Mahasiswa dapat
dikatakan sebagai momentum pelompatan status dari siswa. Karena tanggung jawab
social seorang mahasiswa lebih tegas bahkan lekat dengan kerja intelektualnya
sendiri.
Artinya, jika sisi kritisisme intelektual yang dimiliki oleh mahasiswa
dis-connect dengan sisi transformasi sosialnya, maka pijakan
eksistensialnya selaku mahasiswa serta-merta ambruk dan tak pantas lagi disebut
mahasiswa. Inilah divergensi “siswa” dengan “mahasiswa”.
Visi intelektual dan
sosial adalah sine qua non bagi eksistensi mahasiswa. Karena identitas
dasar mahasiswa adalah bertemunya titik equilibrium dari kritisisme intelektual
di satu sisi dan transformasi sosial pada sisi lainnya.
Paradigma
kritis-transformatif inilah yang menjadi pijakan eksistensial mahasiswa,
termasuk saat gaung sejarah kembali memanggilnya untuk berpentas di pagelaran
demokrasi Indonesia.
Sebagaimana dipahami
bahwa sejak rezim developmentalist fascism Orba berkuasa, Indonesia
telah terjerambab ke kubangan democratic breakdown selama tiga dasawarsa
lebih. Bahkan represife and ideological state apparattus pun dioperasikan Orba
untuk menjangkitkan wabah the culture of silence agar tumbuh kesadaran
magis di masyarakat kita. Orba pun sempat menorehkan luka dalam di tubuh
mahasiswa dengan NKK/BKK yang berarti likuidasi visi transformatif mahasiswa.
Seiring dengan
perubahan geopolitik global, kekuasaan Orba pun berakhir pada medio ‘98. Sekali
lagi, sejarah menobatkan mahasiswa untuk memimpin perang manuver ke lingkar
elit politik di bawah bendera reformasi. Namun elitisme reformasi itu telah
menggadaikan perang posisi di level sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya.
Akibatnya, reformasi tak lebih dari sekedar regulasi politik elit yang tidak
berimbas ke level grass root.
Selain hanya menyemaikan kesadaran naif
pada masyarakat kita, transisi setengah hati yang dihasilkan reformasi, justru
malah memuluskan kompromi elit untuk melakukan reorganisasi tiran. Bahkan
mahasiswa didakwa masyarakat atas prahara sosial-politik saat itu.
Memang perubahan
seringkali mampu memunculkan transisi, tapi tidak setiap transisi akan
melahirkan perubahan. Bahkan jika miss-reading, transisi justru akan
membangkitkan otoriterianisme baru seperti dicontohkan generasi reformasi.
Oleh
karena itu, demi tercapainya penuntasan transisi menuju konsolidasi demokrasi
diperlukan upaya-upaya dari mahasiswa untuk melakukan reformulasi atas pola
gerakannya selama ini. Diantaranya;
Pertama, operasionalisasi
strategi transformasi sosial mahasiswa harus tetap berpijak pada
kritisisme-intelektual sebagai identitas. Kedua, diversifikasi gerakan
mutlak dijalankan mahasiswa untuk mengorganisir seluruh sektor kemasyarakatan,
agar mahasiswa tidak terkonsentrasi di zona politik saja. Ketiga,
desentralisasi gerakan yang dilakukan dengan penguatan jaringan ke seluruh
elemen pro-demokrasi. Selain untuk menghadang pola adu-domba mahasiswa, juga
untuk menghapuskan elitisme gerakan mahasiswa.
Ketiga langkah
tersebut hanya akan menjadi ornamen kata belaka jika mahasiswa sebagai aktornya
justru dididik dalam sistem yang justru tidak membebaskan. Pada konteks itulah,
posisi pendidikan kritis menemukan urgensinya sebagai upaya untuk menciptakan
aktor perubahan (baca: mahasiswa) yang berbekalkan kesadaran kritis.
Jika sudah
demikian, maka conscientizacao akan terwujud. Pada gilirannya kemudian,
tercapailah iklim keterbukaan dalam masyarakat kita (open society). saat
itulah, pilar demokrasi substansial kokoh terpancang di bumi pertiwi, semoga.
Illustrasi berikut ini untuk memberikan penjelasan tambahan atas uraian diatas.
Wa Allah al-Muwaffiq Wa al-‘Aql al-Mufassir
Illustrasi berikut ini untuk memberikan penjelasan tambahan atas uraian diatas.
Wa Allah al-Muwaffiq Wa al-‘Aql al-Mufassir
WHS
Acknowledgment:
Ide ini kami tulis 2004 dengan judul asli tulisan ini "Kritisisme Intelektual dan Transformasi Sosial: Operasionalisasi Strategi Gerakan Mahasiswa"