Sabtu, 03 Agustus 2019

Nilai Dasar Pergerakan

Setelah dimulai proses perumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) sejak Desember 1973 di Kongres V Ciloto, Bogor,  akhirnya pada Kongres IX, September 1988, NDP disahkan. Melihat proses perumusan sampai pengesahannya yang begitu panjang, maka bukan mustahil jika kehadiran konsep NDP selalu menjadi polemik, bahkan sampai saat tahun 2005 ini.

Dalam dokumen pengesahannya, fungsi NDP disebut sebagai landasan berpijak, landasan berfikir dan motivasi. NDP adalah pijakan untuk menyusun gerak langkah dan kebijakan yang harus dilaksanakan. NDP harus menjadi dasar pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan yang dihadapi. NDP pun dipahami dalam posisinya sebagai pendorong anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai nilai yang terkandung di dalamnya. Itulah NDP pada aras idealnya.

Berdasarkan Keputusan Kongres XIV PMII No. 08.Kongres XIV.PMII.04.2003, dokumen tentang NDP terbagi ke dalam empat bagian, yaitu: 1) Pembukaan; 2) Bab I Arti, fungsi dan kedudukan; 3) Bab II Rumusan NDP; 4) Bab III Penutup. Pada bagian ketiga atau Bab II disebutkan adanya empat pola hubungan. Dalam bentuk illustratif, keempat pola hubungan yang dimaksud adalah: Tauhid, Hubungan manusia dengan Allah, Hubungan manusia dengan manusia, dan Hubungan manusia dengan alam.

Tauhid yang dimaksudkan itu adalah: Pertama, Allah itu esa dalam segala totalitas, karenanya Dia menjadi Maha Segalanya. Kedua, Bentuk keyakinan akan sesuatu yang lebih tingi dan ghaib. Ketiga, Tauhid harus diimplementasikan pada pemisahannya dengan segala hal yang profan, sehingga tak ada klaim ketuhanan dalam kehidupan profan. Keempat, Metode ahlussunnah wal jama’ah digunakan sebagai pendekatan untuk memahami dan menghayati makna tauhid.

Makna hubungan manusia dengan Allah itu adalah: Pertama, manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kedua, manusia sebagai hamba Allah. Kedua pola ini harus berjalan seimbang dan dijalani dengan ikhlas.

[baca juga: Filosofi Gerak]

Adapun hubungan manusia dengan manusia dilandaskan pada prinsip kesamaan menjadi ruh dari hubungan ini. Namun ketika dinamika kehidupan menuntut untuk pergaulan lintas kepentingan, maka titik universalitas Islam harus selalu di kedepankan. Sehingga terciptalah ukhuwwah islamiyah, wathoniyah dan insaniyah.

Sedangkan, hubungan manusia dengan Alam adalah wahana penegasan eksistensial manusia, karenanya tak ada ruang eksploitasi bagi manusia terhadap alam. Tapi karena alam pun dipersembahkan Allah untuk manusia, bukan sebaliknya, maka tak ada alasan pula untuk menuhankan alam. Karena itu, alam harus diolah dalam kerangka penyatuan iptek dan imtaq.

Dengan keempat pola itu diharapkan terbentuk kader PMII yang berwujud “…insa kamil Indonesia yang kritis, inovatif dan transformatif…” Demikian cita-cita disusunnya NDP sebagaimana tertulis.

Jika “keinginan” terkait NDP seperti itu, apakah “kenyataannya” sama persis, mirip atau mendekati? Jika “tidak”, maka saat itulah timbul “masalah”. Tentunya, suatu masalah bukan untuk diendapkan tapi dituntaskan. Dalam konteks penuntasan masalah itulah, dimulai perbincangan tentang paradigma.

[artikel terkait: Paradigma Kritis Transformatif

Karena tatalaku kader PMII yang hanya mengacu pada NDP seringkali menimbulkan perdebatan yang tak kunjung selesai akibat dari tidak tegasnya kerangka paradigmatik dan tidak munculnya standar pengukurannya, maka akhirnya gagasan untuk merumuskan paradigma PMII menjadi keniscayaan untuk mengimplementasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tadi.

Serial Tulisan "Dibuang Sayang"
Periode saya, Maret 2005

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...