Kamis, 14 Maret 2019

Agama Madzhab al-Googliyah

Trend keberagaamaan kaum millenial saat ini adalah berguru pada tokoh yang bermunculan di dunia maya. Berkonsultasi pada Mbah Google dengan berselancar dengan searching engine paling populer "Google". Terciptalah kemudian umat beragama bermadzhab al-googliyah: bersandar pada sumber yang terserak di laman world wide webSalahkah jika kita terdaftar di madzhab al-googliyah itu?

Era millenial yang ditandai dengan Revolusi 4.0 menghadirkan satu pola pikir yang sama yaitu simple dan instant. Sehingga mewujudlah world wide web (www) menjadi rujukan bagi kaum millenials ini. Rujukan untuk segala hal, termasuk agama dan beragama atau cara mengamalkan agama. 

Trend memahami agama dan mempraktekan pola beragama dengan merujuk pada limpahan informasi yang tersaji pada dunia maya ini bukanlah hal sepele. Hal paling mencolok dari trend ini adalah munculnya keyakinan bahwa agama dapat dipelajari dengan otodidak alias belajar sendiri dengan mencari referensi sendiri; ringkasnya tanpa guru.

Sudah lumrah kita dengar orang berseloroh tentang betapa berkuasanya Mbah Google. Ya, sang raja searching engine itu sudah lama dilantik menjadi guru besar di dunia maya. Bertanya tentang apapun pada, Mbah Google langsung sigap menjawab dengan sebaris alternatif; mau gabungan semua jawaban atau gambar, video, peta, dan sebagainya. Ada semua di lemarinya Mbah Google.

Tapi jangan salah, Mbah Google sadar tentang betapa dirinya sudah jadi ensiklopedia utama semua informasi. Maka berikutnya, ia menyajikan versi Google Scholar atau Google Cendekia. Versi ini hanya akan menyajikan informasi dari reliable website (website terpercaya). Hal ini dilakukan karena Google khawatir dituduh sebagai biang hoax. 

Namun tentunya, versi Google Scholar ini kurang diminati karena informasinya terbatas. Sehingga publik masih terkonsentrasi diluar Google Scholar. Akibatnya, informasi emas sampai sampah bercampur aduk, penafsiran teks keagamaan oleh pemula dengan pakar ahli dianggap setara, dan lain sebagainya.

Karakter simple dan instant, mendorong kaum millenials ini berguru ke Mbah Google dan jadilah Madzhab al-Googliyah. Memprihatinkan, sangat. Agama berbicara tentang kebahagian kini dan nanti. Agama memastikan pola kehidupan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Bayangkan, jika agama itu ternyata didapat dari lalu lalang informasi yang bertebaran di dunia maya. Pijakan epistemiknya rapuh, argumen ilmiahnya lemah, dan jaminan validitasnya tak bisa dipertanggungjawabkan.

Sahabatku, bukan membaca informasi keagamaan dari internet itu dilarang, bukan. Tapi janganlah bersandar pada searching engine internet untuk mempelajari hal teramat krusial semisal agama.

Carilah informasi dimana tempat digelar dan kapan dilaksanakannya sebuah majlis ilmu keagamaan, hadirlah disana dengarkan langsung penjelasan yang lebih baik tentang agama dari guru yang juga baik. Sumbernya baik, jalur sanadnya baik, dan akhlaknya juga baik.

Saat kita belajar tentang agama dari sumber yang tidak terpercaya, maka kita akan terjerumus pada pemahaman dangkal tentang agama, bahkan bisa jadi keliru. Hebatnya, sang pembelajar dunia maya ini dihinggapi rasa diri paling benar dan mudah menyalahkan yang lain. Saat umat beragama seperti ini, moderasi beragama menjadi impian yang tak mungkin terwujud.

Apakah anda penganut Agama Madzhab al-Googliyah? 

Tabik, WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...