Mainstream beropini bahwa pola iklim organisasi akan sejuk saat keputusan dilakukan bermula dari bawah (bottom up). Pada sisi berlawanan, pemimpin divonis otoriter ketika merumuskan kebijakan dari atas (top down). Dalam diskusi kali ini, kami justru mengajak anda untuk merenungkan betapa top
down policy ternyata tetap wajib dilakukan demi masa depan organisasi.
Kami tidak bermaksud mengajak para organisatoris untuk memilih pola kepemimpinan diktator atau otoriter; mengambil keputusan dengan mengesampingkan suara-suara dari bawah dan aspirasi yang berkembang pada stakeholders organisasi. Bukan begitu idenya.
Kami tidak bermaksud mengajak para organisatoris untuk memilih pola kepemimpinan diktator atau otoriter; mengambil keputusan dengan mengesampingkan suara-suara dari bawah dan aspirasi yang berkembang pada stakeholders organisasi. Bukan begitu idenya.
Top down policy yang kami maksudkan disini berangkat dari asumsi bahwa individu yang berada pada pucuk pimpinan organisasi harus hadir dengan menghadirkan genuine ideas yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan organisasi.
Tidak
bisa kita menerima untuk ditugaskan menjadi nahkoda sebuah kapal pesiar jika
kita tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan teknis tentang ke-nahkoda-an
serta tidak memiliki kecermatan, ketelitian, dan keberanian sebagai beberapa
sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang nahkoda.
Dengan
bahasa lain, sejak menduduki posisinya, seorang top manager harus sudah
memiliki ide dasar terkait masa depan organisasi yang dipimpinnya dan langsung
memaparkannya dihadapan anggota organisasi itu.
[Artikel lain: Asesmen Kompetensi dan Open Promotion]
Keterpilihan
seseorang menjadi pimpinan organisasi bukan dimulai saat ia terpilih,
ditetapkan, atau dilantik. Keterpilihan kepemimpinan itu saat ia mampu
mengutarakan gagasan genuine-nya sehingga anggota paham mau dibawa kemana
organisasi ini.
Gagasan
genuine itu dipilih dan diputuskan oleh top manager. Adapun pola perumusan
bahkan pengambilan keputusan tentang gagasan itu tidak mesti hasil analisis dan
refleksi personal sang pemimpin. Gagasan itu bisa saja digali dari diskusi,
sharing ideas, atau bahan bacaan.
Point yang menjadi pokok adalah seorang pemimpin tidak bisa duduk di tahta kepemimpinan saat tidak menenteng sepaket ide autentik yang dipilih, diputuskan, dan dipertanggungjawabkan oleh sang pemimpin.
Anggota
organisasi mana yang bisa bekerja dengan sepenuh hati saat dipimpin oleh orang
yang tidak memiliki gagasan autentik tentang substansi tugas organisasi itu.
Respek, apresiasi, wibawa, dan kharisma seorang manager tidak cukup hanya
mengandalkan kedudukannya dalam struktur organisasi.
[Artikel terkait: Diberhentikan dari Jabatan]
Semangat
kerja para pegawai akan sangat besar diharapkan mewujud saat sang pemimpin
berdiri tegap dan gagah karena sejumput ide segar di genggaman tangannya. Ketika program dimulai dengan lontaran ide pimpinan organisasi, maka mentalitas tim organisasi akan terbangun kokoh, percaya diri, dan merasa terlindungi karena ia menjalankan ide yang digagas pimpinannya.
Gagasan
asli bawaan sang pemimpin itulah yang kami maksud agar dapat dipatuhi oleh
pegawai pada level teknis. Kepatuhan dimaksud hanya berjalan jika pegawai
diberikan instruksi yang jelas, tegas, dan bernas tentang kemana mereka harus melangkah.
[Baca artikel lainnya: Mempertegas Arah Organisasi]
Top
down policy, bukan otoriterianisme bukan pula diktatoriat. Top down policy
adalah pola pengambilan keputusan tentang kebijakan umum dan strategis hanya
dipilih oleh yang paling betanggungjawab, yaitu top manager.
Top down policy pun dapat memastikan apakah sang pemimpin telah mempersiapkan peta masa depan organisasi atau tidak tahu mesti dari mana mereka mulai bekerja.
Yang
mulia para pimpinan yang terpilih, pikirkan kembali apakah saudara pernah
menawarkan sebuah ide asli tentang masa depan organisasi tempat anda bertugas?
Jika belum, percayalah tim anda sedang melamun sambil menerka-nerka; mau dibawa
kemana organisasi ini.
Tabik,
WHS
Tabik,
WHS