Althusser menyatakan bahwa negara sebagai simbol kekuasaan memiliki dua perangkat: represif (Represif State Aparatus/RSA) dan ideologis (Ideological State Aparatus/ISA). Kedua perangkat ini terkait erat dengan eksistensi negara atau kekuasaan sebagai alat perjuangan kelas dan berfungsi untuk melestarikan dominasi kuasa.
Meskipun RSA bergerak dengan memaksa, tapi ISA memuluskannya dengan mempengaruhi. Pada level common sense, karena RSA menampilkan performa kekuasaan dengan kekerasan fisik, maka publik menolak dan melawannya. Tapi sejurus kemudian, ISA segera memanipulasi kesadaran publik dengan memberikan legitimasi kebenaran atas tindakan RSA, maka publik pun menerima dan menganggap RSA sebagai kebenaran.
Perlu dipahami bahwa meski ideologi dirumuskan oleh individu-individu tertentu atau subyek, tapi ia pun dapat menciptakan subyek-subyek baru. Usaha inilah yang disebut dengan interpelasi, yakni: individu direkrut menjadi subyek ideologi.
Di dunia komunikasi, konsep interpelasi ini, menurut Fiske terkait dengan penempatan individu dalam posisi dan relasi sosial tertentu. Bahkan, menurut Tolson, interpelasi terkait dengan proses identifikasi seseorang dalam kerangka ideologi.
Gagasan Althusser telah memberikan pemahaman bahwa selain disebarkan dalam wacana, perangkat ideologis pun telah menyematkan legitimasi kebenaran dalam setiap tindak kekerasan dan mode dominasi kuasa.
Jika berbagai gagasan brilian yang dikemukakan oleh ketiga tokoh di atas digunakan dalam kegiatan analisis wacana kritis, maka bukan hanya dimensi kepentingan pengarang (the author) yang terungkap, tapi konstelasi kuasa dan ideologi yang terkandung di dalam sebuah teks dapat ditelanjangi.
Akhirnya, dimensi ideologis yang melekat pada sebuah teks yang pada gilirannya mampu memanipulasi makna dan kebenaran itu, akan luruh dengan sendirinya. Inilah yang disebut de-ideologisasi teks.