Kamis, 25 November 2021

Sanad Ilmu dalam Beragama

Prinsip umum dalam keilmuan, yaitu "tiada ilmu tanpa sanad" tak akan pernah pudar. Tapi apakah sanad ilmu itu sebaris dengan silsilah keturunan? Mulai celah diskusi pun mengemuka. Sanad ilmu, bukan sekedar prinsip di dunia tradisi keilmuan agama, tapi prinsip tersebut juga berlaku sesungguhnya di dunia akademis secara universal. Ilmu pengetahuan harus berdasarkan sumber yang jelas dan pasti. Titik tekannya menjadi berbeda ketika sanad ilmu itu berada pada konteks ilmu agama karena berkorespondensi secara ketat dengan praktek keagamaan atau beragama. Betapa bahayanya pola beragama tanpa dasar ilmu yang benar dan betapa meragukannya kelimuan agama tanpa sanad yang valid, pun sama dengan betapa rapuhnya sanad ilmu jika hanya disandarkan pada silsilah keturunan. Agama itu tentang keyakinan bukan keturunan, lalu bagaimana bisa didasarkan pada ilmu yang diragukan dan silsilah keluarga? 

Agama dan Beragama 

Agama berada pada standar norma yang ajeg, tidak berubah, dan konstan. Terdapat ritual keagamaan yang benar-benar tidak dapat dimodifikasi mengikuti zaman. Tata cara peribadatan tertentu yang sudah sedemikian rigid diuraikan, tidak dapat diubah dengan alasan apapun. Akan tetapi pada ranah teknis dan konteks kemasyarakatan, pola mempraktekan nilai-nilai keagamaan selalu dinamis menyesuaikan perkembangan yang mengitari umatnya. Bukan agamanya yang berubah, tapi terdapat item-item teknis dalam praktek beragama yang menyesuaikan pada dinamika sosial. 

Penyesuaian praktek beragama ini tidak dengan mudah dilakukan, selalu dibutuhkan piranti keilmuan mendalam dan menyeluruh untuk melahirkan pola pembaharuan (tajdid) dalam beragama yang menjamin prinsip dasar agama tidak berubah. Tidak bisa dilakukan perubahan pola beragama dengan dasar keilmuan terbatas dan invalid. Pada konteks inilah ilmu agama menjadi berbeda dengan ilmu non-agama karena dibutuhkannya validitas dari ilmu tersebut yang termasuk prasyarat validitas tersebut adalah ketersambungan sanad.

Sanad Ilmu

Ikatlah ilmu yang kau buru dengan tulisan, demikian Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu menegaskan. Artinya, pada level teknis ilmu itu dikuasai dengan dicatat. Lalu kemudian, catatan tentang ilmu tersebut dikodifikasi menjadi buku yang selanjutnya diperbanyak. Teknologi saat ini, memungkinkan berbagai catatan keilmuan tersebar melalui media cetak maupun elektronik. Pertanyaannya, apakah pembaca dari catatan ilmu itu sudah dipandang cukup dan cakap terhadap ilmu yang ia baca?

Pada dasarnya, iya membaca adalah bagian penting dalam pencarian ilmu. Tetapi untuk memahami apalagi mempraktekan ilmu yang ia baca dibutuhkan kepastian ketersambungan makna atas ilmu yang semula tertulis itu. Kami coba bahasakan ulang. Ilmu ditulis, pencari ilmu membaca tulisan itu. Lalu apakah sang pencari ilmu terjamin memiliki pemahaman yang sama dengan yang dimaksud oleh penulis?

Adalah Roland Barthes yang menandai aliran kritisisme dengan prinsip the death of the author. Kematian penulis ini kemudian dimaknai bahwa setiap teks telah bebas terbuka bagi pembaca untuk memiliki pemahaman tersendiri atas teks tersebut alih-alih mengejar makna yang sesungguhnya diinginkan oleh penulis teks tersebut. Jika sedemikian lebar pemahamannya, maka betapa luasnya tingkat potensi perbedaan pemahaman kita atas teks keilmuan yang kita baca. 

Penulis berpendapat bahwa kematian penulis tidak akan menjauhkan pembaca dari maksud atas teks yang ditulis ketika pembaca didampingi oleh pembaca yang lebih dahulu diatasnya dan diatasnya dan diatasnya terus demikian sampai tersambung pada pembaca pertama yang didampingi langsung oleh penulis saat memahami bacaan tersebut. Demikianlah yang dipahami tentang sanad.

