Pelemahan Narasi Prokes
Jika kulit terluka dan darahpun bercucuran, hampir semua kita percaya dan tahu bahwa kita harus melakukan sesuatu agar luka itu ditutup, darah berhenti menetes, dan akhirnya sembuh. Namun saat virus corona menyebar, tidak mudah bagi masyarakat untuk memahami keberadaan virus ini pada organ tubuhnya karena gejalanya yang tidak kasat mata dan selalu membutuhkan diagnosa laboratorium melalui berbagai jenis pilihan tes untuk menyatakan bahwa anda positif atau negatif.
Dunia kesehatan cukup duduk di ruang prakteknya ketika masyarakat datang mengantarkan pasien yang terluka kulitnya, tapi tidak demikian sederhana bagi "pasien" covid19 yang merasa bahwa yang dirasakannya hanya flu biasa, batuk biasa, atau bahkan tidak merasakan gejala apapun sebagaimana sakit pada umumnya. Akibatnya, tidak mudah untuk menyadarkan masyarakat tentang berbagai protokol kesehatan yang harus ditegakan guna menghentikan penyebaran covid19.
Perdebatan paling mengemuka dalam upaya memutus jaringan penyebaran covid19 ini adalah tentang posisi ikhtiar yang dilakukan manusia dihadapan takdir yang ditetapkan-NYA. Norma dasarnya, ikhtiar manusia itu serba terbatas dan kekuasaan Tuhan untuk menetapkan takdir itu tidak terbatas. Walhasil, protokol kesehatan sebagai bagian dari ikhtiar melindungi diri dari paparan virus corona justru dilemahkan oleh takdir Tuhan yang berkuasa penuh menetapkan kapan, dimana, dan bagaimana manusia menemui ajalnya.
Ikhtiar manusia dalam bentuk protokol kesehatan pun semakin lemah ketika gejala keterpaparan seseorang oleh virus corona tampak sumir karena mirip dengan gejala penyakit ringan yang umum terjadi bahkan acapkali covid19 tidak menampilkan gejala apapun.
Tetiba Takdir Dipercaya
Sebelum covid19 menyebar, tidak sedikit masyarakat kita yang meragukan kekuasaan-NYA dalam hal menetapkan takdir. Meskipun tidak diucapkan apalagi didiskusikan, tetapi kebanyakan kita berperilaku dan bersikap seolah tiada kekuasaan Tuhan pada nasib mereka. Bekerja tanpa diiringi do'a, mengklaim kesuksesan hanya karena usaha dan kinerjanya, merujukan keberhasilan atas jasa pimpinannya, dan berbagai pola sikap lainnya yang pada intinya adalah tidak ada kehadiran kuasa Tuhan didalamnya.
Lalu, disaat corona virus menyebar, tetiba takdir dipercaya. Entah dari mana datangnya, tetiba kita berkilah tidak mau pakai masker dan enggan mengikuti protokol kesehatan, dengan alasan takdir Tuhan.
"Buat apa pakai masker, toh virus itu makhluk Allah, kita pasrah saja kepada-NYA", "Prokes dipatuhi bukan jaminan kita terhindar dari covid19, karena yang menentukan sakit atau sembuh itu Tuhan". Demikian kira-kira ujaran yang acapkali kita dengar di tengah masyarakat kita. Prokes covid19 dilawan dengan alasan takdir Tuhan diatas segalanya. Lalu mengapa sebelum covid19 menyebar tidak begitu?
[Catatan lainnya: Filosofi Tanah]
Ternyata, rumus dasarnya adalah kecintaan berlebihan pada dunia. Sebelum covid, Tuhan disingkirkan dari kehidupannya agar ia bisa melakukan berbagai hal tanpa etika dan sebebasnya berbuat demi nafsu dunianya. Pun demikian ketika covid datang, ia hadirkan takdir Tuhan sebagai pembenar atas kesibukannya berburu harta tanpa mematuhi prokes.
Konsisten pada Inkonsistensi
Kebanyakan kita tanpa disadari telah konsisten pada inkonsistensi. Konsisten pada ikhtiar berburu harta duniawi, tapi inkonsisten pada saat menyikapi keberkuasaan Tuhan atas semua yang terjadi. Kuasa takdir Tuhan ditolak saat ia bersibuk ria dengan pundi-pundi dunia, tapi tetiba kuasa itu dihadirkan untuk menolak prokes karena menghambat nafsunya untuk terus berburu pundi dunia itu.
Kita coba tarik sedikit ke tengah. Upaya kita sebagai manusia disebut dengan ikhtiyar, sedangkan ketetapan dari Allah karena ke-Maha Kuasa-an-NYA disebut dengan taqdir. Rumus dasar untuk memahami dua terma ini adalah bahwa kita diwajibkan ikhtiyar dengan berbagai kalkulasi manusiawi, sedangkan Tuhan berhak penuh menetapkan hasil atas apapun yang kita usahakan.
Pada konteks ikhtiyar, kita tidak dapat menerima sesuatu yang tidak kita usahakan. Akan tetapi, jangan ingkari bahwa kemahakuasaan Tuhan tetap dapat menetapkan keterjadian sesuatu meskipun tidak diusahakan oleh manusia.
Kewajiban kita adalah berikhtiyar karena kita berada di zona kausalitas. Segala sesuatu di kehidupanh kita didasarkan pada norma dasar sebab-akibat. Lapar dipenuhi dengan makan, haus dituntaskan dengan minum. Tanpa ikhtiyar makan dan minum, secara manusiawi lapar dan haus tak akan hilang.
[Catatan lainnya: Alat dan Tujuan]
Berbeda dengan kekuasaan takdir-NYA yang selain memberikan atau menahan sesuatu sesuai kadarnya, juga berhak memberikan dan menahan sesuatu sesuai kehendak-NYA.
Garis tengah yang menghubungkan ikhtiyar kita dengan kekuasaan takdir-NYA adalah tawakkal. Sebuah pola sikap yang menjalani kewajiban ikhtiyar seoptimal kita mampu, lalu memasrahkan hasil akhirnya kepada kekuasaan-NYA seraya berdo'a memohon kasih sayang-NYA.
Jalankan Prokes, Perkuat Iman
Covid19 merupakan makhluk Tuhan yang berada pada zona kausalitas. Wajib bagi kita menjalankan berbagai protokol kesehatan yang disampaikan oleh ahli kesehatan. Tetapi setelah prokes dijalankan, bertawakkal-lah. Pasrahkan kepada-NYA atas apapun yang terjadi setelah ikhtiyar itu dijalankan. Karena menjalani prokes sebagai ikhtiyar itu wajib secara logika dan tuntunan agama, pun demikian dengan beriman pada takdir-NYA yang secara logika dan iman juga wajib.
Tabik, WHS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar