Selasa, 07 November 2017

Argumen 5 Nilai Budaya Kerja

Penetapan 5 Nilai Budaya Kerja pada Kementerian Agama dapat dikatakan sebagai terjemahan paling strategis pada ide besar Presiden Joko Widodo tentang Revolusi Mental. Lukman Hakim Saifuddin bukan membebek kepada Jokowi, tapi sebagai menteri LHS menapaki jalur inovatif yang dibuka Jokowi.

Bahkan, lompatan besar yang dipilih oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, ini telah di-launching-kan terlebih dahulu (awal November 2014) sebelum Revolusi Mental dicanangkan sebagai Gerakan Nasional pada saat HUT Korpri ke-43 di Lapangan Monas, 1 Desember 2014 yang lalu.

Dengan 5 Nilai Budaya Kerja, Menag LHS telah berhasil menemukan serpihan gagasan besar para pendahulunya untuk menahkodai biduk besar Kementerian Agama yang butuh nilai-nilai yang menyatukan semua

Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa Menteri Agama telah dengan cepat-tanggap dan tepat-sasaran mengejawantahkan gagasan Presiden tentang Revolusi Mental ke dalam bentuk 5 Nilai Budaya Kerja Kementerian Agama.

Sebagaimana Presiden yang menghendaki pembenahan mentalitas Aparat Sipil Negara melalui konsep Revolusi Mental-nya, Menteri Agama pun menghadirkan nilai-nilai integritas, profesional, tanggung jawab, inovasi, dan keteladanan itu untuk membangkitkan kembali pembenahan moralitas agar menjadi ingatan kolektif di keluarga besar Kementerian yang sudah berusia hampir tujuh dasawarsa ini. 

Lebih lanjut, konsep 5 nilai budaya kerja ini diharapkan menjadi acuan bersama setiap pegawai di Kemenag, mulai dari atasan hingga bawahan. Lebih menukik lagi, Menteri Agama berhasrat agar penerapan 5 nilai ini agar “aparat Kemenag tidak lagi seperti mesin yang bekerja dari hari ke hari, dan kemudian kehilangan makna dari keberadaannya sendiri” (06/11/2014)

Sinergi gagasan Revolusi Mental dengan 5 Nilai Budaya Kerja Kementerian Agama itu sesungguhnya semakin mempertajam arah Reformasi Birokrasi (RB). Ibaratnya, Lima Nilai Budaya Kerja adalah wujud revolusi mental ala-Kementerian Agama.

Menurut pendapat kami, setidaknya terdapat 3 (tiga) argumen yang meyakinkan bahwa Lima Nilai Budaya Kerja sangat dibutuhkan dan akan benar-benar memberikan kontribusi penting bagi Kementerian Agama dalam konteks jangka panjang.

Pertamalima nilai budaya kerja adalah akselerator gerak bagi seluruh satuan kerja.

Untuk konteks khusus Kementerian Agama yang diperkuat satker terbesar dan tersebar, Lima Nilai Budaya Kerja akan menjadi instrumen strategis untuk mengakselerasi gerak kementerian ini. Sebagaimana disampaikan oleh Asman Abnur (Menteri PANRB, 2017) Kementerian Agama adalah kementerian besar; jumlah satuan kerja terbesar, anggaran termasuk 5 besar, substansi fungsi yang diemban pun besar yaitu agama karena agama mencakup seluruh sektor kehidupan.

Sebagai sebuah kementerian besar, Kementerian Agama membutuhkan instrumen yang mampu mengakselerasi perubahan yang diarahkan dari Pusat agar tersambung sampai ke seluruh daerah.

Menteri Agama, LHS, mengibaratkan bahwa Kementerian Agama itu seperti perahu besar yang jika ingin berbelok sedikit saja membutuhkan putaran kemudi berkali-kali, berbeda dengan sampan kecil yang juru mudi nya bergerak sedikit sampan pun bergoyang. 

Dengan kata lain, perubahan apapun yang hendak dilakukan oleh Kementerian Agama membutuhkan effort besar. Disinilah instrumen strategis itu telah hadir; Lima Nilai Budaya Kerja.

Kedualima nilai budaya kerja adalah kompas kebijakan agar program berada pada arah yang konstan dan implementasinya sustainable. 

Pada konteks Kementerian Agama sebagai kementerian yang memiliki struktur instansi vertikal di provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan, Lima Nilai Budaya Kerja dapat dijadikan panduan bersama untuk memastikan keterpaduan arah dan kebijakan dan keberlanjutan upaya pembinaan umat. 

Sulit dibayangkan menjalankan fungsi agama tanpa konvensi tentang nilai yang dipedomani bersama karena pengelolaan kehidupan keagamaan meniscayakan persentuhannya dengan budaya, sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Lima Nilai Budaya Kerja menyatukan seluruh komponen Kementerian Agama dari pusat sampai daerah, dari Menteri sampai pramubakti, dari penandatangan surat keputusan sampai pengantar surat.

Ketiga, lima nilai budaya kerja adalah barometer ketercapaian fungsi utama.

Core function Kementerian Agama adalah pelayanan masyarakat dalam konteks kehidupan keagamaan. Meletakan pelayanan sebagai keywords bagi sebuah kementerian itu biasa, tapi obyek yang dilayani adalah masyarakat dalam konteks kehidupan keagamaan baru luar biasa. 

Catatan lainnya:

Dengan memperhatikan obyek dari layanan itu, maka pelayanan pada Kementerian Agama harus benar-benar menyentuh relung kehidupan masyarakat, tidak bisa hanya sekedar jargon atau lips service belaka.

Namun, kesibukan seluruh komponen kementerian dalam melaksanakan tugas pelayanannya itu acapkali membuat mereka terjerumus dari rutinitas terjebak dalam ritme jadwal harian yang administratif dan mekanistik. 

Bahayanya, keterjerumusan dan keterjebakan itu akan membuat pelayanan kehilangan maknanya. Pegawai tidak lagi ingat ruh yang mendasari mengapa pelayanan itu harus dilakukan. Lima Nilai Budaya Kerja hadir untuk membangunkan seluruh komponen kementerian yang terlelap dalam rutinitas harian. 

Pelayanan dilakukan dengan menjiwai dan menghayati nilai integritas, profesional, tanggung jawab, inovasi, dan keteladanan. Saat itulah, makna kehadiran Kementerian Agama di tengah-tengah umat akan terasa.

Sementara, dengan tiga argumen diatas cukup sudah bagi keluarga besar Kementerian Agama untuk tegap melangkah menatap masa depan yang lebih baik. Fokus bekerja melayani umat dengan sikap penuh integritas, pola kerja profesional, membutikan dengan tanggung jawab, melaksanakan dengan pendekatan penuh inovasi, dan menjadikan diri sebagai contoh keteladanan.

Untuk menggapai cita-cita itu dan tanpa mengurangi apresiasi pada berbagai pihak yang sudah coba memahami Lima Nilai Budaya Kerja, sepertinya Menteri LHS tidak cukup puas jika Lima Nilai Budaya Kerja hanya sekedar seremonial yel-yel, hiasan spanduk, pin yang tersemat di dada, dan berbagai ornamen lainnya. 

Lima Nilai Budaya Kerja harus ada di denyut nadi dan pembuluh darah seluruh komponen Kementerian Agama, tanpa kecuali.

Tabik,
WHS 
Pengembangan dari tulisan awal 2015

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...