Pembaca atas bawah sebagaimana diurai diatas, dalam bahasa sederhananya adalah guru murid. Artinya, sanad ilmu berjalan pada asumsi dasar adanya relasi guru murid dalam kajian keilmuan. Demikianlah ilmu agama mempersyaratkan adanya sanad ilmu yang kemudian makna dasarnya adalah diwajibkannya penggalian ilmu agama pada relasi guru murid. Tidak dapat dilakukan sedang mengkaji ilmu agama ketika tidak ada guru disampingnya yang membimbing sang murid membaca teks keagamaan agar pemahamannya terjamin sama dengan pemahaman dari gurunya.

Silsilah Keturunan

Keturunan adalah penjelasan tentang relasi biologis antara anak dengan ayah-ibunya, kakek-neneknya, buyutnya, dan seterusnya sampai jauh ke belakang. Relasi biologis ini yang disebut keturunan. Tidak dapat dipungkiri adanya hubungan darah menjadi indikator besar adanya keterhubungan keilmuan. Namun, perlu tegas dan jelas kita ingat bahwa didapatkannya ilmu dengan proses tersendiri dan didapatkannya keturunan juga dengan proses tersendiri. 

Keturunan adalah gambaran dari pernikahan; sebuah pertemuan luhur antara dua keluarga berbeda yang berjanji suci dalam akad kuat pernikahan. Melalui proses pernikahan, hubungan berbeda jenis kelamin yang sudah dihalalkan adalah proses lahiriyah dari keberlanjutan keturunan. Sekali lagi, proses lahiriyah. Adapun lahirnya anak dari hubungan suami-istri adalah hak sepenuhnya Allah SWT. 

Bahwa benar, orang tua berkewajiban penuh mendidik anaknya sehingga jika sang ayah adalah seorang yang berilmu maka anaknya berpotensi besar untuk juga berilmu selama orang tuanya berilmu dan memberikan prioritas besar pada pendidikan bagi anaknya. Selain itu, sang anak pun bersungguh-sungguh dalam belajar dan berdo'a agar dianugerahi kemuliaan ilmu sebagaimana telah diberikan-NYA kepada orang tuanya. Pada konteks ini, silsilah keturunan berpotensi terhubung dengan sanad keilmuan karena relasi ayah-anak terkonversi dengan baik menjadi relasi guru-murid. 

Namun, jika orang tua sibuk mengeksplorasi keilmuan yang digandrunginya sampai lupa kewajiban mendidik anaknya dan/atau sang anak tidak mau menempuh perjuangan mencari ilmu, maka tiada harapan bagi orang tua untuk memiliki anak yang berilmu pun tidak dapat sang anak berharap memiliki ilmu sebagaimana orang tuanya jika ia lalai dalam mencari ilmu.

Benar, bahwa ilmu adalah anugerah yang diberikan Allah SWT, akan tetapi kewajiban kita untuk mencari ilmu jelas diperintahkan-NYA dan secara logika proses pencarian ilmu adalah mekanisme lahiriyah untuk didapatkannya ilmu.

Sungguh kasihan orang yang mengklaim sebagai pemegang sanad keilmuan tertentu hanya berbekalkan posisinya dalam silsilah keturunan dari seorang tokoh keilmuan tertentu tanpa menjalani berbagai proses berat pencarian ilmu sebagaimana telah dilalui oleh para sesepuhnya.

[Artikel terkait: Silsilah Keturunan]

Lebih terangnya, seorang anak kyai merasa punya kans lebih besar untuk tetap menjadi kyai seperti bapaknya. Pada sisi lain, seorang anak petani menutup peluang dirinya bisa menjadi seorang kyai di masa depan. Demikian kira-kira, asumsi yang mendasari cara pandang keliru perihal relasi silsilah keluarga dengan sanad keilmuan. 

Strong statement yang kami pegang adalah tidak ada jaminan mengalirnya sanad ilmu bagi pemegang silsilah keturunan karena dua entitas itu berada pada logic frame yang berbeda meskipun beririsan.

Dalam sebuah kesempatan sowan kami dengan Mawlana Abah Habib Luthfi bin Yahya, beliau menyampaikan bahwa "al-ilmu la yaritsu wa la yuratsu", ilmu itu tidak mewariskan dan tidak diwariskan. Seorang 'alim tidak serta merta menjadi jaminan kalau keturunannya akan menjadi 'alim seperti beliau. Sebaliknya, seorang yang 'alim tidak selalu karena beliau dari keturunan yang juga 'alim.

Tabik,
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...