Postur
Keorganisasian Kemenag
Kementerian
Agama adalah kementerian yang cakupan tugas fungsinya tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dikategorikan sebagai Kementerian
Kelompok II (Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 dan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 2 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2019). Secara khusus, urusan Agama yang menjadi core business bagi Kemenag
urusan absolut pemerintah yang dikelola langsung oleh Pemerintah Pusat (Pasal 9
ayat 2 dan Pasal 10 ayat 1 huruf f UU Nomor 23 Tahun 2014).
Dalam
konteks dua ketentuan umum tersebut, dibangun postur keorganisasian Kemenag
yang terdiri dari unsur pemimpin, pembantu pemimpin, pelaksana, pengawas, dan
pendukung. Kesemua unsur tersebut berkedudukan di kantor pusat dan berbentuk
unit eselon I JPT Madya yang kemudian dilengkapi dengan instansi vertical di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta unit pelaksana teknis (UPT) yang berkedudukan
di berbagai lokasi berdasarkan analisis kebutuhan organisasi.
Walhasil,
jadilah postur keorganisasian Kemenag yang secara kuantitatif terhitung besar
meskipun sesungguhnya masih dipandang kurang memadai jika diperhadapkan dengan
kualitas beban yang dimandatkan oleh regulasi terkait dengan urusan agama yang
memang terlahir bersifat universal, multi dimensi, dan pilar penting dalam
tegaknya NKRI beserta asas Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Secara umum, peta keorganisasian Kemenag adalah sebagai berikut:
Kementerian
Agama dikelola dengan pola dasar sentralisasi manajemen. Keseluruhan komponen
keorganisasiannya dikendalikan secara terpusat. Perencanaan program, distribusi
dan alokasi anggaran, manajemen organisasi dan SDM, penataan regulasi, dan
berbagai hal lainnya didominasi oleh kewenangan yang terpusat.
Sentralisasi
manajemen pada Kemenag ini tidak termasuk kategori pilihan yang dapat diubah
dengan hanya sekedar mengandalkan metode konvensional dalam manajemen
organisasi. Kemenag dikelola secara terpusat merupakan pemenuhan mandat
regulasi dan kebijakan serta konsekuensi logis dari urusan agama yang sudah
diatur sebagai urusan pemerintah yang absolut dan juga berdasarkan
interdisciplinary studies seputar relasi agama dan negara.
Selain
sentralisasi, pola dasar mekanisme kerja Kemenag adalah pelayanan per-individu.
Agama tidak dapat dikelola hanya dengan menggunakan logika cluster atau
komunal, karena substansi agama bukan soal komunitas, golongan, madzhab, sekte,
aliran, dan lain-lain. Agama adalah keyakinan individu. Oleh karena itu,
Kemenag tidak bertugas mengelola pola kehidupan keagamaan pada setiap komunitas
agama, tetapi pada setiap individu pemeluk agama.
Logika
pengelolaan individual ini mengarah pada pola dasar yang penting dalam
manajemen agama yaitu keniscayaan kehadiran Kemenag pada seluruh lokus
geografis NKRI karena yang dijamin oleh negara adalah kebebasan beragama setiap
warganya. Pada konteks yang lebih spesifik, layanan keagamaan hanya dapat
disajikan oleh pelayan dari agama yang sama dengan yang dilayani. Sampai pada
titik ini, terpahami bahwa Kemenag diperkuat oleh daya jangkau organisasi yang
terbesar dan sekaligus tersebar.
Post-New
Public Management
Gagasan
generasi kedua New Public Management (NPM) yang dikenal sebagai post-NPM
menekankan pada perubahan yang tidak lagi menganut desentralisasi dan spesialisasi.
Post NPM mendorong pembenahan dilakukan dengan menekankan upaya resentralisasi,
memperbaiki jalur koordinasi, dan manajemen atas nilai-nilai publik.
Jika
kemudian gagasan post-NPM ini dikonsentrasikan pada pemahaman tentang penggabungan
beberapa perangkat negara dalam satu system manajemen besar, maka tidak keliru
jika dipahami bahwa post NPM ikut berkontribusi pada lahirnya fenomena "super-ministry",
yaitu sebuah reformasi penggabungan satu atau lebih perangkat negara menjadi
suatu system manajemen tunggal, atau juga dalam istilah lain disebut Super
Department Reform (SDR) yaitu campuran dari pendekatan NPM dan
"whole-of-government" yang memperkenalkan solusi paket untuk
efisiensi administratif dan konflik antar perangkat negara, dan hampir semua
komponennya berpotensi mengubah sistem manajemen pemerintah dan meningkatkan
Public Service Performance (PSP).
Gagasan
bentuk organisasi post-NPM, "super-ministry" menekankan pada jejaring
lembaga yang dapat berkoordinasi dan berkolaborasi dibawahi oleh satu
kementerian yang memiliki otoritas besar. Sehingga, dalam mengatasi suatu
masalah publik dapat memberikan multi perspektif secara komprehensif, serta
meningkatkan efisiensi dan biaya administratif.
Kemenag
dan Post-NPM
Dengan
memahami sekilas tentang Post NPM serta melihat kembali postur keorganisasian
dan mekanisme kerja Kemenag, rasanya tidak berlebihan jika Kemenag sesungguhnya
sudah menjelma menjadi super ministry sejak ia didirikan.
