Kamis, 12 September 2019

Dosa dan Pendosa

Dosa dapat dipahami sederhana sebagai perilaku yang melanggar peraturan. Orang yang melakukan dosa itu kita sebut saja pendosa. Peraturan yang dilanggar oleh perilaku dosa itu umumnya adalah aturan agama, karena dosa lahir dari terminologi agama. Meski kini, kita juga mendengar jargon tentang dosa sosial, dosa politik, dosa ekonomi, dan lain sebagainya. 

Catatan ini tidak hendak mendiskusikan tentang keruwetan istilah dosa, tapi hendak mengajak pembaca untuk sama-sama belajar memisahkan perilaku dosa dan pelaku dosa. Perilaku dan pelaku, apa beda dan samanya.

Dosa itu adalah bentuk perilaku, bukan seseorang. Mencuri adalah perilaku atau kelakuan seseorang yang berbentuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. 

Tempatnya dimana pun, yang disebut mencuri itu pengertiannya tetap sama, yaitu mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Pelaku yang melakukan pencurian, bisa sama atau berbeda-beda, tetapi bentuk perilaku yang dilakukan juga tetap sama, yaitu mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Perilaku mencuri atau pencurian dapat terjadi pagi, siang, sore, atau pun malam. Kapan pun pencurian dapat terjadi. Oleh karena itu, mencuri adalah kata kerja yang jelas diberikan embel-embel waktu; telah mencuri, sedang mencuri, atau akan mencuri. 

Catatan lainnya:

Berbeda halnya dengan orang yang melakukan pencurian atau pencuri. Karena ia adalah kata benda, maka tidak kenal kata waktu. Mau mencurinya kapan pun, tetap saja namanya adalah pencuri.

Coba perhatikan baik-baik. Tidak setiap waktu seorang pencuri adalah pencuri karena ia disebut pencuri jika telah terbukti melakukan pencurian. Tahan dulu sampai sini. Silahkan renungkan baik-baik.

Bagaimanapun juga kita berada di zona dunia yang diatur oleh sebuah kesepakatan tatanan masyarakat yang salah satunya adalah institusi pengadilan. Disebut pencuri itu karena divonis oleh pengadilan bahwa ia "terbukti secara sah dan meyakinkan" telah melakukan pencurian. 

Andaikan ada seseorang yang melakukan pencurian tapi ia berhasil lolos dari jeratan hukum, tetap saja ia pencuri. Atau, jika ada orang yang tidak melakukan pencurian tetapi kemudian ternyata divonis oleh pengadilan bahwa ia pencuri, maka jadilah ia sebagai pencuri versi pengadilan meskipun sesungguhnya ia bukan pencuri.

Kembali ke semula, pencuri adalah orang yang melakukan pencurian (entah karena vonis pengadilan ataupun tidak). Kalau kalimat itu mulai terpahami, maka bagaimana jadinya jika sang pencuri itu berada pada lokus kehidupan berbeda dan setting sosial berbeda? Ternyata, ketika melakukan pencurian ia adalah pencuri, tetapi dalam kondisi berbeda, ia memiliki sebutan lain. Nah, pikirkan lagi.

Saat seseorang mencuri atau lebih tegasnya lagi terbukti mencuri, maka orang tersebut kita sebut pencuri. Tapi bagaimana saat orang yang sama itu tidak sedang mencuri atau tidak terbukti mencuri, apakah masih kita sebut pencuri?

Seseorang yang divonis sebagai pencuri itu, saat dipanggil oleh anaknya, ia adalah ayah-bunda; saat dido'akan ibunya, ia disebut "anak ku"; dan saat disapa bawahannya ia disebut "Boss". Jadi, pencuri adalah sebutan bagi seseorang yang mencuri.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan, sekecil apapun itu. Namun sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubaut atas kesalahan itu. 

Narasi ini tidak untuk menjustifikasi sebuah kesalahan, pun tidak dimaksudkan menganggap enteng dosa. Tidak. Narasi tersebut untuk memberikan harapan kepada siapapun tentang selalu adanya ampunan atas setiap dosa. Yang tidak kalah pentingnya, narasi itu pun mengingatkan kita untuk bersikap proporsional pada siapapun yang pernah melakukan dosa agar diberikan kesempatan sebagaimana yang lainnya.

Pemberian kesempatan kepada siapapun untuk menjadi lebih baik sangatlah mudah. Cukup dengan satu keyakinan pasti yang tak terbantahkan, yaitu bahwa kita pun tidak layak mengklaim diri sebagai orang yang tak pernah tersentuh dosa. Simple bukan.

Walhasil, kita harus sanggup memisahkan antara perilaku dan pelaku. Dosa adalah kesalahan, sedangkan pendosa adalah orang yang melakukannya. Perilaku dosa harus kita benci dengan cara menjauhinya. Tetapi pendosa tidak boleh kita benci, karena ia adalah orang yang sedang terjerumus pada dosa dan tetap punya potensi besar untuk bertaubat atau berhenti dari perilaku dosanya.

Dosa harus ditidaksukai, tidak dengan pendosa. Orang yang melakukan dosa justru harus kita sayangi dengan cara membantunya untuk keluar dari kubangan dosa atau setidaknya dengan membukakan jalan selebar-lebarnya kepada yang bersangkutan menuju kebaikan. 

Jangan kita ambil hak Tuhan Yang Maha Kuasa dengan menutup rapat pintu taubat bagi pelaku dosa, padahal pada saat yang sama Tuhan pun masih membukakan pintu baginya.

Bedakanlah pemahaman tentang perilaku dan pelakunya atau dosa dan pendosa. Dosa harus kita benci, karena mencuri dalam keadaan apapun tetap salah. Tetapi jangan kita benci pada pendosa, karena pencuri adalah manusia biasa yang juga masih punya peluang untuk berubah menjadi pribadi baik saat diberikan harapan akan penerimaan taubat.

Senggigi,
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...