Mencari ilmu adalah kewajiban kita semua, namun itu pun belum dijamin bahwa sang pencari ilmu itu meraih ilmu. Andaikan ditakdirkan sang pencari ilmu itu menjadi ilmuwan sekalipun, itupun bukan menjadi garansi ia akan menjadi pengamal dari ilmunya. Terakhir, saat beramal pun hanya Allah lah yang berkuasa untuk memutuskan apakah amal itu diterima (Maqbul) atau ditolak (Mardud). Terma maqbul-mardud, bukan domain syari'at tapi hakikat.
Hikmah ke 105 dari Syaikh Muhammad Ibn Atha’illah Assakandary ini harus difahami sangat hati-hati. Karena jika sedikit saja kita keliru memahaminya, maka akan muncul cara pandang yang justru salah kaprah.
Sebagai ulama besar dalam bidangnya, Ibn Atha’illah telah menjelaskan pemaparan panjang akan hasil dialektika keilmuannya dalam sebuah karya besar “Al-Hikam”. Literature yang dikenal luas di dunia pesantren di Indonesia ini memang popular sebagai kitab rujukan klasik yang “berbahaya” jika dipelajari oleh kalangan awam yang masih dalam tahap-tahap awal pembelajaran keagamaan. Content dalam kitab ini sepenuhnya diarahkan pada pendalaman tashawwuf sebagai bentuk akhlaq tertinggi dalam pola keberagamaan kita.
Satu
hal yang harus ditekankan di awal adalah tidak ada pengamalan tashawwuf yang
tidak melewati kaidah-kaidah fiqhiyyah. Maksudnya, tidak tepat jika kita
menyelami tashawwuf terlalu dalam sebelum kita melaksanakan berbagai criteria
Contohnya, kita tidak bisa menghabiskan waktu untuk berusaha shalat dengan khusyu’ jika kita belum memahami dan melaksanakan syarat-syarat wajib dalam shalat. Perbaiki terlebih dahulu tatacara wudhu kita, tatacara membaca al-Fatihah dengan baik, dan sebagainya, baru kemudian kita memasuki tahap bagaimana shalat agar memenuhi criteria khusyu’.
Dalam kesempatan ini, Ibnu Atha’illah menjelaskan kepada kita tentang beberapa pesan pokok.
Pertama, tashawwuf berbeda dengan fiqh dalam konteks; tashawwuf membahas bagaimana sebuah ibadah itu berimplikasi pahala di sisi-Nya. Sedangkan fiqh hanya sampai pada level bagaimana sebuah ritme ibadah memenuhi persyaratan keabsahannya.
[Artikel lainnya: Kapan Pertolongan NYA Tiba]
Contoh, fiqh menjelaskan kepada kita bahwa shalat maghrib (misalnya) harus diawali dahulu dengan wudhu, jika tanpa wudhu maka shalat kita tidak sah dan tidak diterima-Nya. Tetapi ketika kita sudah wudhu dengan baik dan melaksanakan shalat maghrib pada waktunya dengan tiga raka’at dan memenuhi berbagai syarat-syarat sah shalat, perspektif tashawwuf kemudian menjelaskan bahwa diterimanya shalat maghrib itu harus mempersyaratkan adanya khusyu’, ta’alluq (keterkaitan langsung) kepada-Nya dan ikhlas.
Disinilah jelas, dimana ruang fiqh dan dimana ruang tashawwuf.
Fiqh mengantarkan kita pada pemahaman tentang sebuah ibadah agar dapat kita penuhi sesuai kaidahnya. Tetapi tashawwuf lebih dalam lagi, menjelaskan kepada kita agar sebuah ibadah itu diterima-Nya.
Dengan menjalankan tatacara fiqh dalam shalat, maka kita sudah dianggap melaksanakan kewajiban shalat saat itu. Tetapi apakah shalat itu memenuhi syarat untuk diterima-Nya? Disini sudah bukan area fiqh, tapi ladang tashawwuf.
Catatan yang harus kembali diingat adalah tidak mungkin mengejar syarat-syarat tashawwuf jika kita mengabaikan notasi fiqh. Pelajari cara membaca al-fatihah sebagai syarat wajib dalam shalat, baru kemudian belajar bagaimana bacaan al-fatihah itu merasuk ke dalam sanubari sebagai bentuk komunikasi vertical kita kepada-Nya. Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani menyatakan
Maksudnya, kita hanya bisa memenuhi tuntutan tashawwuf setelah kita menjalani tahapan fiqh. Hakikat atau jantungnya sebuah ibadah digapai oleh tashawwuf, tetapi jasadnya atau tatacara fisiknya diajarkan oleh fiqh.