Jika diasumsikan secara formal bahwa Post NPM mendorong trend resentralisasi dengan mengandalkan perbaikan jalur koordinasi, maka Kemenag sejak awal sudah disetup dalam bentuk sentralistik. Instansi vertical yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dikelola dengan mengandalkan decision making pada tingkat pusat.
Demikian pula halnya dengan unit pelaksana teknis yang jumlahnya secara
kuantitas hampir mendekati angka 10 ribuan unit kerja, arah kendalinya tetap
berada pada kantor pusat. Kemenag dikelola dengan sentralistik pada sisi
manajemen dan juga tetap sentralistik pada sisi kebijakan. Jadi arahnya kemana
ditentukan oleh pusat dan bagaimana menuju kea rah itu pun diputuskan oleh
pusat.
Karakter
sentralistik Kemenag, sekali lagi, tidak didominasi oleh kepentingan manajemen,
tetapi yang menjadi undoubtable argument adalah karakter agama yang multitafsir
dan berada pada dimensi keyakinan individual, maka negara berkepentingan untuk
menjamin keberlangsungan pola keberagamaan yang compatible dengan komitmen
luhur kebangsaan kita, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Jaminan
dimaksud tidak dapat ditunaikan dengan utuh jika manajemen apalagi kebijakan
tentang agama didesentralisasikan. Terlalu mahal ongkos sejarah, politik, dan
social yang sudah dibayar oleh bangsa ini untuk menjaga ritme harmoni dalam perjalanan
panjang membangun dan merawat relasi agama dan negara.
Beban
berat Kemenag inilah yang kemudian telah menjadikan Kemenag super ministry
sejak ia dilahirkan. Coba diperhatikan Kembali logika dasar dari agama yang
multi dimensi. Tidak ada satu hal pun dalam kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan kita yang tidak ditemukan narasinya pada
sumber-sumber agama. Demikianlah agama yang dipahami sebagai pedoman hidup
telah menjadikannya sebagai multivariate variables yang terhubung ke seluruh dimensi.
Catatan
tebalnya kemudian adalah bahwa super ministry-nya Kemenag sangat tergantung
pada pemahaman utuh policy makers tentang relasi agama dan negara yang kemudian
berimbas pada bagaimana mengoptimalisir spektrum multidimensi agama pada
konteks sentralisasi manajemen dan individual services yang menjadi warna
penanda kehadiran Kemenag.
Kemenag
sebagai Super Ministry
Belum
selesai kajian ini jika kita terhenti hanya sebatas bahwa Kemenag itu
dilahirkan sudah sebagai super ministry, tapi tanpa uraian ringkas tentang
bagaimana membuktikan ke-super ministry-an Kemenag. Saat ini, cukup dua key
performance indicator untuk menjadi approval bahwa The Real Kemenag is a
super ministry.
Pertama,
multi-dimensional program. Kemenag harus membuktikan dirinya sebagai perangkat
negara yang dapat hadir atau dihadirkan dalam keseluruhan dimensi kebangsaan.
Tema agama pasti akan ditemukan dalam kebijakan tentang ideologi negara,
politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan. Agama pun akan
menjadi factor penting dalam rumusan dan implementasi kebijakan pendidikan,
ketahanan keluarga, kesehatan masyarakat, hubungan luar negeri, industry,
perdagangan, pertanian, dan pelbagai hal lainnya. Agama juga akan menjadi tema
penting saat negara berkepentingan untuk mengkaji seputar akar masalah paham terorisme-radikalisme,
pengentasan kemiskinan, kriminalitas, dan berbagai isu penting lainnya.
Jika hendak membuktikan dirinya sebagai super ministry, Kemenag tidak perlu
menata ulang organisasinya, tapi cukup mengoptimalkan kinerja mesin organisasi
yang ada dan memastikan kapasitas SDM yang tersedia agar melek dan mumpuni
untuk memahami gambar besar multi-dimensional program agama ini.
Kedua, penajaman dan penguatan sentralisasi kebijakan dan manajemen. Sentralisasi yang merupakan mantra dari Kementerian Agama yang memang hadir sejak awal terbawa oleh lahirnya kementerian ini. Jika tidak cermat menanganinya, sentralisasi kebijakan dan manajemen agama ini akan menjadi kartu mati bagi ribuan unit kerja di pusat dan daerah. Kemenag perlu merumuskan mekanisme kerja yang komprehensif dan terintegrasi sehingga alur setiap peta proses bisnis terlihat jelas kapan sebuah layanan mulai disajikan dan dinyatakan selesai.
Upaya komprehensi dan integrasi mekanisme kerja Kemenag dalam konteksnya yang sentralistik di tengah unit kerja yang terbesar dan tersebar, Kemenag membutuhkan piranti teknologi informasi yang tangguh untuk menyajikan platform kebijakan dan pola manajemen sentralistiknya dalam format yang terencana, sistematis, dan terukur, sehingga pelambatan layanan yang menjadi asumsi dasar dari setiap mode sentralisasi pada organisasi besar akan terhindarkan.
Tabik,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar