Sungguh covid19 telah benar-benar merasuki ke seluruh sendi kehidupan kemasyarakatan kita tanpa kecuali. Tak ada satupun tema yang lolos dari cengkeraman covid19, termasuk berlebaran. Wujud pengamalan ajaran silaturahmi dan artikulasi tradisi kemasyarakatan kita yaitu mudik yang tak lekang zaman, kini keduanya harus tunduk pada kebijakan luar biasa (extraordinary policies) gegara covid19.
[Artikel lainnya tentang covid19: Covid19 Mempertemukan Kita]
Jika mudik dibatasi karena mengsumsikan pertemuan fisik antar warga masyarakat dari lokus geografis berbeda, mudah dimafhum keterkaitannya dengan pembatasan jarak fisik (physical distancing) dalam protokol Kesehatan covid19. Namun bagaimana dengan silaturahmi?
Dalam ajaran agama Islam, silaturahmi yang diwujudkan dalam bentuk saling berkunjung dan berjabat tangan terkategorikan sunnah. Sebentuk amaliyah yang jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika tidak maka tidaklah berdosa. Tapi lain halnya dengan silaturahmi dalam makna hakikinya sebagai upaya untuk memperkuat kekeluargaan, menjalin tali persaudaraan, dan merajut rasa kebersamaan. Silaturahmi hakiki ini hukumnya wajib. Bahkan Rasulullah SAW menyatakan dengan tegas bahwa siapapun yang memutuskan tali silaturahmi tak akan pernah mencium wewangian surga.
[related topics: Hakikat dan Syari'at]
Dalam konteks idul fitri yang menjadi akumulasi sederhana atas puasa Ramadhan, silaturahmi menempati posisi yang spesifik. Tidak hanya sebatas berkomunikasi, tidak sekedar memperkuat persaudaraan. Silaturahmi pada konteks idul fitri adalah momentum istimewa untuk memohon maaf antar sesama atas berbagai kesalahan yang sudah diperbuat dalam setahun terakhir untuk kemudian berkomitmen untuk membangun kebersamaan di tahun berikutnya.
Pada konteks sedemikian spesifiknya silaturahmi dalam idul fitri, apakah dapat momentum itu digapai di ruang virtual? Apakah permohonan maaf kita pada sesiapa dipandang cukup serius jika disampaikan hanya sekedar dengan berkirim twibbon atau broadcasting messages? Apakah Allah SWT menghapuskan dosa sesama kita saat silaturahmi dilakukan secara virtual? Mari kita coba dekati dengan berbagai kaidah yang relefan dengan berbagai hal tersebut.
Pertama, alhukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Status hukum tentang sesuatu akan selalu berubah sesuai dengan alasan sah yang melatarinya sehingga membuat hukumnya menjadi ada atau tidak.
Dengan kaidah ini, maka virtualitasasi silaturahmi harus diletakan pada argument yang melatarinya, yaitu protocol Kesehatan covid19. Dikarenakan kepatuhan pada prokes covid19 telah memenuhi syarat keseluruhan ushul al-khamsah (lima hal pokok kewajiban), maka kewajiban silaturahmi tidak digugurkan ketika masih terdapat cara untuk melakukannya pada standar yang berbeda.
[Related topics: Anti "Terlanjur Basah"]
Maksudnya,
silaturahmi tetap wajib dilakukan, tetapi bentuk dari silaturahmi itu harus
menyesuaikan pada pola yang dituntut oleh ketentuan lain yang juga berstatus
wajib, yaitu menjaga Kesehatan diri.
Kedua, ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan sepenuhnya jangan ditinggalkan sepenuhnya.
Dengan kaidah ini, maka Ketika silaturahmi dalam bentuk tatap muka langsung belum dapat dilakukan, silaturahmi tetap harus dilakukan dengan bentuk tanpa tatap muka langsung. Pilihan jalur virtual menjadi paling memungkinkan untuk tetap memenuhi hak silaturahmi meskipun pada pola yang lebih sederhana.
Nampaknya, cukup dengan dua kaidah itu saja silaturahmi virtual menjadi pilihan paling realistis bagi kita saat ini untuk tetap melaksanakan kewajiban silaturahmi dan kewajiban menjagi Kesehatan diri. Dua-duanya terpenuhi tetapi pada titik kompromi yang paling dimungkinkan.
Lalu apakah silaturahmi virtual ini dapat dikategorikan memenuhi syarat untuk gugurnya dosa yang kita lakukan?
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa silaturahmi yang kita bahas ini terkait dengan dosa dan kesalahan sesama manusia (haq al-adami), bukan dengan Allah (haq Allah). Bertaubat dari sebuah dosa, secara umum harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: menyesali kesalahan, menghentikan perbuatan salah, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Akan tetapi, untuk jenis dosa haq al-adami diberikan tambahan persyaratan lainnya agar dosa tersebut dihapuskan dari catatan amalnya.
[related topics: Dosa dan Pendosa]
Persyaratan tambahan tersebut adalah: Pertama, jika kesalahannya terkait dengan harta benda, maka wajib mengembalikannya. Jika ternyata pelaku tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikannya secara utuh, maka kembalikan semampunya dan berupaya untuk menyicil sisanya.
Jika ternyata obyek dari permintaan maaf itu berada pada tempat yang jauh dan sulit untuk menjangkaunya atau bahkan sudah tiada, maka kembalikan harta benda tersebut pada ahli warisnya. Jika ahli warisnya pun sulit ditemukan, maka yang terakhir adalah lakukan shadaqah diniatkan pahala untuk sang pemilik harta benda yang sudah diambil pelaku dosa.
Kedua, jika kesalahannya berbentuk non-harta benda, semisal perilaku, sikap dan perbuatan yang menyakiti, maka pertaubatannya adalah dengan meminta maaf kepada yang disakiti tersebut dengan menjelaskan kesalahannya. Jika penjelasan atas kesalahannya tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan fitnah, permusuhan, atau pertengkaran yang membahayakan, maka penjelasan itu tidak perlu disampaikan.
[More articles: Hentikan Mengumbar Aib]
Jika bentuk kesalahannya sudah diketahui secara umum sehingga tidak dimungkinkan untuk menyatakan permohonan maaf secara langsung, maka cukupkan dengan penyesalan mendalam dan sungguh-sungguh disertai do’a kebaikan untuk yang disakiti dan disempurnakan bersedekah untuk yang bersangkutan.
Diatas semua ketentuan teknis tersebut diatas, terdapat satu norma umum dan utama dalam pertaubatan kita atas pelbagai dosa dan kesalahan kita yang mutlak kita yakini, yaitu bahwa Allah SWT memiliki samudera ampunan maha luas jauh melebihi sebesar dan seluas apapun dosa dan kesalahan yang kita perbuat.
Bukan kemudian berenak-enakan berbuat dosa, tapi pesimis pada pengampunan-Nya itu adalah dosa besar. Kita wajib mutlak meyakini bahwa Allah SWT maha pengampun. Pun dalam pola silaturahmi virtual, jangan ragukan kasih sayang-Nya tetap akan hadir di setiap kuota daring kita digunakan untuk menjalin tali silaturahmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar