Minggu, 11 Juli 2021

Pesantren Tematik, Mungkinkah?

Pesantren merupakan institusi tua yang ada dalam sejarah sosio-kultural nusantara. Pemaknaan atas kehadirannya telah ditafsirkan oleh ribuan peneliti, tetapi selalu ada makna khusus yang sulit dituliskan oleh 'keyboard' modern dan akademis. Pesantren punya ruang tersendiri di relung hati para santri dan pencintanya yang membuatnya kokoh berabad-abad di nusantara beserta kemajemukannya. Kini, masyarakat sudah semakin heterogen. Demi memenuhi kebutuhan spiritual sebagian orang yang terlambat jatuh cinta pada agama, mungkinkah pesantren di-setup secara paket dan tematik ?

Catatan ini tidak akan bermula dan berujung pada kajian UU Pesantren. Pengertian, logika, dan perspektifnya murni hanya dari penghayatan atas pesantren dari seorang penulis yang seorang santri serta lahir dan besar di lingkungan pesantren.

Adalah Romo Sindhunata (penulis berbagai buku filsafat) menguraikan dalam bukunya Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt (Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atmajaya dan Gramedia, 1983) bahwa masyarakat modern memenuhi kebutuhan maksimal untuk lahirnya tetapi mereka merasa gersang didalam batinnya. 

Demikian pula Nurkholish Madjid saat memberikan komentar atas pemikiran Sayyed Hossein Nasr tentang Islamisasi Ilmu menyatakan bahwa bencana masa depan yang tak tersadari oleh kaum kota adalah rasa dahaganya pada kejernihan 'air spiritualitas' yang dalam waktu lama telah dijauhinya. 

Mulailah kita perhatikan terjadi dentuman besar di dunia majlis taklim. Berbagai kajian keagamaan bermunculan dengan berbagai varian bentuknya. Diadakan di hotel berbintang, di rumah mewah, di rumah dinas pejabat, di masjid perkantoran, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan layar kaca yang bertabur ustadz seleb dengan busana dan gaya khasnya. Lalu akankah pesantren ambil bagian memenuhi kebutuhan spiritual sebagian orang yang terlambat jatuh cinta pada agama ini?

Penulis berpendapat bahwa pesantren perlu membuka diri untuk dapat memenuhi kebutuhan spiritual sebagian orang yang terlambat jatuh cinta pada agama ini. Namun pola yang disajikan perlu dikompromikan antara kekhasan pesantren dan kondisi calon santri barunya yang dari kaum urban ini.

Pesantren tematik, menurut penulis, yang paling kompatibel dan memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan spiritual santri barunya yang berdatangan dari kalangan pengusaha, pejabat, pegawai, karyawan, artis, dan kalangan islam-kota lainnya yang di sela-sela kesibukannya dengan hingar bingar dunia kerja, mereka haus pada "air" agama.

Pesantren tematik, sederhananya adalah pesantren yang hanya menyajikan tema-tema tertentu yang spesifik dan dirancang dalam kurikulum yang simple tetapi tetap terukur serta timeline yang menyesuaikan.

Kira-kira, sedikit banyak pesantren tematik ini menyadur konsep "santri kilat" yang biasa bermunculan di bulan ramadhan, memasuki kehidupan pesantren dalam kurun waktu yang singkat. Namun, bedanya pesantren tematik ini tidak melulu disajikan tempatnya di pesantren. Bisa saja menyewa tempat tertentu untuk menjadi meeting point-nya, atau bahkan di era pandemi ini lebih mudah lagi, tempatnya bisa dimanapun juga karena materi disampaikan secara daring.

Kelebihannya, tentu karena ini pesantren, maka berbagai kekhasan pesantren yang substansi tidak boleh ditinggalkan. Tetap ada dewan kyai dan ada pola pengajian umum ada private. Selain  itu tetap ada pemaknaan kata perkata dari kitab rujukan yang dikaji sebelum diuraikan. Namun, karena para santri bukanlah kalangan yang terbiasa dengan monolog, maka dibuka sessi dialog. Akan tetapi, untuk teknis dari interaksi itu dapat di setup secara live atau bisa juga via fasilitas post/chat. 

Namun point pentingnya bukan teknis penyajiannya yang akan disesuaikan, tapi yang harus digarisbawahi bagaimana masyarakat muslim kota yang sibuk dengan kehidupannya terus berhasrat untuk mempelajari agama dapat menikmati agama dari sumber yang pasti atau jelas sanadnya. 

Hal yang paling menganga dari pola keberagamaan muslim modern itu adalah ketiadaan sanad atau kekurangperhatiannya mereka pada faktor sanad. Cendekiawan pesantren adalah sumber yang paling ketat kaitan dengan sanad. Apa yang dijelaskannya akan merujuk pada bagaimana gurunya menjelaskan, demikian seterusnya. 

Jadi, rasanya pesantren tematik perlu dirumuskan untuk bisa diimplementasikan, bukan sekedar dipikirkan dan dido'akan. 

Kami tulis catatan ini selepas maghrib, lalu tersiar kabar guru kami, KH. Dr. Luthfi Fathullah, MA, pakar hadits di tanah betawi, wafat. Innaa lillahi wa innaa ilayhi raji'un. Keunggulan beliau mengurai ilmu hadits adalah bagian dari kekukuhannya pada faktor sanad yang kami tegaskan pada tema ini.

Selamat jalan guru ku. Kyai Luthfi, antum pasti akan menjumpai Baginda Rasul, karena sepanjang hidup antum gigih memperjuangkan kesahihan hadits-hadits Rasulullah SAW

Tabik, WHS

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...