Minggu, 14 Januari 2018

Menuju Penerimaan Amal

Sumber utama catatan ini diadaptasi dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Al-Imam Ibnu 'Athaillah Al-Sakandary dengan interpretasi lebih fleksibel dan ekstensifikasi pada sisi konteksnya sehingga bisa dikonsumsi oleh lintas agama dalam konteks agama, serta juga dapat dinikmati secara umum pada konteks kehidupan keseharian yang lebih profan.

Titik start-nya adalah keberadaan kita sebagai manusia dihadapan Sang Maha Pencipta adalah hamba-Nya sehingga segala sesuatu diarahkan sebagai bentuk penghambaan kita kepada-Nya. Penerimaan amal ibadah kita oleh Tuhan YME merupakan puncak harapan semua hamba-Nya. 

Ada lima faktor yang menjadi variabel utama dalam empat flow chart pada catatan ini sekaligus menjadi bahan introspeksi kita bersama tentang pencapaian kita pada setiap etapenya, yaitu: rizki, pencarian ilmu, penguasaan ilmu, pengamalan, dan penerimaan amal.

Seperti apakah pengelolaan rizki, ilmu, dan amal sampai ke penerimaannya?

Pertama, Rizki dan Mencari Ilmu
"Terkadang ada orang yang diberikan rizki tapi tidak menggunakannya sebagai bekal mencari ilmu"

Rizki yang dipahami dalam pernyataan tersebut tidaklah sesederhana umumnya dipahami. Bukan hanya sebatas uang, tapi keseluruhan yang kita miliki termasuk peluang yang dimungkinkan kita dapati. Anggota tubuh kita, akal, bahkan nyawa kita adalah rizki. Teman karib kita, group WA, status sosial, profesi, sampai ke waktu dan ruang yang membuat kita beraktivitas semuanya adalah rizki. 

Rizki dalam makna yang seluas itu seyogyanya mengantarkan kita pada kemauan untuk menambah wawasan, meningkatkan kemampuan, menggali informasi, dan sebagainya. Inilah yang dimaksud oleh pernyataan yang tercantum di pembuka subtema ini.

Sungguh akan merugi dan tertinggal jauh di belakang, jika keseluruhan daya dan potensi yang kita miliki (rizki) itu tidak membuat kita menjadi lebih berkualitas yang ditandai dengan bertambahnya pengetahuan kita.

Dalam agama, mencari ilmu diwajibkan sampai nyawa terpisah dari jasadnya; limitless. Dalam konteks pekerjaan, sulit dibayangkan anda memiliki competitiveness jika minim dari pengetahuan. Wawasan yang terus meluas tak akan pernah percuma, bahkan menjadi asset yang teramat berharga.  

Disitulah letaknya perbedaan antara perut dan otak kita. Perut, semakin diisi pasti akan kekenyangan. Sedangkan otak, semakin diasupi ilmu pengetahuan baru maka ia semakin kelaparan.

Inilah etape pertama yang harus kita lalui. Optimalisasi segala daya dan potensi kita agar semakin hari membuat kita semakin berkualitas dengan peningkatan kapasitas keilmuan yang terus bertambah.

Kedua, Mencari dan Memiliki Ilmu 
"Terkadang ada orang yang berkesempatan mencari ilmu tapi tidak kunjung memiliki atau menguasai ilmu"

Jika etape pertama dapat dilalui dengan baik; kita dapat mengoptimalisir "rizki" untuk menjadi bekal kita meningkatkan kualitas diri, maka etape berikutnya adalah apakah upaya kita untuk peningkatan kualitas diri itu benar-benar terwujud? 

Tidak sedikit dari kita menempuh proses yang sama, tetapi belum tentu kita memiliki kemampuan pemahaman yang sama. Bahkan, tidak sedikit yang mempelajari sesuatu bertahun-tahun, tapi tetap tidak menjadi ahli di bidang itu. Begitupun sebaliknya.

Penggalian ilmu dan pencarian pengetahuan tidak selalu bergaris lurus dengan penguasaan pada ilmu pengetahuan yang digali dan dicari itu. Sampai titik itu, kembali kita meyakini bahwa kewajiban kita hanya menggali dan mencari ilmu pengetahuan. Bukan memiliki dan menguasainya. 

Kepemilikan atas ilmu, tentu tidak terhenti sebatas ilmu. Kepemilikan ilmu akan dipertanggungjawabkan dengan konsistensinya saat mengamalkannya. Sampai kita kenal pernyataan bahwa amal tanpa ilmu akan ditolak atau tidak diterima.

