Almarhum Presiden Gus Dur pernah menyindir Kementerian Agama dengan ucapan seperti pasar. Kami tidak mengetahui dan tidak mencari tahu konteks yang tepat dari kritikan beliau ini, namun kami coba menafsirkan sendiri bahwa suasana perkantoran di Kementerian Agama ini terlalu ramai, hiruk pikuk, tidak jelas siapa tamu siapa pegawai, yang mana rekanan perusahaan dan yang mana pejabatnya. Singkatnya, hiruk-pikuk.
Hadirnya pelayanan terpadu Kementerian Agama, menurut kami, untuk mengakhiri hiruk-pikuk ini. Setiap ruangan fokus mengerjakan tugasnya, tamu hanya berkunjung ke kantor khusus yang dibuat untuk menerima pengajuan layanan dan menyerahkan hasil/produk layanan dari Kementerian Agama.
Tulisan ini kami ajukan sebagai bahan diskusi untuk membangun pelayanan terpadu di Kementerian Agama yang harus semakin baik dan semakin baik. Tentu saja, tulisan ini bukan official policy tapi kontribusi pemikiran personal semata.
Menurut kami, ada beberapa prinsip utama yang harus dipahami untuk menjalankan pelayanan terpadu ini. Pertama, konsep besar pelayanan di Kementerian Agama diarahkan pada minimalisasi human by human yang juga sama artinya dengan sebanyak mungkin mengembangkan pola dan perangkat sistem aplikasi dalam menjalankan proses layanan.
Dengan bahasa lain, semakin sedikit orang yang datang in person ke Kementerian Agama untuk mengajukan permohonan layanan, maka semakin besar kualitas pelayanan terpadu.
Kedua, untuk mengoperasikan sistem besar pada butir pertama diatas, maka perlu dibentuk unit khusus yang menjadi front office dari pelayanan terpadu ini. Unit inilah yang menjadi satu-satunya pintu bagi masyarakat untuk mengajukan, memonitor, dan menerima hasil/produk layanan.
Sistem aplikasi besar yang menjadi pusat monitoring proses layanan dikendalikan oleh pengelola unit pelayanan terpadu. Sistem aplikasi itu berfungsi untuk menjamin transparansi proses layanan bagi para pengguna layanan. Sistem aplikasi itu pula yang menjadi garansi kepastian layanan.
[baca juga: Mengaplikasikan-sistem-penataan organisasi]
Adapun proses pelayanan yang selama ini sudah berjalan, tetap dijalankan oleh unit kerja masing-masing, tetapi dengan SOP yang jelas, terbuka, dipatuhi, dan dikontrol sistem aplikasi. Jadi, pelayanan terpadu disini akan tergambar dengan beberapa pointers sebagai berikut:
Pertama, semua dokumen permohonan layanan hanya diajukan ke dan/atau diterima oleh satu pintu, yaitu unit khusus pelayanan terpadu. Secara bertahap, proses pengajuan permohonan layanan terkonsentrasi hanya ke unit pelayanan terpadu. Kedua, unit ini menginput seluruh pengajuan sesuai dengan jenisnya ke dalam sistem aplikasi yang secara terintegrasi juga dibangun pada seluruh unit kerja sehingga jelas tanggal berapa dokumen itu diterima.
Ketiga, dokumen diajukan ke unit masing-masing untuk diproses sesuai dengan SOP yang sama-sama dipahami oleh unit pelayanan terpadu, unit pelaksana teknis, dan juga terkonfigurasi dalam sistem aplikasi. Setiap tahapan proses dalam SOP dipantau oleh unit layanan terpadu di internal satuan kerja supaya ter-update ke sistem aplikasi utama.
Input data proses layanan ini sangat berguna untuk membuat unit pelayanan terpadu pusat dan juga pengguna layanan sama-sama dapat melakukan document tracking. Selain itu, unit pelayanan terpadu pusat dapat memberikan warning kepada satuan kerja jika terjadi ketersendatan proses atau penuntasan layanan yang overtime.
[baca juga: pelayanan adalah kepastian]
Sampai disitu, terdapat beberapa kesimpulan yang sepertinya benar tapi sesungguhnya keliru. Pertama, pelayanan terpadu tidak memberikan perubahan apapun kecuali menambah jalan berliku birokrasi; dan kedua, sistem aplikasi pelayanan terpadu hanya sebatas document tracker, tidak lebih. Sepertinya benar, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Terdapat beberapa perubahan pola yang penting untuk menjalankan empat tahapan diatas. Pertama, pelayanan terpadu perlu didukung dengan penyederhanaan proses pendelegasian wewenang. Kedua, dokumen yang diajukan pada unit teknis sudah dipastikan adalah dokumen yang memenuhi persyaratan sehingga tidak lagi ada tumpukan dokumen di unit teknis. Hal ini hanya akan berjalan dengan baik ketika kriteria layanan jelas tertulis dan terpublikasi.
[baca juga: Mengukur-tanpa-ukuran]
Berikutnya, pengajuan dokumen asli (otentik) hanya dilakukan setelah dokumen digital diposting melalui sistem aplikasi dan diverifikasi terlebih dahulu. Terakhir, sistem pelayanan terpadu pun perlu membuat semacam jadwal khusus yang harus dipatuhi oleh setiap pejabat berwenang agar berada di tempat saat proses layanan dijalankan.
Mudahnya seperti ini, dokumen yang harus ditandatangan oleh Menteri mengasumsikan dokumen tersebut harus diparaf terlebih dahulu oleh Sekretaris Jenderal, Kepala Biro Hukum, dan pejabat eselon I di satuan kerja yang mengelola program yang sesuai dengan substansi dokumen.
[baca juga: Sekretariat-itu-terminal]
Dengan demikian, harus tersedia jadwal khusus bagi setiap pejabat untuk memproses seluruh dokumen yang diajukan. Katakanlah 2x60 menit di setiap harinya pejabat diwajibkan untuk tidak keluar kantor atau tidak menerima tamu, tapi fokus membubuhkan paraf atau tandatangan. Tidak mudah, memang. Tapi faktor keberadaan pejabat terkait ini pun harus diperhatikan karena tanpa itu proses pelayanan tidak berjalan.
Tentu jalan ini memang panjang, tetapi proses perubahan tetap harus dilakukan. Mengadopsi illustrasi dari Menteri LHS, butuh putaran roda kemudi lebih banyak untuk mengubah sedikit saja arah kementerian ini. Pelayanan terpadu berbasis e-Govt ini akan mempercepat putaran roda kendali "kapal tanker" Kementerian Agama, semoga.
[Baca juga: Memulai-meski-tidak-sempurna]
Walhasil, kami secara intelektual bertanggungjawab dan membuka diri seluas-luasnya untuk koreksi dan masukan dari berbagai pihak atas gagasan dan interpretasi kami terhadap tema ini karena dalam tulisan ini sepenuhnya adalah gagasan pribadi penulis, sama sekali bukan kebijakan instansi. Kenapa ini dituliskan dan dipublikasikan? Tentu sebagaimana halnya setiap tulisan gagasan, catatan ini ditulis untuk menjadi bahan diskusi bersama.