Selasa, 06 Maret 2018

Islam, Politik dan Ali Syari'ati

Penafsiran atas simbol-simbol yang akan memunculkan Islam yang multi-faces itu selanjutnya akan selalu melibatkan kompetisi dan persaingan demi penguasaan atas institusi-institusi, baik formal maupun informal, yang menyokong penafsiran itu. Demikian yang disimpulkan dalam kajian Dale F. Eickelman dan James Piscatori yang tertuang dalam bukunya, Ekspresi Politik Muslim (1998).

Jika demikian kenyataannya, maka sejarah perebutan tafsir dalam Islam, sama panjangnya dengan sejarah tentang relasi Islam dan politik itu sendiri. Oleh karena itu, wajar jika perdebatan tentang relasi Islam dan politik dalam landscape khazanah pemikiran Islam secara umum, telah menjadi sebuah tema yang seakan tak akan pernah menemui kata akhir.

Jika dirunut pada masa-masa awal dalam sejarah Islam, kiranya perdebatan mengenai pola relasi Islam dan politik mulai menemukan momentumnya sejak peristiwa wafatnya Rasulullah saw. Pada saat itu muncul perdebatan mengenai siapa yang berhak menjadi pelanjut Rasulullah saw selaku khalifah. 

Perdebatan ini memang dapat diselesaikan dengan baik, namun tidak tuntas secara keseluruhan. Karena konteksnya yang berbeda. Pada saat dipegang oleh Rasulullah saw, khalifah adalah pemegang otoritas agama plus politik. Tapi ketika seorang khalifah bukan lagi seorang Nabi, apakah kedua otoritas itu masih terintegrasi sedemikian rupa?

Philip K. Hitti dalam History of The Arabs: From The Earliest Time to The Present menyebutkan bahwa posisi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw hanyalah sebuah institusi temporal, sebab tidak mungkin melakukan suksesi keagamaan atas ajaran Rasulullah saw selaku penutup para Nabi. Artinya, khalifah hanyalah memegang otoritas politik semata.

Pendapat Hitti ini berlawanan dengan keyakinan yang berkembang di kalangan Syi’ah yang justru memahami bahwa seorang khalifah atau imam itu memiliki kekuasaan atas agama dan politik. 

Dalam buku Imam Khomaeni’s Last Will and Testamen, Ayatullah Khomaeni, tokoh Syi’ah Iran, menyatakan: “bagi yang menganggap Islam memisahkan pemerintahan dan politik, harus dikatakan kepada orang-orang lalai ini bahwa al-Qur’an yang suci dan Sunnah Nabi mengandung lebih banyak peraturan tentang pemerintahan dan politik daripada hal-hal lain”

Dari dua pendapat di atas saja dapat dengan mudah dipahami bahwa perdebatan tentang relasi Islam dan politik tidak hanya terkait dalam masalah teks, konsep atau teori semata. Tapi pada level praksis, perdebatan ini telah memunculkan fakta-fakta historis di berbagai negara dewasa ini.

Namun yang cukup menarik untuk disorot lebih tajam dalam kajian ini adalah latarbelakang intelektual dari para pemikir yang terlibat dalam perdebatan ini begitu menentukan. 

Sehingga—meskipun terkesan serampangan—pemikir yang sempat bersentuhan dengan wacana-wacana Barat akan berada pada posisi yang relatif lebih adaptif atas konsep politik yang muncul dari luar Islam. 

Berbeda dengan pemikir yang bergelut dengan wacana klasik dalam Islam yang lebih resisten akan wacana-wacana barat tadi. Dalam konteks inilah, tokoh seperti Ali Syari’ati menempati posisi penting untuk dikaji lebih lanjut. 

Pada satu sisi, Ali Syari'ati adalah seorang pemikir penganut Syi’ah yang lahir dan besar di Iran, kawasan pusat penyokong madzhab Syi’ah, tapi di sisi lain ia menempuh pendidikan di Paris, Perancis, dan mengenal ideologi-ideologi barat dengan sangat baik. Dengan latar belakang yang sangat unik ini, gagasan Ali Syari'ati tentang relasi Islam dan politik menjadi sangat menarik.

Lahir dalam keluarga terhormat (24 November 1933), Ali Syari'ati sejak kecil telah terbiasa dalam kehidupan intelektual bersama 2000-an koleksi buku perpustakaan milik ayahnya. Tahun 1941, Syari'ati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Abu Yamin yang juga tempat ayahnya bekerja. Sejak jenjang pendidikan dasar ini, Syari’ati memang berbeda dengan anak lain seusianya. 

