Selain untuk beribadah kepada-Nya (QS al-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah-Nya (QS al-Baqarah: 30), makna kehadiran manusia di muka bumi ini pun membawa misi untuk membangun tatanan hidup sejahtera (QS Hud: 61). Dalam kerangka itulah, agama berada dalam posisi dan peran yang sangat manentukan.
Namun karena pada dasarnya agama adalah hal yang transenden, maka ketika menyentuh tataran manusiawi bersama realitas-historisnya, pemaknaan agama itu muncul dalam bentuk simbol, sebagai jembatan untuk membangun mekanisme komunikasi antara Tuhan yang supranatural dengan manusia yang natural.
Penafsiran atas simbol-simbol itulah yang melahirkan berbagai fenomena keagamaan yang selalu membedakan mana yang hadir dan mana yang dihadirkan.
Selanjutnya, karena ajaran agama menembus ke seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan (tidak hanya ummat beragama itu sendiri), maka penafsiran atas simbol agama menjadi plural.
Salah satu penyebab yang mendorong munculnya pluralitas makna simbol agama itu adalah posisi manusia itu sendiri selaku zoon politicon yang mengasumsikan bahwa manusia tak akan pernah terlepas dari bias kepentingan—termasuk politik—ketika berhadapan dengan simbol-simbol itu.
Dengan demikian, penafsiran atas simbol keagamaan pun tak luput dari bias kepentingan yang dibawa oleh sang penafsir (mufassir), entah itu cendekiawannya (ulama) atau pembaca awamnya (ummat).
Setelah pluralitas tafsir atas agama tumbuh subur di berbagai aspek, maka dengan sendirinya penafsiran itu membuka peluang untuk menghadirkan agama dengan wajahnya yang lebih sempit atau lebih luas. Penafsiran itupun, bahkan melahirkan sejumlah karakter paradoks dalam agama yang notabene diyakini paripurna.
Secara umum, karakter paradoks agama itu diantaranya adalah:
Pertama, terkait dengan perkembangan peradaban manusia. Sejarah menunjukkan bahwa Islam adalah sumber inspirasi, tapi sejarah pun menyaksikan bagaimana cara pandang parsial atas agama telah memasung pemikiran ummatnya.
Artikel terkait lainnya:
Kedua, terkait dengan hubungan kemanusiaan. Jika agama diletakkan secara inklusif, maka ia menjadi sumber persaudaraan sejati (sentripetal). Namun bila tampil eksklusif, maka ia berubah menjadi akar konflik sosial dan penyulut permusuhan abadi (sentrifugal).
Ketiga, terkait dengan cara pandang agamawan terhadap perubahan sosial. Cara pandang literal-tekstual akan mencetak umat yang kaku dan resisten terhadap realitas sosio-historisnya. Tapi jika dilihat secara kontekstual, ia akan mencetak penganut agama yang adaptif dan responsif terhadap tuntutan perubahan sosial.
Bermula dari pluralitas makna, simplifikasi sampai pemunculan karakter paradoksnya, maka pada gilirannya kemudian, agama dihadirkan di tengah-tengah realitas sosio-historis dalam berbagai wajah (multi-faces).
Pada konteks inilah kajian tentang warna-warni dalam agama mengarah pada kesimpulan sementara bahwa agama yang kita saksikan ini adalah agama yang dihadirkan karena sudah melibatkan penafsiran didalamnya.
Maksudnya, saat memasuki realitas kemanusiaan dan kemasyarakatan, agama mengalami pewarnaan dari pemeluknya sehingga hadir seperti yang kita saksikan saat ini.
Tentu tidak hanya sampai disini diskusi panjang ini berakhir karena kehadiran agama adalah tema sepanjang masa yang selalu penuh liku dan terkadang penuh kejutan tak terduga.
Wallahu a'lamWHS