Dalam hidup kita, atau mudahnya keseharian kita seperti pekerjaan, kita acap kali keliru memahami mana alat dan mana tujuan. Misalkan, kita mau berangkat dari tangerang ke jakarta. Tujuannya jelas jakarta. Alatnya banyak, diantaranya kendaraan dan rutenya. Kendaraan bisa mobil pribadi, kereta api, mobil umum, motor, dan lain sebagainya.
Rute bisa lewat jalan tol, bisa lewat jalur reguler non-tol, bisa juga campuran. Namun sekali lagi tujuannya, Jakarta. Jangan habiskan energi untuk meributkan pakai kendaraan apa dan lewat jalur mana.
Tidak sedikit dari kita yang masih memperlakukan instrumen sebagai substansi dan tega memposisikan substansi sebagai instrumen. Set it back, bro!
Ibadah; alat atau tujuan?
Saya memberanikan diri untuk langsung menandaskan bahwa ibadah itu alat untuk sebuah tujuan. Sebagai alat, ibadah sudah diatur dengan lengkap termasuk peluang pembahasaan ulangnya sesuai konteks.
Kehadiran menjadi patokan dalam bekerja karena tidak sedikit pekerjaan yang membutuhkan keberadaan pegawainya secara fisik. Selain itu, kehadiran dijadikan indikator loyalitas pegawai pada tempat bekerjanya. Pada dunia birokrasi, kehadiran pegawai menjadi titik tekan, terutama sejak terbitnya PP Nomor 53 Tahun 2010 yang mengatur tentang disiplin PNS yang salah satu indikator pentingnya adalah kehadiran.
Kinerja tentu merupakan hal penting dalam pekerjaan. Organisasi atau lembaga tempat kita bekerja telah mempekerjakan kita agar dapat memberikan kontribusi pada organisasi sesuai dengan tugas masing-masing. Tanpa kinerja yang baik, pegawai dianggap tidak amanah, tidak profesional.
Pertanyaannya kemudian adalah andaikan dibuat pilihan mana yang lebih utama antara kehadiran dan kinerja, seperti apa pola pemilihannya? Saya kira, pembaca akan mulai terbelah persepsinya dalam 3 pola jawaban.
Pertama, ada yang menjawab, "dua-duanya penting dan tak dapat dipilah-pilah", sehingga pertanyaan mana yang paling penting diasumsikan tidak relevan; Kedua, ada yang memilih untuk mengutamakan kehadiran, karena diasumsikan bahwa kinerja tidak akan muncul tanpa kehadiran; dan ketiga, ada yang menjawab kalau kinerjalah faktor utamanya karena kehadiran tanpa kinerja hanya penumpukan inefisiensi sedangkan organisasi menunggu kinerja pegawainya, bukan kehadirannya.
Jika diletakan pada perspektif alat dan tujuan, yang manakah dari kehadiran dan kinerja yang menempati posisi sebagai alat dan mana yang tujuan. Saya akan langsung menegaskan bahwa menurut saya yang menjadi alatnya adalah kehadiran, sedangkan kinerja adalah tujuannya.
Kinerja merupakan existential argument dari keberadaan seorang pegawai. Tanpa kinerja, kehadiran pegawai tidak ada bedanya dengan ketidak-hadirannya. Pangkal utama keberadaan pegawai adalah kinerja.
Tanpa meremehkan posisi kehadiran, kami berasumsi bahwa kinerja pegawai tetap dapat diraih meskipun tanpa kehadiran fisik pegawai. Sedangkan kinerja belum dapat tergaransi hanya dengan terpenuhinya kehadiran. So, kehadiran adalah alat menuju kinerja sebagai tujuannya.
Masih banyak illustrasi lainnya yang dapat kita unggah dalam bingkai "alat dan tujuan". Saya tidak bermaksud untuk mengajak pembaca menuju cara sikap oposisi biner, memilih satu dari dua faktor dengan memperhadapkan kedua-duanya secara diametris. Saya hanya mengingatkan betapa bahayanya jika kita keliru menempatkan tujuan pada alat atau memperlakukan alat sebagai tujuan.
Shang Ratu, JambiTabik,
WHS