Rabu, 07 Februari 2018

Prinsip Instansi Vertikal

Bentuk dan struktur organisasi adalah terjemahan visi, misi, dan misi organisasi berdasarkan analisis kebutuhan tugas dan fungsi serta batasan kewenangan dari seperangkat jabatan dalam organisasi, bukan sekedar banyaknya struktur organisasi yang tercantum pada bagan organisasi. 

Termasuk dengan bentuk vertikal bagi Kementerian Agama yang harus dipahami dengan baik karena ia adalah backbone dari efektivitas kementerian ini melaksanakan tugas-fungsinya. 

Apa saja karakter organisasi vertikal dan apa konsekuensi logis dari karakter bawaannya itu?

Bentuk dan struktur organisasi yang tidak koheren dengan visi, misi, dan orientasi organisasi hanya akan membuat organisasi itu tidak efektif dalam mewujudkan visi, melaksanakan misi, dan memastikan ketercapaian orientasi organisasi.

Kementerian Agama adalah salah satu kementerian yang tidak terkena oleh ketentuan otonomi daerah yang berprinsipkan desentralisasi. Otonomi daerah memberikan kewenangan sepenuhnya pada perangkat daerah untuk mengatur dirinya sendiri dan menjadi bawahan dari pimpinan organisasi pemerintahan yang ada di daerah. 

Sebaliknya perangkat daerah yang berada di lingkup kementerian yang tidak termasuk kategori otonomi daerah, maka perangkat di daerahnya tetap berada di bawah koordinasi pusat. Jadi, seperti apakah kita memahami vertikalitas organisasi sebuah kementerian?

[baca juga: Mempertegas arah organisasi]

Terdapat beberapa karakter dasar instansi vertikal yang perlu didiskusikan terlebih dahulu sebelum kita memahami pola manajerial yang paling reliable untuk instansi vertikal.

Pertamainstansi vertikal adalah intansi yang tidak terkena ketentuan otonomi daerah. Pola manajemen pada instansi vertikal terhubung secara langsung ke instansi induknya di pusat. Sedangkan instansi yang sudah diotonomi-daerahkan pola manajemennya bermuara pada top manager pemerintahan di lokasinya. 

Kedua, instansi vertikal tidak mengenal kategorisasi pegawai daerah karena seluruh SDM-nya diperlakukan sebagai pegawai pusat yang ditempatkan di satuan kerja yang secara geografis berada di daerah.

Ketiga, satuan kerja pusat pada instansi vertikal menjadi perumus dan penetap kebijakan umum dan teknis yang kemudian dilaksanakan oleh seluruh satuan kerja dari pusat sampai daerah. Perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pada seluruh satuan kerja bersandar pada pedoman atau ketentuan yang diatur oleh pusat.

[baca juga: Tidak ada lagi selebrasi birokrasi]

Tiga karakter instansi vertikal itu berkonsekuensi pada beberapa hal yang tak terhindarkan.

1. Pola manajemen terpusat
2. Distribusi SDM yang lintas geografis
3. Dependensi pada manajemen pusat

Jika kita perhatikan sekilas saja, ketiga hal yang menjadi konsekuensi logis dari karakter instansi vertikal itu akan mengarahkan kita pada kesimpulan sementara yaitu bahwa organisasi yang berstatuskan vertikal akan dihambat lajunya oleh kompleksitas yang tinggi dalam hal penyelesaian masalah dan dihadapkan pada kebutuhan extra effort disaat hendak mengubah haluan arah organisasi.

Kompleksitas penyelesaian masalah pada organisasi vertikal sangat tinggi, perubahan arah sedikit saja pada organisasi vertikal menuntut usaha yang lebih keras dibandingkan perubahan besar pada organisasi lainnya

Dengan berdasarkan pada analisis sederhana tersebut, pola manajerial seperti apa yang paling reliable bagi organisasi yang berstatuskan vertikal? Kementerian Agama harus tegap berdiri pada pilihan yang paling tepat untuk dioperasionalisasikan dalam pengelolaan organisasi vertikal ini.

Dipikirkan pada 2/3 malam di The Margo Hotel Depok

Tabik,
WHS

Artikel terkait: Memahami dan menyikapi perubahan

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...