Dengki, iri, atau hasad (dalam terma Bahasa Arab) merupakan pola sikap yang tidak suka saat orang lain bahagia dan sebaliknya justru bahagia disaat yang lain sengsara. Hal yang menarik hendak disorot di catatan ini adalah subyek kedengkian itu siapa, lalu bagaimana ketika seseorang menjadi obyek dari kedengkian orang lain. Dalam narasi lain, siapakah sebetulnya yang bersikap atau bersifat dengki itu dan apa yang dilakukan seseorang ketika ia menjadi sasaran kedengkian yang lain.
Kami hendak memusatkan diskusi ini dengan satu strong statement bahwa dengki adalah sifat dan sikap terkategorikan penyakit hati yang berada pada level tertinggi dari sisi pola penularannya.
Meskipun penulis dan kemungkinan kebanyakan pembaca bukan ahli di bidang medis, tetapi secara umum kita pahami bahwa di dunia medis, penyakit itu ada yang menular ada yang tidak. Kemudian, penyakit yang menular pun terkategori lagi ada yang penularannya sulit ada yang mudah bahkan sangat mudah. Penyakit menular yang pola penularannya sangat mudah itu akan dengan cepat divonis epidemik bahkan pandemik.
Dengki adalah penyakit yang tidak bisa disebut endemik karena tidak terjangkit sebatas pada di zona tertentu. Masih kurang pula disebut epidemik, karena penularanya tidak hanya pada cakupan wilayah tertentu. Bahkan disebut pandemik pun dengki masih belum cukup, karena dengki tidak hanya mewabah di dunia, sampai-sampai orang yang sudah tiada sekalipun dapat menjadi obyek dari kedengkian. Betapa luar biasa menularnya penyakit dengki ini.
Kedengkian adalah sifat dan sikap yang dapat berpindah sekejap mata. Semula kita bisa berada sebagai obyek atau pihak yang jadi sasaran kedengkian pihak lain, lalu tanpa terasa bisa dengan mudah kita berpindah menjadi subyek!
Maksudnya seperti ini, Mr X dengki kepada Mr Y. Setelah merasakan dan mengetahui itu, Mr Y tiba-tiba mendengki Mr X. Artinya, semula kita menjadi obyek kedengkian orang lain, tapi hanya sekejap mata saja kita bisa berubah menjadi subyek atau orang mendengki orang lain itu. Unik bukan?
Sifat iri dengki dalam pitutur Rasul disebutkan bahwa sifat itu akan membakar kebaikan sebagaimana api membakar kayu kering; habis tersisa debu. Analogi yang ciamik! Api yang membakar kayu itu tidak pilih-pilih; kayu yang kiri dulu baru yang kanan, tidak. Sifat api, akan membakar apapun yang ada didekatnya.
Demikian api, begitu pula adanya sifat dengki. Saat kita dirundung cobaan karena kedengkian seseorang, waspadalah jangan sampai kita melakukan hal yang sama karena dengki adalah penyakit jiwa yang sangat cepat menular!
Penulis jadi ingat dengan kebiasaan para kyai sepuh ketika menghadapi tamu yang berkonsultasi padanya. Sang tamu mengeluhkan hidupnya yang selalu susah dan ia menduga ada pihak yang sengaja membuatnya menjadi susah. Sang kyai mendo'akannya, bahkan terkadang do'a itu dibacakan didepan sebotol air yang kemudian diminum oleh tamu tadi.
"Do'a saja, semoga Allah membantu bapak dalam menghadapi berbagai kesulitan", sesederhana itu kyai menasehati. "Apakah betul tetangga saya yang membuat saya susah, pak kyai?" sang tamu tidak puas. "Tidak perlu tahu tentang sesuatu yang kamu tidak sanggup menerimanya." Demikian kyai menutup pembicaraan.
Penulis kini paham, bahwa kalimat penutup itu jelas dan tegas disampaikan kyai karena andaikan ada yang berbuat buruk kepada kita karena ketidaksukaannya kepada kita, atau dengan bahasa lain, kita menjadi sasaran kedengkian pihak tertentu, sangat potensial kita akan juga dengki kepada pihak itu jika kita tahu siapa dia.
Kedengkian tidak hilang atau berhenti dengan balasan kedengkian lagi, seperti api yang semakin berkobar jika ditambah api. Kedengkian hanya padam dengan hati yang ikhlas bak air jernih nan dingin yang meredam jilatan api.
Berat, ya. Tidak mudah, benar. Tapi apa ada pilihan lain. Ikhlas is the only true answer.Delapan bulan di ortala
Artikel terkait: