Diskusi tentang penataan organisasi akan berkait kelindan dengan penataan SDM yang mengampu jabatan yang tersedia di sebuah organisasi. Tanpa perlu memperdebatkan mana yang lebih penting, tetapi satu hal yang paling pasti adalah bahwa concern publik di internal maupun eksternal organisasi akan lebih besar porsinya memperbincangkan siapa menjabat apa, dibandingkan apa tugas dan fungsi jabatannya.
Pada saat obrolan warung kopi tentang pejabat dimulai, pasti pertanyaan atau pernyataan yang mengemuka adalah soal kompetensi. "Saya rasa, dia ngga kompeten di jabatan itu", "Dia ga pernah menduduki jabatan seperti itu sebelumnya, mana bisa kompeten!", ada juga yang berujar "Apa kompetensi dia sampai bisa dilantik di jabatan itu?"
Ya, diskusi selalu berputar-putar dan ujaran pun membawa-bawa kata "kompetensi". Padahal, kompetensi yang dimaksud dalam obrolan warung kopi itu hanya salah satu jenis kompetensi, yaitu kompetensi teknis, bukan manajerial maupun sosial kultural.
Seorang yang dikenal ahli komputer ditempatkan pada jabatan yang bertugas mengelola komputer, publik akan mudah memahami bahwa yang bersangkutan kompeten dalam jabatan itu. Sebaliknya, orang yang populer dengan pengalaman panjang mengelola keuangan akan disebut tidak kompeten ketika ditempatkan pada jabatan penataan SDM. Inilah mudahnya yang disebut kompetensi teknis; kemampuan praktikal.
Diskusi ini akan spesifik mengurai tentang kompetensi teknis atau sering disebut functional competencies, hard-skill, atau lebih mudah dipahami kemampuan praktikal.
Memahami Kompetensi Teknis
UU ASN menjelaskan ada 3 jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh ASN; kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural. Kompetensi teknis dalam UU ASN dijelaskan dengan kompetensi yang diukur dari 3 faktor, yaitu: 1) tingkat dan spesialisasi pendidikan; 2) pelatihan teknis fungsional; dan 3) pengalaman bekerja secara teknis.
[baca juga: Era Baru Manajemen Kepegawaian]
Jika diperhatikan lebih seksama, faktor-faktor tersebut terklasifikasi pada 2 hal penting yang menentukan seorang ASN itu memiliki kompetensi teknis atau tidak, yaitu: pendidikan/pelatihan dan pengalaman.
Tak perlu kita memperdebatkan mana yang lebih menentukan, karena dua hal tersebut sama-sama penting. Tak penting juga kita mempertajam dikotomi orang yang berpendidikan dan berpengalaman. Sungguh tidak ada manfaatnya, bahkan cenderung menambah masalah oleh sesuatu yang dari perspektif apapun tidak perlu dipermasalahkan.
Pegawai yang berpendidikan dan yang berpengalaman tidak perlu didikotomikan. Kedua tipe pegawai itu sama-sama dapat disebut kompeten ketika pendidikannya dan pengalamannya berkorespondensi dengan bukti kemampuannnya yang teruji dan diakui publik.
Pendidikan dan pelatihan akan menempa seseorang dalam keahlian tertentu dengan titik tekan pada pemahaman teoritik dan konseptual yang kemudian diperkuat dengan praktik lapangan.
Sedangkan pengalaman memberikan kemampuan kepada seseorang untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika menghadapi berbagai permasalahan. Tanpa terlalu banyak dibekali teori ataupun konsep, seseorang yang berpengalaman tetap efektif menyelesaikan permasalahan dengan dasar kemampuannya.
Kompetensi teknis yang dihasilkan dari diklat dan pengalaman sama-sama bersifat kemampuan yang dapat diukur secara mudah dan akurat karena tingkat kemampuan seseorang dalam hal teknis dapat dengan mudah dibuat levelnya. Misalnya, ada orang yang dalam kompetensi teknisnya level pemula, terampil, dan ahli.
Tugas dan fungsi yang dituntut oleh sebuah jabatan mengasumsikan jenis kompetensi teknis apa yang dibutuhkan dan compatible dengan tugas fungsi tersebut. Misalnya jabatan Kepala Bagian Perpustakaan mengasumsikan bahwa pejabat yang ditempatkan disitu memiliki pemahaman yang baik tentang teori perpustakaan, pengalaman bekerja di perpustakaan, mengetahui pola e-Catalogue dalam sistem aplikasi manajemen perpustakaan, dan tentunya mengetahui mekanisme dan prosedur dasar manajemen perpustakaan.
Segala hal teknis terkait perpustakaan mesti tergambar dalam kemampuan seorang Kepala Bagian Perpustakaan, karena betapa sulitnya kita membayangkan seorang Kepala Bagian Perpustakaan yang sama sekali tidak mengerti tentang dasar-dasar manajemen perpustakaan, tidak pernah bekerja di perpustakaan dan seterusnya.
Keberadaan atau ketidakberadaan kompetensi teknis pada seseorang pun bisa dianggap sebagai indikator keberminatan yang bersangkutan pada topik tersebut. Jika seseorang tidak berminat pada dunia data kemudian ditempatkan pada jabatan yang bertugas mengelola dan mengolah data menjadi bahan kebijakan, bagaimana ia bisa mengerjakan tugasnya.