Ketiga, Ilmu dan Amal

"Terkadang ada orang yang memiliki atau menguasai ilmu tapi tidak diberikan hidayah mengamalkan ilmunya"

Andaikan kita dianugerahi untuk memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan, maka tantangan berikutnya tidak lebih mudah, yakni bagaimana mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh itu. 

Mengetahui sesuatu semestinya segaris dengan melaksanakannya. Contoh sederhana, kita mengetahui bahwa arah ke Bogor itu lewat tol jagorawi, bukan cikampek. Bagaimana mungkin kita memilih jalur tol cikampek. Sesederhana itu. Namun pada pelaksanaannya, justru kita temukan banyak orang yang sudah mengetahui tentang sesuatu, tetapi bersikap seolah ia tidak mengetahuinya.

Ilmu dan amal sungguh tak terpisahkan. Beramal tanpa ilmu akan ditolak, berilmu tanpa pengamalan akan dituntut. Tidak bisa kemudian diakal-akali dengan menyedikitkan ilmu agar tuntutan amalnya pun sedikit, karena kewajiban kita semua untuk terus menambah ilmu sampai kapanpun. Pun juga tidak bisa menolak beramal karena terbatasnya ilmu yang menjadi dasar dari amaliyah tertentu karena sungguh berbeda pengetahuan dan pengalaman.

Keempat, Amal dan Pahala

"Terkadang ada orang yang tekun mengamalkan ilmunya tetapi belum tentu diterima amalannya itu."

Terakhir, apabila kita diberikan anugerah oleh-Nya untuk dapat beramal berdasarkan ilmu yang kita punya, maka yakinlah sepenuhnya bahwa penerimaan atas amaliyah kita adalah hak prerogatif-Nya. Andai terbetik sedikitpun dalam hati kita bahwa kita sudah "aman" dari siksa-Nya karena telah mengamalkan perintah-Nya, itulah ciri utama amaliyah kita akan ditolak-Nya. Kenapa demikian? karena kita telah mengambil alih kewenangan-Nya untuk menerima atau menolak amaliyah kita.

[baca juga: Amaliyah dunia vs aktivitas ukhrawy]

Walhasil,

Secara sederhana kami akan buat beberapa short statement yang memudahkan kita untuk mengulang kembali 5 faktor dalam 4 etape diatas sebagai berikut:

  1. Ada orang yang diberikan anugerah memiliki rizki tapi tidak menggunakannya untuk mencari ilmu
  2. Ada orang yang diberikan kesempatan mencari ilmu tapi tak kunjung dianugerahi untuk memiliki ilmu
  3. Ada orang yang diberikan anugerah dengan memiliki ilmu tapi tidak diberikan hidayah untuk beramal
  4. Ada orang yang diberikan anugerah untuk beramal tapi ternyata amalannya tidak diterima

Lalu jika sudah demikian adanya, buat apa kita mencari ilmu kalau belum tentu kita memahaminya? buat apa kita memiliki ilmu kalau belum tentu kita mengamalkannya? dan buat apa kita beramal kalau belum tentu diterima-Nya?

[baca juga: Bukan-surga-yang-didamba]

Bukan seperti itu premis yang harus kita bangun, sahabatku. Catatan ini harus menjadi teguran untuk kita pada setiap etapenya.

  • Pertama, rizki yang kita miliki harus kita mintakan do'a kepada-Nya agar diarahkan kepada upaya kita mencari ilmu; 
  • Kedua, ilmu yang kita cari harus kita iringi do'a agar diberikan anugerah kepada kita untuk memilikinya; 
  • Ketiga, ilmu yang kita miliki harus kita perkuat do'a agar senantiasa diberikan hidayah untuk mengamalkannya; dan terakhir 
  • Keempat, amal yang kita lakukan harus selalu kita lapisi dengan do'a agar Sang Maha Kuasa berkenan menerimanya.

Upaya apapun harus terfokus kepada-Nya dengan penguhubung do'a-do'a sebagai alat komunikasinya dan puncaknya adalah ikhlas beramal, hanya untuk-Nya. 

Seperti apa ikhlas yang menjadi puncak segalanya itu?

Kita akan berdiskusi lagi di halaman berikutnya.
Seraya mengharap keberkahan dari Sang Mursyid ke-III,
Wassalam
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...