Ali Syari'ati kecil telah mulai akrab dengan karya dari Victor Hugo, Franz Kafka, Arthur Schopenhauer, Maurice Materlinck dan berbagai karya filsafat, politik dan sastra (Ali Rahnema (ed.), Pioneers of Islamic Revival (terj. Ilyas Hasan), London: Zed Books Ltd, 1994, dalam Ali Syari'ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-2, hal. xiii-xv).

Sejak 1953, Ali Syari'ati mulai terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Dari mulai keterlibatannya dalam Liga Kemerdekaan Rakyat Iran (Jam’iyat Azadi-e Mardom-e Iran), bergabung dengan Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) sampai menulis kolom politik di koran Khorasan. Kemudian, setelah menikah pada tanggal 15 Juli 1958 dengan Pouran, Syari'ati lulus dari Fakultas Sastra Universitas Masyhad dan mendapatkan beasiswa ke Paris. Pada bulan April 1959, Syari'ati berangkat kesana.

Selama berada di Paris itulah, Syari'ati mereguk berbagai gagasan baru yang kemudian menjadi inspirasi dalam berbagai produk pemikiran serta aktivitas politiknya di kemudian hari.

Salah satu tokoh yang dikagumi oleh Ali Syari'ati semasa ia berada di Paris adalah Frantz Fanon, terutama pemikiran Fanon tentang solidaritas dunia ketiga, internasionalisme, penolakan terhadap model pembangunan eropa, dan perlunya dunia ketiga menciptakan manusia baru dengan gagasan dan sejarah baru.

Bertolak dari gagasan itulah, Ali Syari'ati muncul sebagai sosok pemikir yang lantang melawan berbagai hegemoni Barat (M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Jakarta: Lentera, 1999, Cet. ke-1, hal. 8).

Namun sebagai salah satu tokoh intelektual muslim didikan Barat, posisi perlawanan Syari’ati pada hegemoni Barat tidak membuatnya apriori terhadap Barat. Tetapi tidak pula tersubordinasi di dalamnya.

Latar belakang sosial dan intelektual Ali Syari'ati yang demikian kompleks itulah yang membuatnya menjadi pemikir politik Islam yang unik. Sehingga sosok Ali Syari'ati dapat muncul dalam berbagai wajah tergantung sudut pandang yang digunakan dan kelompok yang melihatnya. Meskipun demikian, Azyumardi Azra menyatakan bahwa masih terdapat konsistensi Syari’ati dalam hal pandangan-dunia (world view). 

Menurut Azra, pandangan-dunia Ali Syari'ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama (baca: Islam) dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini, Ali Syari'ati dapat disebut sebagai pemikir politik keagamaan (politico-religio thinker).

Gagasan Ali Syari'ati terkait dengan tema relasi Islam dan politik memang beragam dan menyentuh banyak sub-tema. Namun secara umum, gagasan-gagasan tersebut dipicu oleh prinsip dasar yang dianut oleh Ali Syari'ati. 

Prinsip dasar yang dimaksud adalah pandangan bahwa Islam harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat tertindas, baik secara kultural maupun politik. 

Lebih luasnya, Ali Syari'ati mendambakan Islam yang menjadi ideologi revolusioner ke arah pembebasan dunia ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat.

Dengan berbekal pandangan Islam sebagai kekuatan revolusioner, nama Ali Syari'ati pun terpampang indah di dinding sejarah sebagai pemikir yang berhasil mengilhami bergulirnya revolusi di Iran pada akhir 70-an. 

Meskipun pada saat revolusi Iran terjadi, Ali Syari'ati sudah wafat (Inggris, 19 Juni 1977), tapi tak ada memungkiri peran besarnya dalam memberikan aras awal revolusi besar tersebut. Sehingga wajar jika Ali Syari'ati dinobatkan sebagai the ideologist of revolt.

Memperhatikan paparan di atas, maka kajian atas tema Relasi Islam dan Politik dalam Pemikiran Ali Syari’ati menempati posisi yang strategis. Karena, selain akan mengurai perdebatan tentang posisi politik dalam khazanah pemikiran Islam, namun juga kajian ini akan menyentuh pada fakta historis (revolusi Islam Iran) dimana politik Islam menemukan perwujudannya.

With a cup of coffee
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...