Perbincangan mengenai paradigma sebetulnya telah bergulir sejak beberapa periode yang lalu. Tapi dapat dikatakan bahwa yang paling intens melakukannya bahkan sampai tahap faktualisasi itu terjadi sejak periode kepemimpinan Sahabat Muhaimin Iskandar dan Sahabat Saiful Bachri Anshari.
Pada dua periode ini disimpulkan bahwa secara paradigmatik, kader PMII telah identik dan seiring sejalan dengan karakter kritisnya. Namun sejak kongres XIII di Medan, PMII mempertegas pilihannya pada paradigma kritis-transformatif (PKT), dan itu tidak berubah sampai Tahun 2005 ini.
Dalam pandangan PMII, paradigma dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Bandingkan gagasan paradigma ini dengan pendapat Thomas Kuhn atau George Ritzer. Dengan pemahaman paradima seperti itu, PMII telah menjatuhkan pilihannya pada PKT.
Adapun pemahaman atas makna kritisisme dalam PMII tidak akan terlepas dari hal-hal berikut ini; Pertama, kritis adalah upaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu akibat proses sosial yang profan. Kedua, kritis adalah melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, kritis adalah membuka tabir dan selubung pengetahuan yang hipokrit dan hegemonik.
Dalam percontohannya, naskah PKT yang diterbitkan PB PMII menyitir pemikiran dari Hassan Hanafi tentang kiri Islam dan teologi pembebasan serta pemikiran dari Mohammad Arkoun tentang wacana profetis, rasional dan ideologis plus dialog agama dan realitas.
Namun karena paradigma kritis berhenti pada dataran metodologis-konsepsional, maka PMII memandang perlunya jembatan yang menghubungkan antara pembebasan kesadaran (oleh paradigma kritis) dengan realitas masyarakat yang—semestinya-komunikatif, terbuka dan tercerahkan. Dari keinginan itulah yang memunculkan penyematan elan transformatif dalam paradigma kritis ala PMII ini.
Adapun alasan pemilihan PKT adalah sebagai berikut. Pertama, Kondisi masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu oleh nilai-nilai dari kapitalisme modern; Kedua, Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, multi etnis, multi kultur dan multi religi.
Ketiga, Akutnya budaya bisu di masyarakat Indonesia akibat sistem pemerintahan Orde Baru yang anti-demokrasi, hegemonik dan otoriter; Keempat, Marginalisasi posisi PMII sebagai akibat dari paradigma keteraturan dengan ideologi developmentalisme yang dikembangkan Orde Baru; dan Kelima, Kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi di kalangan PMII.
Demikianlah secara tekstual-konsepsional, PKT ditegaskan oleh PMII sebagai pilihan paradigmatiknya. Dua pijakan gagasan dan gerakan PMII (NDP dan PKT) menjadi semakin strategis terkait dengan konstelasi sosial, politik dan kultural yang tengah mengalami banyak perubahan, baik itu di level nasional, regional, internasional bahkan mungkin beromplikasi pada level lokal masyarakat kita.
Dari perkawinan antara NDP di level nilai dan PKT pada level paradigmatik, maka bagaimana jadinya kader PMII secara ideal?