Tidak kemudian dianggap organisasi tak berpendirian karena seolah terombang-ambing oleh perubahan kondisi, karena kita dapat memahami organisasi dalam 2 (dua) perspektif; organisasi sebagai produk dari perubahan dan organisasi sebagai produsen perubahan.
Kendati demikian, kita tetap tak dapat mengelak bahwa dalam dua cara pandang itu saja, penataan organisasi tetap menjadi keniscayaan agar organisasi itu masih punya daya saing (competitiveness) untuk melaksanakan mandatory yang diembannya.
Sebagai produk dari perubahan kondisi, organisasi didirikan untuk mengarahkan perubahan pada kondisi yang diinginkan. Saat perubahan baru terjadi, termasuk perubahan yang dijalankan oleh organisasi itu, maka organisasi pun perlu mengevaluasi apakah bentuk organisasi ini masih compatible dengan kondisi terkini di sekitarnya itu.
Proses penataan organisasi tidak kurang seriusnya dibandingkan dengan perdebatan panjang pada latar historis pendirian organisasi itu.
Penataan organisasi secara umum terdiri dari 4 alur standar, yaitu: assessment, design, implementation, dan evaluation.
Assessment
Assessment atau persiapan rancangan organisasi. Pada level ini, para penata organisasi mengerahkan seluruh energi untuk menggali berbagai variable untuk menetapkan visi, misi, dan orientasi organisasi. Nilai-nilai universal yang menjadi pijakan eksistensial organisasi diletakan pada alur pertama ini.
Artikel lainnya:
Perlu digarisbawahi, bahwa visi misi organisasi itu bukan sesuatu yang absolut, tetap, dan dogmatis. Visi misi itu bisa dan harus selalu dikaji ulang. Tanpa pengkajian ulang pada visi misi, organisasi akan gagap merespons dinamika di sekitarnya.
Design
Design dapat dipahami sebagai alur perencanaan dan pembangunan bentuk organisasi. Pada alur ini, para pendiri organisasi menerjemahkan visi, misi, dan orientasi organisasi menjadi lebih teknikal yaitu bentuk organisasi. Logikanya kemudian, tidak mungkin ada bentuk organisasi yang tidak menggambarkan visi organisasi. Atau, mustahil akan berjalan misi organisasi jika struktur organisasinya tidak mendukung.
Alur kedua inilah yang terkadang saya menganggapnya sebagai core business dari penataan organisasi karena pada tahap ini rancangan struktur organisasi dirumuskan. Signifikansi alur design ini semakin terasa karena di moment inilah visi, misi, dan orientasi organisasi diterjemahkan menjadi bentuk organisasi.
Dengan kata lain, tahap design ini merupakan tahap perubahan logic frame dari ranah yang epistemologis menjadi aksiologis. Mengillustrasikan gambar universal dan value-minded ke dalam landscape yang parsial dan measurable. Membahasakan ujaran-ujaran kualitatif dalam visi, misi, dan orientasi organisasi ke dalam format kuantitatif dalam bentuk bagan organisasi.
Tahap design ini yang acapkali dibahas berulang kali karena sudah sarat dengan kepentingan yang terkadang agak tercerabut dari landas-pijak visi, misi, dan orientasi organisasi. Prinsip "miskin struktur, kaya fungsi" kurang lagi diperhatikan jika sudah berulah dengan gaya berebut jatah sebanyak-banyaknya.
Memperhatikan gejala seperti ini, perlu kiranya kembali kita pertegas alur pertama penataan organisasi yaitu bahwa eksistensi organisasi itu sangat tergantung pada visi, misi, dan orientasi organisasi, bukan strukturnya. Produk yang disuguhkan organisasi sepenuhnya berdasarkan pada visi, misi, dan orientasi organisasi. Sedangkan struktur organisasi itu adalah perangkat yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi, misi, dan orientasi organisasi itu.
Dalam analogi yang lebih sederhana, visi, misi, dan orientasi organisasi itu lokasi yang hendak kita tuju dalam sebuah perjalanan. Berangkat ke lokasi itu mengendarai mobil, motor, atau cukup berjalan kaki itulah yang diartikan struktur organisasi. Jangan sampai lokasi yang kita tuju hanya beberapa meter tetapi kita ngotot untuk mengendarai mobil.
