Sabtu, 03 Maret 2018

Intelektual Transformatif (Recycle Series)

Mahasiswa dapat dikatakan sebagai momentum pelompatan status dari siswa. Karena tanggung jawab social seorang mahasiswa lebih tegas bahkan lekat dengan kerja intelektualnya sendiri. 
Artinya, jika sisi kritisisme intelektual yang dimiliki oleh mahasiswa dis-connect dengan sisi transformasi sosialnya, maka pijakan eksistensialnya selaku mahasiswa serta-merta ambruk dan tak pantas lagi disebut mahasiswa. Inilah divergensi “siswa” dengan “mahasiswa”.
Visi intelektual dan sosial adalah sine qua non bagi eksistensi mahasiswa. Karena identitas dasar mahasiswa adalah bertemunya titik equilibrium dari kritisisme intelektual di satu sisi dan transformasi sosial pada sisi lainnya. 
Paradigma kritis-transformatif inilah yang menjadi pijakan eksistensial mahasiswa, termasuk saat gaung sejarah kembali memanggilnya untuk berpentas di pagelaran demokrasi Indonesia.
Sebagaimana dipahami bahwa sejak rezim developmentalist fascism Orba berkuasa, Indonesia telah terjerambab ke kubangan democratic breakdown selama tiga dasawarsa lebih. Bahkan represife and ideological state apparattus pun dioperasikan Orba untuk menjangkitkan wabah the culture of silence agar tumbuh kesadaran magis di masyarakat kita. Orba pun sempat menorehkan luka dalam di tubuh mahasiswa dengan NKK/BKK yang berarti likuidasi visi transformatif mahasiswa.
Seiring dengan perubahan geopolitik global, kekuasaan Orba pun berakhir pada medio ‘98. Sekali lagi, sejarah menobatkan mahasiswa untuk memimpin perang manuver ke lingkar elit politik di bawah bendera reformasi. Namun elitisme reformasi itu telah menggadaikan perang posisi di level sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya. Akibatnya, reformasi tak lebih dari sekedar regulasi politik elit yang tidak berimbas ke level grass root
Selain hanya menyemaikan kesadaran naif pada masyarakat kita, transisi setengah hati yang dihasilkan reformasi, justru malah memuluskan kompromi elit untuk melakukan reorganisasi tiran. Bahkan mahasiswa didakwa masyarakat atas prahara sosial-politik saat itu.
Memang perubahan seringkali mampu memunculkan transisi, tapi tidak setiap transisi akan melahirkan perubahan. Bahkan jika miss-reading, transisi justru akan membangkitkan otoriterianisme baru seperti dicontohkan generasi reformasi. 
Oleh karena itu, demi tercapainya penuntasan transisi menuju konsolidasi demokrasi diperlukan upaya-upaya dari mahasiswa untuk melakukan reformulasi atas pola gerakannya selama ini. Diantaranya;
Pertama, operasionalisasi strategi transformasi sosial mahasiswa harus tetap berpijak pada kritisisme-intelektual sebagai identitas. Kedua, diversifikasi gerakan mutlak dijalankan mahasiswa untuk mengorganisir seluruh sektor kemasyarakatan, agar mahasiswa tidak terkonsentrasi di zona politik saja. Ketiga, desentralisasi gerakan yang dilakukan dengan penguatan jaringan ke seluruh elemen pro-demokrasi. Selain untuk menghadang pola adu-domba mahasiswa, juga untuk menghapuskan elitisme gerakan mahasiswa.
Ketiga langkah tersebut hanya akan menjadi ornamen kata belaka jika mahasiswa sebagai aktornya justru dididik dalam sistem yang justru tidak membebaskan. Pada konteks itulah, posisi pendidikan kritis menemukan urgensinya sebagai upaya untuk menciptakan aktor perubahan (baca: mahasiswa) yang berbekalkan kesadaran kritis. 
Jika sudah demikian, maka conscientizacao akan terwujud. Pada gilirannya kemudian, tercapailah iklim keterbukaan dalam masyarakat kita (open society). saat itulah, pilar demokrasi substansial kokoh terpancang di bumi pertiwi, semoga.

Illustrasi berikut ini untuk memberikan penjelasan tambahan atas uraian diatas. 


Wa Allah al-Muwaffiq Wa al-‘Aql al-Mufassir
WHS

Acknowledgment:
Ide ini kami tulis 2004 dengan judul asli tulisan ini "Kritisisme Intelektual dan Transformasi Sosial: Operasionalisasi Strategi Gerakan Mahasiswa"

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...