Fenomena memperdalam tashawwuf sambil melupakan kaidah fiqhiyyah ini dinyatakan oleh Sayyed Hossein Nasr (pemikir muslim modern) sebagai gejala masyarakat muslim modern.
Contohnya, ada kalangan muslim yang sibuk mempelajari bagaimana menjalankan thawaf dengan ikhlas di depan baitullah dalam kerangka manasik haji, tetapi tidak faham bahwa thawaf itu harus selalu memposisikan ka’bah berada disamping kirinya.
Artinya, jika seorang muslim melaksanakan thawaf dan posisi badannya (sebagian ulama menegaskan; dadanya) menghadap langsung/berhadapan dengan ka’bah, maka thawafnya –secara fiqh, batal atau tidak sah. Singkatnya, kalau secara fiqh sudah tidak sah, maka bagaimana thawaf itu bisa diterima-Nya sebagai ibadah? Penuhi kaidah fiqh secara cermat, pelajari perlahan kaidah tashawwuf untuk mengoptimalkan ibadah-ibadah kita.
[Artikel lainnya: Amaliyah Duniawi VS Aktivitas Ukhrawi]
Kedua, Ibnu Atha’illah As-Sakandary menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan kita terjerumus ke dalam sebuah kesalahan tetapi justru karena itulah kita semakin mendekat kepada-Nya. Tentunya yang harus digarisbawahi disini adalah ketika kita terjerambab pada sebuah dosa lalu seketika kita menyadari itu sebagai sebuah dosa lalu kita bertaubat.
Sebagai tambahan, kita pun harus memahami berbagai tatacara dalam bertaubat. Sebelumnya pahami terlebih dahulu bahwa dosa itu terbagi 2, yaitu: dosa berkaitan langsung dengan Allah/al-khaliq (haqullah) dan dosa yang berkaitan dengan manusia/al-makhluq (haqqul adamy).
Secara umum, bertaubat itu harus melalui tahapan penyesalan atas taubat itu, berjanji untuk tidak melakukannya lagi dan terakhir berbuat kebaikan seoptimal mungkin untuk menghapus dosa tersebut. Kaitannya dengan haqqul adamy, kita dipersyaratkan tambahannya. Jika si A mencuri dari si B, maka si A disebut bertaubat jika ia mengembalikan curiannya itu ke si B dan meminta maaf kepadanya. Jika si A menyakiti perasaan si B, maka si A diwajibkan untuk meminta maaf kepada si B, dan begitu seterusnya.
[Artikel lainnya: Dosa dan Pendosa]
As-Sakandary memaparkan dalam bagian terakhir dari hikmah ke 105 ini bahwa ketika seseorang terjerambab pada kesalahan –tetapi kemudian kesalahan itu membuatnya menyesal, menangisi kekeliruannya dan merasa hina karena kesalahan tersebut, maka akibat dari itu kemudian sang hamba akan berlari lebih kencang untuk menemui-Nya.
Satu pesan yang juga bisa kita petik dari pernyataan ini adalah jangan pernah merasa putus asa dari ampunannya. Jangan frustasi untuk mengejar pahala-Nya.
Jika pemahaman di bagian kedua ini kita gabungkan dengan pesan di bagian pertama tadi di awal, maka kita bisa simpulkan betapa Ibnu Atha’illah sudah memberikan kita sebuah keseimbangan.
Di bagian pertama, kita diminta untuk tidak sombong dan overconfident saat kita bisa melaksanakan sebuah ritual peribadatan (meskipun sesuai prasyarat fiqh), karena belum tentu Allah menerimanya jika kita tidak memenuhi persyaratan khusyu’ dan ikhlas (dalam perspektif tashawwuf).
Tetapi di bagian kedua kita pun diingatkan bahwa andaikan kita tidak melaksanakan ibadah atau bahkan terjerumus pada kesalahan, maka jangan pula kita berputus asa atau patah arang. Karena Allah sang maha pengampun dan maha pemurah selalu membukana pintu ampunan bagi hamba-Nya yang terbakar oleh kehinaan sebuah dosa dan menggantinya dengan pertaubatan sempurna.
Disinilah indahnya penjelasan dari Syaikh Ibnu Athaillah kepada kita dalam salah satu hikmahnya yang tercantum dalam kitab al-Hikam.
WHS