Pada judul ini, sengaja saya gunakan kata "amaliyah" untuk bersanding dengan "dunia", barangkali jika begitu dunia agak sedikit berbau surga. Sengaja pula ditempelkan kata "aktivitas" berdempetan dengan "ukhrawy", jangan-jangan dengan sandingan kata seperti itu, kata aktivitas yang cenderung profan bisa sedikit bernafas agama.
Itulah keterlanjuran asosiasi kita pada bahasa. Seolah ada bahasa yang berbau agama dan ada kata yang sudah tak beragama sejak ia ada.
Tentu tulisan ini bukan untuk diskusi kebahasaan atau perdebatan kosakata, tapi mengajak kita merenungkan apa yang kita sebut pekerjaan dunia tapi berorientasi akhirat atau sebaliknya pekerjaan akhirat tapi mengarah pada dunia.
Rehat dari pekerjaan rutin, kita lakukan ritual peribadatan yang kita yakini itu sebagai kewajiban agama untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pun sebaliknya, tuntas melaksanakan ritual ibadah, kita kembali ke tugas harian kita yang kita duga itu hanya sebatas bekal untuk hidup esok-lusa.
Apakah keyakinan kita sudah lurus dan apakah dugaan kita sudah tepat?
Pada dasarnya aktivitas kita tidak perlu dibuat dikotomi tegas mana aktivitas duniawi dan mana yang amaliyah ukhrawi, karena sejatinya seorang penganut agama akan meyakini bahwa setiap tarikan nafasnya, degup jantungnya, adalah bagian dari penghambaannya kepada Sang Maha Pencipta.
Adapun praktik ritual keagamaan yang ditetapkan oleh agama itu hanya menyita sedikit sekali dari keseluruhan waktu yang kita punya dalam putaran siang dan malam. Ritual peribadatan ini, atau yang kita kenal ibadah mahdlah adalah bukti dari ketundukan dan kepatuhan kita kepada-Nya, karena salah satu karakter dari ritual itu adalah tidak membutuhkan argumen rasional untuk melakukannya, tapi sepenuhnya karena patuh dan tunduk kepada-Nya.
Mungkin anda mulai kurang setuju, karena -misalkan- di banyak keterangan kita baca bahwa puasa itu dari pandangan medis itu menyehatkan, memperbaiki kinerja metabolisme tubuh. Plus dipoles dengan hadits Nabi yang mendukung soal argumen medis atas ritual puasa. Informasi itu benar, tetapi bukan karena informasi itu kita berpuasa. Informasi itu berdiri hanya dapat ranah pendukung saja, karena -sekali lagi- dasar dari ritual puasa itu hanya patuh dan tunduk kepada-Nya.
Begitu pula dengan gerakan fisik dalam shalat. Meskipun ada argumen yang menyatakan bahwa gerakan-gerakan terbukti membugarkan tubuh. Tapi keterangan itu hanya sebatas data support karena pada dasarnya mau bagaimana pun gerakan shalat diperintahkan oleh-Nya, kita sebagai hamba-Nya harus patuh dan tunduk.
Adapun aktivitas diluar ritual peribadatan yang spesifik (mahdlah) seperti contoh puasa dan shalat, acapkali kita sebut sebagai aktivitas non-ibadah. Hal itu salah satunya diakibatkan dari anggapan bahwa aktivitas itu memang bukan ibadah.
Berangkat ke tempat kerja, kita anggap sebagai aktivitas biasa karena tujuannya adalah menjalankan kewajiban sebagai karyawan dari tempat kita bekerja. Makan kita lakukan tanpa judul ibadah, karena makan itu hanya sebatas menghilangkan lapar. Demikianlah seterusnya.
Gara-gara cara pandang dikotomis seperti itulah akhirnya shalat kita selalu berakhir dengan ucapan "assalamu'alaykum warahmatullah...", pun demikian dengan profesi kita berakhir saat jam kerja usai.
Padalah, apakah kita berhenti mengingat kekuasaan-Nya ketika diluar ritual peribadatan? Dan apakah sikap profesionalitas kita di kantor berhenti ketika keluar dari ruangan itu?
Sesungguhnya kita harus sanggup untuk tetap menghadirkan-Nya diluar ritual peribadatan. Bukan malah sebaliknya kita menjadikan ritual peribadatan sebagai ajang pencitraan diri di tengah masyarakat.
Sahabatku yang baik, amaliyah duniawi akan serta-merta berbuah investasi besar nan bernilai di hadapan-Nya tatkala kita mengorientasikannya sebagai bagian dari penghambaan kita kepada-Nya. Pun sebaliknya, aktivitas ukhrawi akan menjadi pekerjaan dunia semata saat ibadah yang dilakukannya itu penuh diselimuti riya' (sikap ingin dilihat).
Pola seperti itu bukan lagi fenomena tetapi sudah menjadi kenyataan kehidupan kemasyarakatan kita. Meledaknya animo publik pada ibadah haji lambat laun malah membuat ibadah haji berubah dari manasik (seperangkat paket ibadah) menjadi overseas trip.
Artikel lainnya:
- Kesetiaan pada Komitmen Perjuangan
- Beriman pada Ketetapan NYA
- Dosa dan Pendosa
- Menengok-Menatap untuk Melangkah Tegap
Kemudian Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang sejatinya dikelola oleh fuqaha (para ahli fiqh) dan ditujukan untuk menata teknis detail ibadah haji dan umrah berdasarkan sumber ilmu manasik yang shahih, kini tidak sedikit KBIH dikelola oleh para Biro Travel yang membonsai proses manasik dan malah memfokuskan diri pada layanan prosedur dan mekanisme travelling.
Jika sudah demikian adanya, haji hanya akan menjadi aktivitas yang berwujud ukhrawi tetapi dengan ruh duniawi. Pada saatnya kelak, para hujjaj ini pun menangis tersedu dihadapan-Nya karena ibadah haji yang ditunaikannya itu tidak berbuah pahala apapun.
Sebaliknya, seorang ibu yang menyusui bayinya sambil menguntai do'a dalam hatinya semoga air susu yang direguk sang bayi membuatnya kuat beribadah seraya melafalkan ayat-ayat suci di lisannya dengan harapan pendengaran sang bayi terbiasa mendengar firman-firman-Nya, sungguh inilah pekerjaan yang dianggap biasa tetapi sejatinya luar biasa dan kelak menghamparkan permadani kemuliaan saat menghadap-Nya.
Terlalu banyak aktivitas yang berwujud dunia tetapi karena niat ikhlas untuk-Nya akan berubah menjadi kehormatan di sisi-Nya. Tidak sedikit amaliyah yang berwujud agama tetapi karena tidak terfokus kepada-Nya akan beralih fungsi menjadi aktivitas dunia biasa yang hampa makna.
Tidak ada dikotomi dunia-akhirat, tidak ada versus antar aktivitas baik apapun yang kita lakukan karena semuanya akan bernilai di hadapan-Nya saat diniatkan, diarahkan, diorientasikan dengan tulus-ikhlas kepada-Nya.
Wassalam,
WHS