Kinerja, dalam catatan ini, akan kami bonsai hanya sekedar hasil yang dicapai oleh serangkaian pekerjaan dalam bingkai suatu program. Jika hasilnya tercapai, maka program itu berkinerja (performed); dan jika tidak, maka programnya tidak berkinerja (unperformed). Hal yang hendak kami sorot dalam catatan ini adalah ketika unperformed program terjadi akibat kesengajaan atau bahkan by design dengan modus operandi yang sangat masif terjadi, yaitu repetisi. Disinilah yang kami sebut korupsi kinerja.
Korupsi dengan mencuri sebetulnya maknanya sama saja. Namun kata mencuri lebih cenderung dilakukan dengan pola yang sederhana dan vulgar serta cenderung "sembunyi-sembunyi". Sedangkan korupsi, dioperasikan dalam skema yang canggih, terencana rapi, dan terbuka atau dilakukan oleh banyak aktor.
Korupsi dengan mencuri sebetulnya maknanya sama saja. Namun kata mencuri lebih cenderung dilakukan dengan pola yang sederhana dan vulgar serta cenderung "sembunyi-sembunyi". Sedangkan korupsi, dioperasikan dalam skema yang canggih, terencana rapi, dan terbuka atau dilakukan oleh banyak aktor.
Korupsi dan pencurian yang dibedakan karena skema dan pola operasinya itu ternyata ujungnya ya sama saja, yaitu: mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Sengaja kami pilih diksi "Korupsi Kinerja" untuk menyisipkan pesan kepada para pembaca bahwa pola pengerukan sesuatu yang bukan haknya dalam konteks kinerja itu dijalankan dengan pola ala korupsi; skema yang canggih, terencana rapi, dan terbuka atau dilakukan oleh banyak aktor.
[Baca artikel lainnya: Menduga dalam Bekerja]
Sudut pandang yang akan kita gali dari topik korupsi kinerja disini hanya sebatas pada modus operandi yang paling masif, umum, dan sehingga dianggap lumrah, yaitu repetisi.
Perancang dan pelaksana program dengan sengaja menyiapkan rancang-bangun program yang open-ended. Artinya, dengan sengaja program dirancang dan dilaksanakan tidak sampai tuntas agar selalu terbuka lebar peluang dan argumen untuk kembali diulang di tahun anggaran berikutnya.
Modus operandi repetisi program inilah yang sesungguhnya membuat selorohan tentang copy-paste rancangan program dan anggaran selalu terjadi. Program yang dipersiapkan untuk tahun ini hanyalah copy-paste dari tahun lalu. Cukup diubah satu angka penanda tahun di belakang judul program, selesai sudah. Mengerikan bukan?
[Artikel lainnya: Aksi Bela Output]
Skema repetisi program ini tentu diakibatkan oleh policy makers yang tidak menetapkan roadmap program dengan jelas sehingga rangkaian atau tahapan program dibiarkan mengalir tanpa arah. Laksanakan saja, ujungnya bermuara kemana tidak pernah ditetapkan. Akhirnya persis seperti melempar batu ke ruang hampa udara; tidak mengena ke target, pun tidak kembali lagi ke sang pelempar.
[Artikel lainnya: Daya Tahan Organisasi]
Atau bisa juga terjadi repetisi program karena pelaksananya tidak mematuhi roadmap gegara dokumen roadmap itu hanya diterbitkan sebagai buku panduan yang tidak berkekuatan hukum. Kami garis bawahi kata "berkekuatan hukum", karena sudah terlalu banyak ketentuan yang disusun tanpa disertai mekanisme "do or do not". Dengan bahasa lain, ada ketentuan yang tidak jelas apa sangsinya jika tidak dilaksanakan dan apa manfaatnya jika dilaksanakan.
Penyebab lainnya dari repetisi program adalah ketidakpahaman policy makers, perencana, dan pelaksana program tentang tahap tindak lanjut dari sebuah program. Muncul kemudian guyonan, "Kalau dituntaskan, ntar kita ga punya kerjaan". Nah, gegara itulah kemudian program dibuat menganga di bagian akhirnya.
Sahabatku yang baik, apa lagi kita sebut perilaku seperti itu selain korupsi. Karena kesengajaan membuat sebuah program menjadi repetitif itu sama halnya dengan mengambil uang yang seharusnya untuk membiayai kegiatan lainnya tetapi dengan sengaja (skematik, terencana, dan bersama-sama) dialihkan pada kegiatan yang sama dengan tahun sebelumnya.
Namun karena yang paling terang-benderang dicurinya itu adalah kinerja atau hasil dari pekerjaan, kami sebut repetisi program itu adalah korupsi kinerja. In short, korupsi kinerja itu terjadi karena dan mengakibatkan pada 4 (empat) hal, yaitu: Pertama, copy-paste program pada tahun anggaran berjalan; Kedua, roadmap program yang tidak berkekuatanm hukum; Ketiga, ketidakpatuhan pada roadmap program; dan Terakhir, ketidakpahaman pada arah dari setiap program.
Bayangkan, butuh berapa tahun lagi masyarakat atau stakeholders sebuah organisasi menunggu akhir dari sebuah program sehingga dapat menikmati program baru berikutnya. Lalu kemudian, mau sampai di angka berapa uang dihambur-hamburkan untuk program yang sesungguhnya sudah bisa dituntaskan tetapi dengan sengaja dibiarkan atau didesain agar tidak tuntas.
Apapun posisi tugas anda di tempat anda bekerja, berusahalah sekuat tenaga untuk tidak menjadi salah satu aktor yang menyebabkan atau bahkan menikmati korupsi kinerja yang hampir tidak terasa ini.
Tabik,
Mataram, Medio September