Hal yang membuat orang melihat ada yang berbeda itu gara-gara tidak mengikutsertakan konteks yang mengiringi NU dan Nahdliyyin.
Tulisan ini berangkat dari dua asumsi dasar. Asumsi Pertama, Nahdlatul Ulama sebagai sebuah jam'iyyah (organisasi) dan Nahdliyyin (orang NU) yang menjadi stakeholders utama dari organisasi NU. Dua kategorisasi, iya. Tapi bukan kategori diferensial yang harus dibedakan karena NU sebagai jam'iyyah (organisasi) dan jama'ah (kelompok masyarakat) yang menjalankan ke-NU-an sama-sama harus maju dan jelas tidak bisa dipisahkan.
Asumsi kedua, Nahdlatul Ulama dan Nahdliyyin berada pada lokus sosio-kultural dan sosio-politik yang jauh berbeda. Keberbedaan ini yang kemudian pada level kesunyataan di praktek peran masing-masing menjadi seolah tidak sama. Padahal, sekali lagi, menu yang dihadapi oleh NU dan Nahdliyyin tidak dalam porsi yang sama bahkan jenisnya pun berbeda.
Beralaskan dua asumsi itu, kami coba urai relasi antara NU dan Nahdliyyin dalam beberapa landscape yang acapkali keliru dipahami oleh pihak yang tidak berada pada tataran NU maupun Nahdliyyin.
1. Redesigning Management
NU sebagai sebuah organisasi harus terus atau tak henti melakukan pembaruan di berbagai sektor. Organisasi, termasuk NU, akan kehilangan survivability-nya jika tidak ditopang oleh kemampuannya merespons dinamika yang mengitarinya.
Pola manajemen organisasi NU dalam dua dekade terakhir telah memasuki revolusi. Kini, pusaran pemerintahan bukan lagi hal tabu bagi NU, setelah terbelenggu sepanjang masa kekuasaan orde baru. Birokrat banyak bermunculan dari kalangan NU. Kader NU berkedudukan guru besar sudah jamak kita jumpai dimana-mana. Title doktor dalam maupun luar negeri sudah biasa di para nahdhiyyin.
Perubahan besar di sisi SDM saja sudah harus segera diwadahi. Unless, NU akan besar tetapi tidak bergerak dengan cara yang memperlihatkan kebesarannya itu.
2. Modernisasi Tradisi
Tradisi yang dijalankan oleh Nahdliyyin harus terus diperkuat sisi pendekatan dan penyajiannya. Tidak bisa lagi, Nahdliyyin hanya membaca kitab kuning di pinggiran kota Bandung Jawa Barat sana yang hanya disimak oleh santri dihadapannya saja. Live streaming pengajian yang marak dewasa ini harus diadopsi oleh para Nahdliyyin agar keber-NU-an menyebar luas ke seantero negeri tanpa batas geografis.
3. Reinventing Khiththah
Khiththah yang kami maksud bukanlah bersih dari politik praktis. Khiththah yang dimakna oleh tulisan ini adalah semangat saat NU didirikan yang kami garisbawahi pada 2 hal, yaitu:
Pertama, pemberdayaan ekonomi. Gerakan ini sudah dilakukan oleh Nahdhiyyin secara natural pun demikian oleh NU secara organisatoris. Tapi gaung NU di panggung politik mengalahkan terma economic empowerment ini. Padalah jangan lupa, ketersentuhan publik dari sisi ekonomi akan menjadi mantra ampuh menuju kedigdayaan politik.
Kedua, skala geopolitik. Respons NU pada geopolitik masih cenderung dianggap minor dibandingkan dengan trengginasnya NU merespons isu-isu politik lokal dan nasional. Hal ini membuat NU dinilai gagap saat isu global mengemuka.
Gerakan Islam transnasional yang baru-baru ini mengusung isu-isu politik internasional dianggap telah memainkan peran dengan serius di bidang itu dan NU tidak. Anggapan itu tentu keliru jika NU beralibi dengan era khiththah kelahirannya yang memperlihatkan kesigapannya mengambil sikap pada isu global.
Kini, NU harus kembali memperkuat analisis dan sikapnya pada isu-isu global agar menjadi rujukan bagi para nahdhiyyin yang mulai "tergoda" untuk menikmati menu yang dihidangkan oleh gerakan Islam transnasional tadi.
4. Internasionalisasi Network
Sebagaimana terpampang pada latar historis pendirian NU, gerakan keagamaan NU sudah berskala global, bukan lokal. Era milenial saat ini, bukan lagi waktunya NU berkutat pada hal-hal teknis ritual peribadatan atau furu'iyyah, tapi harus sudah memperkuat dan mengkonsentrasikan diri pada perluasan jaringan ke tingkat dunia.
Berbagai langkah telah jelas dilakukan oleh NU menuju kesana, tetapi masih harus lebih tajam lagi. Hadirnya NU cabang istimewa di berbagai negara serasa masih belum diberdayakan secara optimal.
Bahkan tidak sedikit kader NU yang bermukim di mancanegara yang kemudian kehilangan obornya sehingga tiba-tiba hadir di muktamar NU sambil mengibarkan "bendera berbeda" dari nahdhiyyin lainnya.
Tentu catatan ringkas ini tidak dapat mengurai tema relasi NU dan Nahdhiyyin yang sedemikian luas dan kompleks. Setidaknya, catatan ini menjadi bagian dari keikutsertaan penulis untuk urun rembug memikirkan solusi alternatif lain yang menurut penulis acapkali dikesampingkan.
WHS