Judul catatan ini sengaja mencantumkan kalimat "Agama Moderat", bukan moderasi beragama, karena pada catatan ini akan mengudar terlebih dahulu tentang agama moderat sebelum catatan berikutnya akan memaparkan topik moderasi beragama.
Agama moderat pada prinsipnya tidak ada, karena dasar dari sebuah agama adalah karakter moderat. Agama tidak mengajarkan pemeluknya untuk memburu harta duniawi sampai melupakan investasi kehidupan sesudah kematian. Kesehatan fisik-jasmani tidak dikesampingkan saat agama mewajibkan penganutnya untuk menjaga kesehatan batin-spiritualnya. Agama selalu berada di titik tengah atau moderat.
Hukum alam yang kita hadapi saat ini, penghuni bumi terbagi-bagi ke berbagai kelompok agama berbeda. Jika diletakan dalam karakter aslinya agama yang moderat itu, maka perbedaan agama yang ada itu akan menjadi modal untuk tetap dapat hidup berdampingan secara harmoni.
Dominasi atau pun pemaksaan ajaran keagamaan tertentu yang memarginalisir apalagi mengintimidasi umat agama yang berbeda tidak muncul dari agama itu sendiri, tetapi lebih kepada pemaknaan atau penafsiran pemeluk agama pada agamanya.
Sebelum lebih dalam tentang posisi tafsir agama, kita harus sepakati terlebih dahulu bahwa agama dan pemeluk agama tidak sepenuhnya disamakan. Selalu ada peluang pemeluk agama bersifat dan bersikap yang tidak sesuai dengan agamanya.
Dikarenakan pemeluk agama itu tidak selalu merepresentasikan substansi agamanya, maka tidak fair untuk menilai ajaran sebuah agama hanya dari praktik keseharian pemeluknya. Salah satu faktor yang menegaskan tingkat kemungkinan berbedanya umat beragama dengan agamanya adalah pemahaman atau penafsiran umat itu pada ajaran-ajaran keagamaan.
Paham atau tafsir atas agama tidak berada pada tingkat kebenaran absolut, sehingga klaim kebenaran tidak bisa didominasi oleh salah satu faksi masyarakat dalam sebuah agama dengan menyalahkan tafsir lain yang diproduksi oleh faksi berbeda. Tafsir agama menjadi relatif dalam konteks ketiadaan ruang bagi tafsir tertentu untuk memvonis tafsir lainnya itu salah.
Keyakinan sebuah komunitas agama pada sebuah tafsir tidak dapat dijadikan modal untuk mengkafirkan keyakinan komunitas lain dari agama tersebut yang mempunyai tafsir berbeda. Dengan kalimat lain, menjadi orang yang berperilaku benar itu perlu, tapi merasa paling benar itu dilarang.
Tentunya relativitas sebuah tafsir di internal sebuah agama tidak sepenuhnya bebas tanpa batasan. Untuk hal-hal tertentu yang dikategorikan sebagai pokok agama tersebut tidak bisa ada tafsir berbeda. Misalkan, dalam Islam tafsir tentang bahwa Allah SWT itu esa tidak boleh memberikan ruang bagi tafsir yang berbeda tentang keesaan Allah SWT. Demikian pula, tiada tafsir yang berbeda untuk hal-hal lain yang dikategorikan sebagai pokok-pokok agama.
Kembali ke Agama Moderat, tidak perlu pembahasan meluas lagi terkait hal ini karena sekali lagi moderat atau dalam bahasa arab diistilahkan wasathiyah itu adalah karakter dasar sebuah agama. Tidak perlu dilakukan upaya untuk memoderasi agama, karena agama itu sudah moderat. Namun yang perlu dilakukan adalah mengkampanyekan agama (yang memang pada basiknya itu sudah) moderat agar dipahami dengan baik oleh pemeluknya. Dengan bahasa lain, yang menjadi target moderasi itu adalah umat beragamanya, bukan agamanya.
Setelah memahami agama itu moderat, maka pekerjaan berikutnya adalah bagaimana melakukan moderasi pada cara pemeluk agama mengamalkan agamanya atau diringkas dengan kalimat "moderasi beragama". Kementerian Agama dibentuk 73 tahun yang lalu untuk memikul beban yang maha berat ini.