Kamis, 16 April 2020

Menengok-Menatap untuk Melangkah Tegap

Seseorang yang berprinsip tidak akan terjerambab pada kubangan yang sama untuk kedua kalinya. Kira-kira pernyataan itu yang mendorong catatan ini disajikan. Melihat dengan segenap pikiran dan analisisnya terhadap sesuatu yang sudah pernah dilalui di masa lalu akan sangat membantu untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik, atau setidaknya, masa depan tidak dihambat dengan mengulang kesalahan yang sama, yang pernah dialami di masa lalu. Berprinsip sederhanya adalah mengetahui dan memutuskan melakukan atau tidak. Adalah al-Qur'an Surat al-Hasyr Ayat ke 18 yang menginspirasi gagasan ini dituliskan dengan interpretasi terbuka bagi pembaca yang juga open minded.

Menguliti Tekstualitas Al-Hasyr: 18

Redaksi dari potongan ayat dalam al-Qur'an ini adalah:

Sengaja kami tidak tampilkan terjemah dari ayat tersebut agar tidak membonsai makna luas di dalamnya. Kita kupas kata perkata. Pertama, وَلْتَنظُرْ. Fokus kita pada kata "تَنظُرْ". Kata tersebut berasal dari suku kata نظر yang makna sederhananya adalah "melihat". 

Selain kata نظر, dalam bahasa arab terdapat kata lain yang juga bermakna dasar "melihat", yaitu رأى dan بصر. Perbedaannya, kata نظر memberikan titik tekan melihat dengan seksama, penuh analisis, dan nalar yang kuat.  Kata رأى lebih ke melihat secara sekilas, kata بصر melihat dengan pandangan batin atau mata hati.

Nah, potongan ayat diatas menggunakan redaksiتَنظُرْ  yang berasal dari kata dasar نظر yang dialihkan pada bentuk fi'l al-mudhari' yang diberikan imbuhan huruf  ل yang berfungsi memerintah. Ringkasnya, kataوَلْتَنظُرْ  itu bermakna "Lihat, analisis, dan perhatikanlah dengan seksama dan segenap nalar".

Siapa yang diperintah melakukan pola sikap وَلْتَنظُرْ itu? Redaksi tekstual al-Qur'an menggunakan kata نَفْسٌ yang dalam arti sederhananya adalah jiwa. Kami hendak menawarkan pemahaman yang lebih menyempit dengan memaknai nafs disitu adalah manusia yang dalam posisi dasarnya sebagai manusia tanpa atribut lain yang dilekatkan kepadanya. Murni hanya manusia.

lalu berikutnya, apa yang menjadi objek dari sikap وَلْتَنظُرْ itu? مَّا segala sesuatu dalam bentuk apapun. Artinya, objek yang harus dilihat, dianalisis, dan diperhatikan dengan seksama dan segenap nalar itu berbentuk umum dan luas. Kata berikutnyalah yang kemudian membatasinya, yaitu قَدَّمَتْ. Arti dasar kata ini dalam konteks ayat ini adalah "yang telah diperbuat oleh nafs". Sederhananya, segala sesuatu yang perlu diperhatikan itu adalah yang benar-benar telah diperbuat, dilakukan, dan dikerjakan oleh siapapun. Untuk apa proses وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ  itu dijalankan? Direct shoot ditegaskan, لِغَدٍ untuk masa depan yang dimulai persis setelah saat ini. Bukan masa depan itu, pekan depan atau tahun depan. 

Beranjak menuju Kontekstualitas Perilaku

Kembali ke narasi yang disampaikan pada introduksi catatan ini, "seseorang yang berprinsip tidak akan terjerambab pada kubangan yang sama untuk kedua kalinya". 

Logika dasarnya dibangun dari common sense tentang bahwa sebagai manusia yang memang pada dasarnya menyejarah, setiap kita pernah melalui masa lalu, sedang menjalani masa kini, dan akan menghadapi masa depan. Tidak ada yang lolos dari proses waktu tersebut.

Dengan mengembalikan ke logika standar itu saja, kita seharusnya juga sepakat bahwa masa depan akan sangat tergantung pada apa yang kita lakukan di masa kini sebagaimana masa kini pun terbangun dari apa yang kita lakukan di masa lalu. Tapi, catatan ini tidak akan menuliskan saran tentang bagaimana menyikapi masa lalu atau merencanakan masa depan. Tidak. 

Titik fokus yang hendak disorot dalam catatan ini adalah dengan serius mempertanyakan mengapa masih ada diantara kita yang membiarkan masa depan tanpa persiapan yang cukup di masa kini yang digali dari yang pernah terjadi di masa lalu? This is the point!

Nampaknya kita harus mulai mencurigai pada ucapan "yang lalu biarlah berlalu". Jangan-jangan ujaran itu adalah sebentuk alibi untuk membiarkan hal apapun (good or bad) di masa lalu tanpa diperlakukan dengan tepat. Biarkan saja berlalu, tak berbekas. 

"Lho iya dong, kita harus move on dari masa lalu", seolah-olah benar ya. Padahal keliru besar. Coba perhatikan baik-baik, bagaimana bisa kesalahan di masa lalu tidak terus menghantui jika tidak diperbaiki. Pun demikian dengan prestasi di masa lalu, mengapa harus dilupakan, bukankah itu akan memotivasi diri?

Masa kini hadir untuk dijalani berbekalkan catatan di masa lalu sekaligus merencanakan masa depan yang lebih baik yang terhindar dari kesalahan di masa lalu. Lebih dari itu, masa depan pun diarahkan untuk dapat mengoptimalisir prestasi baik yang pernah tercapai di masa lalu.

Sesungguhnya, inilah cara pandang normatif sebagai narasi yang melahirkan evaluasi. Ya, evaluasi adalah melihat, menganalisis, dan memperhatikan masa lalu untuk disikapi di masa kini dan dijadikan bahan menyusun rencana masa depan.

Misalkan, tahun lalu kita mengadakan kegiatan fullboard meeting di luar kota untuk membahas draft regulasi dan gagal terselesaikan karena para pembahas kesulitan hadir dengan alasan lokasinya yang terlalu jauh. Masa tahun ini masih akan dilakukan lagi hal sama? Jelas tahu itu kubangan, mengapa malah dengan sengaja memperosokan diri kesana.  

Jadi, tengok dan tatap masa lalu dengan analisis yang mendalam dan nalar yang paripurna agar tegap melangkah ke masa depan. Biasakanlah untuk mengambil pelajaran dari apa yang pernah kita lalui agar sekarang kita bisa perbaiki kesalahannya dan optimalkan prestasinya sehingga masa depan lebih jelas tertuju. 

Jika kita jalani proses وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ dengan baik, kita layak mengaku diri sebagai pribadi berprinsip.

Terimakasih Yogyakarta,
Selepas sowan ke Panembahan Senopati

WHS 

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...