Selasa, 07 September 2021

Perut, Otak dan Hati

Kita butuh makan dan minum agar kita hidup. Tapi, kita itu bukan hanya tubuh bergerak yang hanya membutuhkan asupan makanan dan minuman untuk organ tubuh kita saja. Kita pun membutuhkan asupan makanan dan minuman yang layak dikonsumsi oleh otak dan hati. Saat perut lapar dan haus, kita makan dan minum lalu kenyang. Tapi ingatkah kita bahwa otak dan hati kita pun seringkali kelaparan dan kehausan?

Dalam durasi waktu dan keadaan tertentu, tubuh kita akan mengirimkan sinyal ke otak bahwa kita kelaparan dan kehausan. Mudah saja, ambil sepiring makanan dan segelas minuman, selesai sudah. Kita pun kenyang. Jika sudah kenyang lalu masih dipaksakan memasukan makanan dan minuman, tubuh kita pun menolak.

Lalu bagaimana dengan otak dan hati? Apakah saat ia kelaparan dan kehausan sinyalnya terkirim ke kita? Sebagaimana organ tubuh fisik, otak dan hati pun akan terbentuk sesuai dengan kita membentuknya. Jika otak dan hati tidak diajari dan dilatih, maka ia pun akan berada dalam posisi dasarnya. 

Adalah proses pendidikan yang menjadi wahana paling nyata dari asupan makanan dan minuman bagi otak dan hati. Pendidikan ini pun tidak dibatasi hanya sebatas proses belajar mengajar di sekolah, tetapi yang juga penting adalah pendidikan yang berproses di lingkungan.

Yang menarik, makan dan minum bagi otak dan hati itu berbeda dengan perut. Jika perut kita itu diberikan asupan makanan dan minuman, maka dalam batasan tertentu perut pun kenyang karena lapar dan hausnya hilang. Sedangkan otak dan hati justru sebaliknya. Otak dan hati ketika tidak diberi makan dan minum justru ia merasa kenyang, tapi saat asupan makanan dan minuman buat otak dan hati mulai dikonsumsi, maka ia justru (seharusnya) semakin lapar dan bertambah haus.

Seorang pembelajar sejati tidak akan pernah merasa puas dengan pengetahuan yang ia dapatkan. Ia akan terus mencari dan mengkaji. Tidak pernah ada kata akhir apalagi terlambat dalam proses belajar. Tapi sebaliknya, perburuan pada kepuasan jasmani, syahwat duniawi justru semestinya dikendalikan bukan mengendalikan. Karenanya, agama dan juga etika sosial mengajarkan untuk berbagi, mengeluarkan sebahagian harta bagi yang membutuhkan, memperhatikan kehidupan yatim piatu dan fakir miskin, dan seterusnya.

Godaan syetan lah yang membisikan sebaliknya. Kebutuhan fisik, jasmani, dan lahiriyah diumbar sehebat-hebatnya sampai tidak mengenal kata puas, sedangkan kebutuhan spiritual, ketenangan hati, kenyamanan jiwa justru ditekan serendah-rendahnya. Seolah sudah kenyang, padahal lapar tak terkira.

Jika perut terus dipenuhi nafsunya, maka ia akan berakhir dengan kenyang. Berbeda dengan otak yang jika terus kita beri asupan ilmu, maka otak akan terus memburu ilmu berikutnya. Hati yang mendengarkan suara perut adalah hati bertendensikan hewani, tetapi hati yang dipertajam otak adalah hati yang insani bahkan ketika hati mulai berkuasa maka otak akan tunduk pada komando hati yang bersumber dari intuisi ilahy.

Reroute your pathway!

WHS

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...