Pemilu 2019 tentu bukan Pemilu pertama yang saya tahu, karena sejak terlahir tahun 1978 saya sudah menjadi saksi hiruk-pikuk pesta demokrasi seperti ini. Sebelum Pemilu 2019 ini, saya pun pernah punya hak pilih dalam pemilu, di tahun-tahun sebelumnya. Tapi, tahun ini rasanya saya sudah tahu salah satu hasil pemilu, bahkan ini hasil yang pasti!
Hasil dari pemilu adalah terpilihnya anggota DPR RI di tingkat pusat, DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta tentunya terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden. Modus standar, semua kontestan tidak hanya sibuk berusaha agar dia memenangkan kontestasi politik ini, tapi juga mengerahkan segala daya upaya untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Ya, memenangkan lomba lari tidak hanya dengan lari secepat mungkin tapi juga dengan menjegal kaki lawan mainnya agar tak dapat berlari. Demikianlah kejamnya pertarungan syahwat politik.
Membongkar kecurangan dalam pemilu harus dilakukan demi hasil pemilu yang jujur dan adil, tapi tidak jarang kecurangan yang dituduhkan itu hanya isapan jempol belaka alias palsu, kabar bohong, atau hoax. Kebohongan tentang kecurangan pemilu yang seperti ini yang sejatinya dijadikan alibi kedepannya tentang invalidnya hasil pemilu.
Ringkasnya, banyak hasil pemilu yang dimungkinkan tingkat validitasnya tidak mencapai 100% karena sedemikian besar peluang terjadinya kecurangan yang memproduksi hasil itu. Tapi yang saya temukan saat ini berbeda.
Hasil pemilu yang justru sudah saya dapatkan sebelum pemilu berlangsung ini tingkat validitasnya sangat tinggi sampai saya begitu yakin untuk menuliskannya dan membagikannya kepada anda. Apakah hasil pemilu 2019 yang sudah saya dapatkan itu?
Pertama, hancurnya kredibilitas informasi.
Hingar bingar pemilu 2019 tak pernah beringsut dari hoax. Ya, trending topik yang selalu berada pada puncak top news pemilu 2019 adalah hoax. Berita bohong yang dengan sengaja diproduksi untuk memfitnah lawan politik.
Kami tidak berpretensi untuk menuduh-nuduh faksi politik manapun dalam tulisan ini, tapi hoax sudah menjadi penguasa informasi di seputar pemilu 2019. Hal ini diperparah dengan lalu lintas informasi yang ditebar melalui media sosial yang langsung diterima di genggaman.
Saat hoax menjadi raja, masyarakat sudah terbiasa terus menerus menelan berita bohong lalu mengetahuinya, menghujatnya, tapi membalasnya dengan berita bohong lainnya. Demikian seterusnya. Akhirnya, masyarakat kita mulai mempercayai bahwa tidak ada informasi yang bisa dipercaya.
Informasi sudah tidak kredibel. Hal yang paling sahih dalam informasi adalah informasi positif tentang pilihan politiknya dan informasi negatif yang menimpa lawan politiknya
Kedua, mengklasifikasikan dan mengolok-olok ulama.
Ulama disebut sebagai pewaris para nabi. Informasi kebenaran dalam agama yang disampaikan Allah SWT disampaikan kepada hamba-Nya melalui perantara pengajaran dari para nabi. Ulama adalah penerus para nabi. Namun apa yang terjadi dengan pemilu 2019?
Kontestasi pemilu 2019 telah membuat umat "berani" mengklasifikasikan ulama; ada ulama yang benar dan ada yang salah.
Saya tidak hendak menyebut bahwa ulama tak pernah salah, tidak. Tapi klasifikasi terhadap sesuatu hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengetahui betul tentang sesuatu. Lalu orang sejenis apakah yang mengklasifikasikan ulama?
Bayangkan, orang yang tidak punya mobil selama hidupnya lalu mengomentari setiap mobil mewah yang lalu lalang didepannya, kata apa yang pantas kita sebut untuk menggelari orang yang menilai sesuatu yang ia pun jauh dari mampu memilikinya.
Seseorang yang jauh dari mengerti ilmu agama, tiba-tiba dengan mudah menilai kualitas keulamaan seorang tokoh gegara pilihan politik. Pada tahapan terburuknya, lahir barisan penghina ulama.
Jika digali lebih dalam, bisa jadi masih banyak hasil pemilu yang sudah kita dapatkan sebelum pemilu itu berlangsung. Namun melihat dua hal di atas saja, sudah cukup rasanya bagi kita untuk sama-sama menginsyafi betapa buruknya pola berpolitik kita sampai sedemikian parah hasil yang didapatkan.
Adalah pekerjaan besar bagi seluruh elemen bangsa untuk terus menerus menginstrospeksi diri demi masa depan bangsa yang telah dibangun dan didirikan serta dirawat sedemikian melelahkan oleh para pendahulu kita. Perlu revolusi besar pada budaya dan etika publik kita agar tidak dengan mudah tergoda menghalalkan segala cara untuk memuaskan syahwat politik.
Tabik,WHS