Dalam ritme yang sama tetapi dengan angle berbeda, mainstream pun menyebutkan bahwa kita harus menjalani hidup dengan sabar yaitu mengalir seperti air. Mulai titik ini, diskusi kita pertajam; apakah benar mengalir seperti air itu sama dengan mengalah, menyerah, dan pasrah?
Judul tulisan ini akan merekonstruksi kata sabar sekaligus membenahi pemahaman tentang "mengalir seperti air" yang kadung menyempurnakan kekeliruan pemahaman tentang sabar.
[Catatan lainnya: Haqiqah dan Syari'ah]
Adalah Heraklitos filosof Yunani klasik yang menyebutkan panta rhei (semua akan mengalir) yang kemudian dijadikan sandaran tentang sikap "jalani hidup dengan sabar mengalir seperti air". Padahal, kalimat Heraklitos itu belum selesai. Lengkapnya ia menyebutkan, panta rhei kai uden menei (semua akan mengalir, tidak ada satu pun yang menetap). Lalu, tetiba pemahaman kita berubah. Ternyata panta rhei itu bukan soal sabar, tapi tentang tiadanya yang abadi kecuali perubahan.
Kita kuliti dulu apa yang dimaknai dengan "mengalir seperti air". Air adalah benda cair yang tentunya tidak segagah batu yang mewakili benda padat. Tapi tetesan air yang terus-menerus setiap detik, maka batu yang keras nan padat pun akan dibuatnya berlubang. Tetesan air itulah kesabaran, menurut saya. Adapun "mengalir" adalah sifat dasar dari air ketika berhadapan dengan ruang yang berbeda.
Panta rhei yang kemudian diidentikan dengan motto hidup sebagian kita dengan ungkapan "mengalir seperti air" yang kemudian dianggap sama dengan mengalah, menyerah, dan pasrah yang merupakan pemahaman keliru tentang sabar. Ternyata identifikasi begitu juga gagal paham. Coba perhatikan bahwa yang dimaksud mengalir seperti air itu tidak sama artinya dengan mengikuti kemana pun juga alias pasrah. Tunduk saja pada siapa atau ideologi apa yang sedang me-rezim. Bukan. Mengalir seperti air bukan seperti itu.
Sahabatku yang baik, mari kita perhatikan seksama tentang ungkapan "mengalir seperti air" ini. Kita sepakat bahwa aliran air itu selalu mengarah hanya ke satu titik; dataran paling rendah. Common sense, tidak ada air yang mengalir ke dataran tinggi.
Namun, perhatikan baik-baik, untuk mencapai dataran ter-rendah itu, sang air tidak bisa dihadang. Saat air mengalir ke timur lalu dihadang, maka ia akan ke barat. Jika ditutup lagi, air pun berbelok ke utara atau selatan. Bahkan jika semua jalur pada levelnya tertutup, air akan perlahan menggunung ke atas yang ujungnya luber ke dataran yang terrendah. Itulah air mengalir; unstoppable.
[baca juga: Kapan pertolongan-Nya tiba]
Demikian itulah pemahaman uangkapan "mengalir seperti air", begitu pula yang kami maknai dengan sabar; perjuangan tanpa batas. Sabar bukan pasrah, tapi gigih. Sabar bukan menyerah, tapi tekun menjalani proses. Sabar bukan tunduk, tapi fokus pada tujuan.
Seseorang yang penyabar tidak akan dapat dipatahkan dengan halang-rintang apapun. Andaikan semua arah horizontal ditutup, ia akan menumpukkan kapasitas dirinya sampai membuncah ke arah vertikal yang pada akhirnya tetap melanjutkan menuju arah yang ia tuju.
Mengalir sebagai sifat dasar air itu pasti ke ruang yang lebih rendah. Artinya, ia akan terus ke depan atau maju bukan mundur ke belakang. Tetapi kemajuan yang ia tuju justru membuat ia semakin merunduk semakin meyakini bahwa kemajuan itu dicapai bukan alasan untuk menyombongkan diri.
Sabar seperti air mengalir justru mengantarkan kita pada pengertian progresif dari sabar yang selama ini disembunyikan oleh kepengecutan kita saat dihadang hambatan dalam mencapai tujuan. Bersabarlah, means keep move forward!