Kita awali dengan sebuah perspektif universal bahwa kehidupan dunia adalah sepenggal periode yang akan menjadi bekal untuk menuju kehidupan sesudah kematian yang bersifat abadi. Kesementaraan dunia ini menjadi mutlak sesaat kita meyakini keabadian kehidupan sesudah kematian.
Kesementaraan dan keabadian mengasumsikan ke-ADA-an dan ke-TIADA-an limitasi waktu didalamnya. Kehidupan dunia kita diawali dengan kelahiran lalu kemudian diakhiri dengan kematian. Sedangkan kehidupan di alam sana tanpa akhir. Keabadian kehidupan sesudah kematian memberikan pemahaman ketiadaannya waktu di alam sana.
Perspektif universal berikutnya adalah bahwa kebahagiaan pada kehidupan sesudah kematian hanya 'dibeli' oleh kualitas kehidupan dunia kita. Penilaian atas kualitas kehidupan dunia kita dipantau secara real time dan tanpa jeda sepanjang kita hidup. Tak ada satu detik pun kehidupan dunia kita yang tak terekam oleh pantauan dari Sang Maha Melihat; Tuhan.
Pantauan, monitoring, penilaian, dan penghitungan kualitas kehidupan kita saat di dunia ini menjadi logika penting menuju ke kesimpulan bahwa pada dasarnya kita tidak pernah luput dari perhatian-Nya, tidak pernah bebas berlaku semaunya, tidak pernah melakukan sesuatu yang tak diketahui oleh-Nya. Singkatnya, tak ada yang kita lakukan yang tak diperhitungkan saat di hari akhir nanti.
Namun pada sisi lain pun sama. Pantauan, monitoring, penilaian, dan penghitungan kehidupan kita saat di dunia ini menyimpulkan bahwa kepedihan, kerumitan, kesulitan kita pun tidak pernah luput dari pandangan kasih-Nya, tidak pernah DIA meninggalkan kita sendiri, tidak akan ada masalah apapun yang tidak ada solusi dari-Nya.
Keterbatasan waktu dan ruang serta keterpantauan kita saat di dunia sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kita sesungguhnya dipenjara saat kita di dunia. Dengan bahasa lain, dunia ini adalah penjara bagi orang-orang yang beragama. Karena itu, kebahagiaan yang diterima di dunia ini hanya anugerah yang kemudian ditransformasikan ke berbagai polah untuk menggapai kebahagiaan sesudah kematian.
Artikel lainnya:
- Tahadduts bi al-ni'mah di akhirat
- Corona Mempertemukan Kita
- Kisah Kehidupan, Berita Kematian
- Tidak Semua Keterburu-buruan itu dari Syetan
Sejatinya, saat seseorang dijebloskan ke penjara, hal yang telah dirampas darinya adalah kebebasan waktu dan ruang. Seberapa lama ia mendekam di penjara, sudah diatur; seberapa luas ruang tempat ia beraktivitas pun sudah ditetapkan. Intinya, penjara adalah pembatasan ruang dan waktu.
Selain itu, penjara pun selalu mengasumsikan bahwa setiap penghuninya berada di bawah pengawasan ketat. Tak ada penghuni penjara yang tidak diawasi gerak-geriknya. Semua aktivitas penghuni penjara tak pernah luput dari pengawasan, pantauan, dan kendali sistem penjara.
Pemahaman dasar tentang penjara itu kembali mempertegas bahwa kehidupan dunia bagi orang-orang yang beragama itu pada dasarnya seperti penjara; ruang dan waktu dibatasi; gerak-gerik pun diawasi.
Dengan pemahaman "dunia itu penjara", kita tidak pernah bisa bernegosiasi tentang batasan ruang dan waktu. Jelas sudah sampai kapan kita di dunia karena ada batasannya yang bernama kematian. Tegas pula sejauh mana kita bergerak di kehidupan dunia ini; terbatas. Memahami logika "dunia itu penjara" pun akan meyakinkan kita bahwa kita selalu berada dalam jangkauan pengawasan dan pantauan-Nya.
Keyakinan tentang keterbatasan ruang dan waktu dunia serta kesadaran tentang keterpantauan itu akan membawa pada standar minimal seorang umat beragama, yaitu sepenuhnya berperilaku yang pantas dan sesuai norma-norma agama yang dianutnya karena kelak ia akan mempertanggungjawabkan, di alam sana kelak, sekecil apapun perilakukanya di dunia.
Pertanyaan besarnya, senyaman apakah kita di dalam penjara ini?
Ya Rabb, berikanlah kami umur panjang dengan kemampuan untuk tetap beribadah kepada-Mu agar menjadi penghapus semua dosa yang kami perbuat.