ramai berbondong-bondong bergabung dengan yang sudah kita lakukan. Namun disinilah justru ujian dimulai.
Perhatikan baik-baik, potongan kalimatnya adalah fi dienillah, maknanya, pengakuan publik itu pada dan/atau karena Allah SWT, bukan kita. Dengan demikian, bukan pada tempatnya jika kita mengklaim bahwa pertolongan yang kita terima, kesuksesan yang kita raih, dan pengakuan publik yang kita rasakan adalah karena kita, bukan. Tetapi itu semua karena Allah SWT.
Perhatikan baik-baik, potongan kalimatnya adalah fi dienillah, maknanya, pengakuan publik itu pada dan/atau karena Allah SWT, bukan kita. Dengan demikian, bukan pada tempatnya jika kita mengklaim bahwa pertolongan yang kita terima, kesuksesan yang kita raih, dan pengakuan publik yang kita rasakan adalah karena kita, bukan. Tetapi itu semua karena Allah SWT.
Ketiga, karena kesadaran pada ayat kedua itu, kita masuk ke pemahaman pada ayat ketiga. Ayat inilah yang menjadi solusi atau tindaklanjut saat kita sebagai hamba-Nya yang menerima anugerah pertolongan (nashr), kesuksesan (al-fath), dan legitimasi publik (al-naas yadkhuluun), harus melakukan 4 pola sikap, yaitu:
(1). Fa sabbih, bersihkan diri dari ke-AKU-an, fokuskan semuanya kepada-Nya. Yakini dan imani bahwa semua ini karena anugerah-Nya. Hilangkan ego bahwa ini semua diraih karena saya, arahkan semua pencapaian ini pada kebaikan dan kemurahan yang dianugerahkan-Nya kepada kita.
(2). Bihamdi rabbika, pujian yang diarahkan kepada kita karena kesuksesan kita itu harus segera ditangkap dan diarahkan kepada-Nya. Karena-Nya kita sukses. Bahkan dengan kata rabbika kita diingatkan bahwa Allah SWT bukan tuhan yang menciptakan kita saja, bukan tuhan yang kita sembah saja, tetapi Allah SWT adalah tuhan yang mengurus segala kebutuhan kita, termasuk memberikan solusi pada seluruh permasalahan kita.
Hal yang perlu kami pertebal disini adalah inilah bagian dari Tauhid Rububiyyah, meng-ESA-kan Allah SWT tidak hanya saat kita yakini Dia sebagai Pencipta atau Dia sebagai Tuhan yang kita sembah, tetapi tauhid rububiyyah adalah meyakini bahwa Allah SWT terlibat penuh dalam urusan detail dari permasalahan kita.
Hal ini menjadi penting diperhatikan karena tidak sedikit dari kita yang tidak "melibatkan" Allah SWT saat kita menghadapi permasalahan profan alias keduniaan. Kita dililit utang, sibuk kita cari pinjaman sana-sini, tapi tak pernah sempat berdo'a kepada-Nya untuk membantu memberikan solusi. Kenapa demikian, karena kita menganggap masalah dunia seperti itu harus kita sendiri yang selesaikan, tidak perlu Allah terlibat. Jika demikian, secara rububiyyah, kita belum ber-tauhid.
(3). Wa istaghfirhu. Pola sikap berikutnya adalah kapanpun dan bagaimanapun kesuksesan kita raih, jangan berhentilah meminta ampun pada-Nya. Dalam makna sosial, sesukses apapun kita tidak boleh menghentikan kita untuk terus berinstrospeksi. Tanpa introspeksi, kesuksesan itu sifatnya hanya sekejap mata. Bahasa lainnya, sukses program harus di-maintain dengan evaluasi lanjutan.
Hal ini menjadi penting diperhatikan karena tidak sedikit dari kita yang tidak "melibatkan" Allah SWT saat kita menghadapi permasalahan profan alias keduniaan. Kita dililit utang, sibuk kita cari pinjaman sana-sini, tapi tak pernah sempat berdo'a kepada-Nya untuk membantu memberikan solusi. Kenapa demikian, karena kita menganggap masalah dunia seperti itu harus kita sendiri yang selesaikan, tidak perlu Allah terlibat. Jika demikian, secara rububiyyah, kita belum ber-tauhid.
(3). Wa istaghfirhu. Pola sikap berikutnya adalah kapanpun dan bagaimanapun kesuksesan kita raih, jangan berhentilah meminta ampun pada-Nya. Dalam makna sosial, sesukses apapun kita tidak boleh menghentikan kita untuk terus berinstrospeksi. Tanpa introspeksi, kesuksesan itu sifatnya hanya sekejap mata. Bahasa lainnya, sukses program harus di-maintain dengan evaluasi lanjutan.
(4). Innahu kaana tawwaba. Andaikan dalam kesuksesan yang kita capai itu ternyata masih ada kekurangan, pola sikap terakhir yang kita harus miliki adalah kemampuan untuk menerima koreksi dan kembali pada titik awal; memulai lagi proses demi proses menuju perbaikan dan peningkatan.
Kalimat innahu kaana tawwaba itu menyiratkan bahwa tidak ada adagium "terlanjur basah" pada pola sikap versi QS al-Nashr ini. Sekali kita menyadari ada kekeliruan, jangan pernah sungkan untuk melakukan redesign bahkan re-implementing.
Kalimat innahu kaana tawwaba itu menyiratkan bahwa tidak ada adagium "terlanjur basah" pada pola sikap versi QS al-Nashr ini. Sekali kita menyadari ada kekeliruan, jangan pernah sungkan untuk melakukan redesign bahkan re-implementing.
Demikianlah. Jadi kapan pertolongan-Nya tiba?
Fa tawakkalnaa 'alaa Allah!
Wallahu a'lam
Menjelang midnite di tanah Datokarama
WHS