Implementation
Alur implementation atau alur transisi menuju bentuk organisasi baru. Maksudnya, setiap hasil penataan organisasi tidak kemudian langsung dibiarkan para pemangku jabatan untuk duduk di struktur organisasi yang baru tanpa melalui tahapan transisi. Adapatasi dan pemahaman terhadap tugas dan fungsi yang baru perlu diberikan porsi ruang dan waktunya agar tidak kemudian membuat hasil penataan organisasi menjadi percuma gara-gara para pemangku jabatannnya tidak melalui masa transisi.
Sudah lumrah dalam aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap pengelola organisasi untuk "terbiasa" pada sebuah pekerjaan atau tugas. Ketika penataan organisasi menuntut tugas yang sudah terbiasa dilakukan itu dipindahkan dan sang pegawai menerima tugas yang berbeda, maka acapkali tidak mudah tugas itu diterimanya.
Kalau sudah demikian, alih-alih mendorong akselerasi organisasi ternyata penataan organisasi malah membuat organisasi terjerambab ke titik stagnan akibat pelaksana tugas yang belum nyaman dengan tugas barunya atau hilangnya tugas yang biasa dilakukannya.
Pada ranah inilah, alur transisi menjadi penentu berhasil atau tidaknya proses penataan organisasi.
Masa transisi ini membutuhkan beberapa variable di dalamnya. Pertama, laksanakan sosialisasi hasil penataan organisasi yang ditujukan agar para pelaksana tugas memahami langsung bentuk organisasi hasil penataan dari para desainernya. Tanpa tahapan sosialisasi, maka internal organisasi akan terjadi "kerusuhan" akibat dari riuh-rendahnya perubahan dan peralihan tugas yang awalnya ada di jabatan A kemudian berpindah ke jabatan B.
Kedua, lakukan proses analisis jabatan, analisis beban kerja, evaluasi jabatan, dan pemetaan jabatan. Sengaja saya memilih untuk mencantumkan disini kalimat "lakukan proses", bukan "susun dokumen" meskipun produk dari proses itu memang dokumen. Kenapa demikian, karena pengalaman pribadi kami selama ini memperhatikan proses pelaksanaan analisis jabatandan sebagainya itu hanya terfokus pada penyusunan dokumen.
Betul, bahwa analisis jabatan, analisis beban kerja, evaluasi jabatan, dan pemetaan jabatan bentuk real-nya adalah dokumen. Namun jangan miskinkan proses ini menjadi sekedar penyusunan dokumen an-sich. Saat dokumen-dokumen itu tersusun, selesai urusan. Analisis jabatan adalah proses memahami batasan kewenangan, detail uraian tugas, dan berbagai variable lain yang mendeskripsikan sebuah jabatan. Bukan sekedar penyusunan dokumen. Bahwa hasil dari analisis jabatan itu berupa dokumen, iya. Tapi jangan dibonsai kegiatan penyusunan analisis jabatan sekedar proses penyusunan tulisan, tapi proses analisis.
[baca juga: teknis analisis jabatan]
Evaluation
Alur evaluation dapat dimaknai sebagai proses melakukan pengukuran sejauh mana hasil penataan organisasi itu dapat mencapai visi, misi, dan orientasi organisasi. Tentu tidak kami cantumkan proses bentuk organisasi baru itu efektif berlaku karena itu bukan bagian dari alur penataan organisasi. Namun tahap terakhir ini atau evaluasi hanya dilakukan pada bentuk organisasi yang sudah efektif bekerja.
Evaluasi pada konteks penataan organisasi, tidak hanya sebatas mengkaji tahap implementasi saja. Evaluasi menjadikan keseluruhan alur sebagai obyek kajiannya. Evaluasi yang menjadi bagian dari alur penataan organisasi merupakan proses memeriksa ulang apakah keterhubungan setiap alur penataan organisasi ini berada pada ritme yang sama atau tidak.
Kembali ke pertanyaan mendasar; apakah penataan organisasi selama ini sudah menempuh 4 alur diatas?
CMIIW,
WHS