Tidak sedikit masyarakat kita yang masih menganggap program pemerintah itu penuh dengan formalitas. Kaya basa-basi, miskin substansi. Sekalinya ada program yang baik dan berhasil lalu kemudian diunggah ke media sosial, publik tidak menganggapnya sebagai sosialisasi atau publikasi tapi pencitraan.
Dalam konotasi positif, pencitraan itu tidaklah keliru karena dengan citra positif maka organisasi akan semakin terpacu untuk berkarya. Sebaliknya, citra negatif akan membuat organisasi mati langkah; "ngga usah lagi salah, lagi bener saja tetap salah".
Unfortunately, opini publik tidak bisa kita ubah dengan baliho atau pariwara. Pencitraan sudah bukan zamannya lagi diklarifikasi dengan press release. Sikap, tindakan, dan program akan lebih menjelaskan dibandingkan gambar dan kata-kata.
Birokrasi dihadirkan untuk melayani publik. Tidak adanya atau terlambatnya birokrasi menangkap dinamika yang berkembang pada kebutuhan publik adalah tanda berakhirnya atau melemahnya kepercayaan publik atas mandat yang diberikannya pada birokrasi.
Tidak ada lagi pilihannya selain hentikan selebrasi birokrasi!
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama Tahun 2018 kali ini dirancang berbeda dan lebih baik. Setidaknya ada 4 hal yang menjiwai Rakernas yang diadakan tanggal 29 s.d. 31 Januari di Jakarta ini yang membuat kami berkesimpulan bahwa (semestinya) Rakernas ini menjadi berbeda dan lebih baik.
[baca juga: Memahami dan menyikapi perubahan]
Pertama, perubahan desain. Rakernas yang biasanya menjadi "lomba pidato" atau "kompilasi ceramah", diubah menjadi talkshow, konsep penyampaian materi dengan pola yang lebih santai, fresh, dan interaktif. Bediskusi dengan Menteri Agama dengan pola talkshow adalah ikhtiar keras dari penyelenggara untuk mendekatkan lebih dekat antara top manager dengan scuad-nya yang berhubungan langsung dengan stakeholders.
[baca juga: Selebrasi reformasi birokrasi]
Kedua, memperbesar partisipasi peserta. Keterlibatan peserta pada Rakernas kali ini lebih besar dengan perangkat dokumen DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta tidak lagi datang tanpa dokumen. Pemetaaan permasalahan sudah dilakukan sebelum diskusi dimulai.
Ketiga, hasil rakernas menjadi program. Rakernas fokus pada perencanaan dan pelaksanaan program prioritas bersama, tidak lagi parsial tapi integral. Salah satu celah besar dalam setiap rakernas adalah tidak bergiginya hasil rakernas dihadapkan pada program satker di lapangan. Hasil Rakernas A, program di satker B.
Menteri akan membuat tim pengawas yang bertugas memantau tindak lanjut dari Rakernas agar benar-benar dijalankan oleh satker. Timwas pun akan dilengkapi oleh instrumen dalam bentuk sistem aplikasi untuk memantau pelaksanaan hasil Rakernas dalam program satker.
Terakhir, materi rakernas bersifat instruksional. Rakernas menjadi sarana menteri dan pimpinan unit eselon I pusat untuk menyampaikan instruksi penting terkait dengan kebijakan strategis.
Dengan 4 pola baru itu, Rakernas Kemenag 2018 akan berbeda dan lebih baik. Akhirnya, berbekal rakernas pola baru ini, maka Kemenag akan menghindarkan diri dari mode formalitas, basa-basi, dan pencitraan yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan publik.
[baca juga: Mempertegas Arah Organisasi]
Rapat Kerja Nasional bukan ajang temu-kangen yang nir-substansi program. Rakernas bukan ajang pamer keberhasilan program sambil menutupi kekurangan yang dihasilkan dari evaluasi. Rakernas bukan seremonial belaka.
Berangkat dari rakernas gaya baru ini, Kementerian Agama akan memasuki era baru yaitu era yang bersih dan jauh dari pola selebrasi birokrasi yang masih diduga menjadi penyakit akut birokrasi. Selamat tinggal formalitas, basa-basi, dan pencitraan. Kini, Kementerian Agama tidak ada lagi mengenal selebrasi birokrasi.