Mohon maaf jika judul yang kami pilih langsung dengan kalimat seru dilengkapi tanda seru. Hal ini lebih ke betapa mewabahnya perilaku mengumbar aib dan saking jelas dan lugasnya alasan yang memerintahkan kita untuk menghentikan itu. Mengumbar lebih dari sekedar membuka, tapi diperparah dengan memamerkannya seolah tanpa sesal. Aib bukanlah sekedar kesalahan, tetapi ia adalah kesalahan yang pelakunya malu karena kesalahan itu atau seharusnya malu. So, hentikan mengumbar aib!
Sebelum lebih jauh kita berdiskusi tentang tema ini, perlu dipertegas terlebih dahulu di bagian depan ini bahwa larangan mengumbar aib ini berlaku ganda. Maksudnya, ada tipe pertama yaitu pelaku seseorang yang membeberkan kesalahan orang lain. Lalu kedua, ada juga tipe orang yang menceritakan kesalahannya sendiri.
Aib Orang Lain
Semua dari kita adalah pelaku kesalahan, sehingga sebaik-baiknya manusia adalah yang menyesal dan berhenti dari kesalahannya itu atau bertaubat.
Dengan keterangan diatas, apakah saya, anda, dia, mereka, atau kalian dikecualikan? tidak, sahabatku. Sekecil apapun itu, kita pasti pernah melakukan kesalahan. Apalagi jika kita mulai melompat pada level berikutnya dimana bisa jadi ada kesalahan yang saking halusnya sampai-sampai kita tidak merasa itu adalah sebuah kesalahan. Sampai disitu, lalu bagaimana bisa kita masih berani membeberkan kesalahan orang lain saat kita pun tak luput dari kesalahan.
Sebagaimana diudar diatas, aib adalah kesalahan yang pelakunya malu atau risih saat diketahui bahwa ia adalah pelakunya. Saat pelaku kesalahan merasa malu dengan kesalahannya, bagaimana bisa kita terpikir untuk mengumbar aib orang lain? Pertama, apakah anda bersih 100% dari kesalahan yang memalukan atau aib? dan kedua, posisi apa yang anda miliki sehingga merasa punya otoritas untuk mempermalukan orang lain?
Jika ada seseorang yang tengah perlahan menapaki jalan pertaubatan, lalu dihajar dengan umpatan yang mengungkit-ungkit masa lalunya yang buruk, apa kira-kira yang akan terjadi? Bisa jadi ia sakit hati saja dan tetap sabar dalam pertaubatannya atau bisa juga kemudian ia kembali pada kesalahannya.
[baca juga: Tumben]
Koreksi diri sendiri terlebih dulu sebelum mengoreksi orang lain, demikian sering kita dengar sebuah pernyataan menasehati. Ada juga kita dengar, koreksi dirimu sendiri sebelum kelak nanti kamu akan dikoreksi. Senada dengan itu, kita pun familiar dengan ujaran yang menuntut kita untuk jangan mencari-cari kesalahan orang lain disaat kita masih penuh dengan kesalahan.
Pembaca yang budiman, semua pernyataan diatas adalah benar adanya. Namun, larangan membongkar aib orang lain, bukan kemudian dipahami sebagai anjuran untuk menguliti kekurangan diri sendiri di hadapan umum.
Larangan membuka aib orang lain itu keliru jika dipahami sebagai perintah membongkar aib diri sendiri. Cara bersyukur karena aib kita masih disembunyikan oleh NYA adalah dengan meminta ampun kepada NYA seraya tetap menutupinya. Perintah untuk tidak berbangga diri atas amaliyah shalih yang kita lalukan bukan berarti kita menjadi bangga karena perbuatan buruk, bukan?
Sangat banyak kejelekan kita tidak diketahui orang lain atau pada hakikatnya ditutupi oleh Allah SWT. Hal itu harus kita balas dengan berterimakasih dan memohon ampun kepada NYA.
Dalam keseharian kita, acapkali kita berjumpa orang yang bangga kalau masa lalunya buruk. Dengan raut tanpa dosa, ada orang yang menceritakan detail perilaku buruknya di masa lalu. Mungkin dalam benaknya, cerita masa kelam itu akan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak terjerumus pada kesalahan yang pernah ia buat. Sahabat, mengambil pelajaran dari masa lalu yang kelam tidak perlu dengan mengumbar aib sendiri.
Aib adalah sesuatu yang buruk. Aib bukan hanya dinilai buruk oleh orang lain, bahkan pelakunya sendiri merasa itu adalah sesuatu yang buruk. Aib orang lain jangan diumbar, begitu pun dengan aib diri sendiri. Allah SWT telah menutup aib kita, lalu kenapa kita umbar. Allah pun menutup aib orang lain, lalu atas nama apa anda membongkarnya.
Berhentilah mengotak-atik aib, baik itu pada diri sendiri maupun orang lain. Fokuslah pada upaya menutupinya dengan memohon ampun kepada NYA.
Tabik,WHS