Teknis vs Manajerial
Sebagian tokoh pemerhati SDM meyakini bahwa yang lebih penting dan menentukan dalam pelaksanaan tugas itu adalah kompetensi manajerial, bukan teknis. Tanpa perlu pikir panjang, saya akan bilang "setuju!"
Jabatan yang mengerjakan tugas apapun akan tetap dapat terlaksana jika sang pejabat memiliki kompetensi manajerial yang mumpuni untuk jenjang jabatannya. Kepemimpinan, inovasi, keberanian mengambil keputusan, itulah contoh dari kompetensi manajerial yang--sekali lagi--sangat menentukan performa seorang pejabat. Tentu, hal ini tak perlu diragukan lagi. Namun dimanakah sisi penting kompetensi teknis dalam kesuksesan seseorang melaksanakan tugasnya?
Kami sering menjelaskan dengan kalimat sederhana bahwa kompetensi manajerial itu bisa berubah tetapi membutuhkan waktu lama, sedangkan teknis bisa lebih cepat. Seseorang yang penakut bisa kita ubah menjadi pemberani, meskipun perlu kesabaran untuk menunggu perubahan itu. Sedangkan seseorang yang tidak bisa berbicara di depan umum akan lebih mudah dilatih agar menjadi public speaker yang baik sesuai tugasnya, misalkan menjadi pejabat di bidang hubungan masyarakat.
Ringkasnya, kompetensi manajerial dan teknis sama-sama penting, menentukan performa pelaksanaan tugas, dan bisa diubah dari awalnya tidak ada menjadi ada.
Bedanya, mengubah penakut menjadi pemberani butuh proses dan waktu yang lama, sedangkan melatih dari sebelumnya gemetar saat bicara di depan umum menjadi orator handal lebih mudah dan cepat.
So, ini berarti hanya soal waktu? manajerial lama dibentuk, teknis cepat diciptakan; manajerial butuh proses panjang, teknis prosesnya lebih sederhana. Begitukah? Kira-kira ya, seperti itu. Namun pertanyaan besarnya, apakah organisasi mau menunggu pejabat yang baru dilantik itu menghabiskan beberapa masa jabatannya untuk 'menyediakan' kompetensi manajerial dan teknis yang dibutuhkan dalam jabatan itu?
[baca juga: Linearitas Program SDM]
Kompetensi manajerial penting dan sulit dibayangkan jika seorang pejabat pada jenjang level 1 misalnya, tidak memiliki kompetensi manajerial yang sesuai dengan jenjang itu. Lalu, dimanakah signifikansi kompetensi teknis?
Pentingkah Kompetensi Teknis?
Kepemimpinan sebagai salah satu contoh kompetensi manajerial pasti penting bagi keberhasilan pelaksanaan tugas jabatan. Namun pemahaman pada substansi program juga bagian dari hal utama yang membuat seseorang memiliki wibawa dan diterima di hadapan bawahannya, dan tentu menjadi indikator ketercapaian output program.
[baca juga: Aksi-bela-output]
Memimpin organisasi yang mengelola bantuan kepustakaan ke pondok pesantren perlu dipimpin oleh orang yang anti-korupsi sehingga bantuan tepat sasaran, inovatif supaya buku/kitab yang dikirimkan tidak hanya terpaku pada bentuk hardcopy, tapi juga bisa e-book, dan sebagainya.
Namun apakah bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi kalau sang pemimpin program itu tidak mengetahui apa itu khazanah kepustakaan pesantren? Alih-alih hendak memberikan bantuan ke pesantren, ternyata pesantren malah menolaknya karena kepustakaan yang dikirimkan didominasi oleh referensi yang bertentangan dengan keyakinan yang dianut di pesantren penerima bantuan. Atau, kepustakaan yang diterima pesantren itu adalah buku/kitab yang biasa dimiliki oleh santri secara individual, alias biasa.
Memang benar bahwa kompetensi teknis itu bisa dipelajari, tapi apakah organisasi mau menunggu seorang pemimpin selesai belajarnya baru ia bergerak. Ditambah lagi dengan tidak selalu kompetensi teknis itu dapat dipelajari dengan mudah, tidak sedikit kompetensi teknis yang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi. Apakah roda organisasi harus digadaikan untuk memberikan waktu pada pejabat yang dipilih itu belajar dulu?
[baca juga: Diberhentikan dari jabatan]
Nampaknya, kompetensi teknis tidak bisa kita kesampingkan. Policy makers di bidang SDM ASN harus sesegera mungkin mengarsir apa saja listings kompetensi teknis pada setiap jabatan agar penataan pejabat di lingkup ASN ke depan tidak berdampak pada stagnasi pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi Kementerian/Lembaga pemerintah gegara pejabat yang ditempatkan masih dalam tahap belajar.
Namun ada saatnya penerapan ukuran kompetensi secara berlebihan akan membuat organisasi menjadi perangkap bagi orang-orang yang spesialis dalam pekerjaan teknikal tertentu. Akhirnya, kompetensi teknis bukan membantu karirnya, tapi sebaliknya menjebak ia dalam stagnasi karir berkepanjangan. Seperti apa bahaya perangkap kompetensi teknis? lain waktu kita diskusikan.