"Sekretariat Jenderal berjalan pada fungsi utama dukungan manajemen, yaitu to develop, to coordinate, to communicate, to accelerate, and to facilitate all of the substantive program yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal, Badan, dan Pusat beserta seluruh instansi vertikal di daerah dan Unit Pelaksana Teknis dibawahnya."
Demikian Sekjen Kemenag kelahiran tahun 1969 ini menggariskan. Jelas, tegas, dan tuntas posisi sekretariat pada setiap jenjang keorganisasian dengan uraian tersebut. Selanjutnya, pelaksanaan dari positioning kesetjenan itu yang harus diterjemahkan secara merata oleh setiap unit kerja organisasi. Jangan sampai, arahan yang sudah sedemikian terang benderang menjadi jargon semata yang tak bertaji saat menyentuh ranah implementasi akibat dari keterbiasaan. Ada apa dengan keterbiasaan?
Sebelum mencoba menafsirkan secara illustratif mengenai posisi sekretariat sebagaimana dimaksud oleh alumnus S-3 pada Oriental and Islamic Studies, Universitas Bonn Jerman ini, sengaja kami sitir sedikit mengenai sindrom umum yang terjadi pada organisasi manapun saat memperlakukan kesekretariatan, yang kami sebut dengan sindrom "keterbiasaan".
Sekretariat sebagai Muara
Setiap unit kerja dalam sebuah organisasi melaksanakan tugas dan fungsi yang spesifik sesuai dengan visi, misi, dan strategi organisasinya. Pelaksanaan tugas dan fungsi setiap unit kerja organisasi merupakan perwujudan dari mandat keberadaan organisasi tersebut, karena itulah disebut dengan program substansi dari organisasi.
Catatan lainnya:
Pada sisi berbeda, unsur sekretariat dari organisasi disebut sebagai organ penyedia dukungan manajerial bagi keseluruhan kinerja organisasi. Penyebutan "dukungan" disini yang kerap disalahartikan oleh para pengelola unit kerja dengan memaknainya sebagai complementary function, not compulsory. Ada, bagus; tidak ada, tidak menghalangi. Ini yang terbiasa terjadi di perilaku mainstream selama ini.
Keterbiasaan yang keliru itu diabsahkan oleh cara pandang bahwa kesekretariatan itu sudah melekat dalam pola dan tahapan pekerjaan program substansi sehingga tidak perlu dilakukan repetisi oleh unit yang memang bertugas secara khusus dalam kesekretariatan itu sendiri. Apakah sudah tepat cara berpikir begitu?
Betul bahwa pelaksanaan program substansi sudah seharusnya dilaksanakan berdasarkan pola administratif dan manajemen yang tepat. Namun apakah alasan itu cukup untuk menafikan peran dari unsur kesekretariatan?
Nampaknya jika setiap unit kerja berpandangan seperti itu, organisasi akan berada pada kondisi berbahaya karena tidak ada pola manajemen yang diacu bersama. Seberapa banyak jumlah unit kerja, sedemikian pula varian pola administratif manajemen akan diberlakukan. Berantakan bukan?
Sampai disini, saya kira jelas bahwa kesekretariatan harus menjadi muara bagi keseluruhan program substansi organisasi untuk menjaga agar seberapa pun variatifnya program substansi tetapi pola administratif manajemennya berada pada ritme yang sama dan terstandar.
"Ah, ntar kalo setiap program substansi yang kami jalankan harus melalui sekretariat, bakal serba lambat. Selain menambah proses yang semestinya dapat disederhanakan juga melibatkan jenjang otoritas yang akan memperlambat kinerja" Demikian kira-kira secara imajiner kami bayangkan respons dari unit kerja saat kesekretariatan akan dikembalikan ke khiththah-nya sebagai muara organisasi.
Apakah betul demikian?
Sabar, kita lanjut di [Menegaskan Posisi Sekretariat Bag-2] sebagai bagian 2 tulisan ini.