Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi sedang dalam tahap implementasi. Pemerintahan era Indonesia Maju ini memulai gebrakan di masa awal pemerintahannya dengan mendorong perubahan besar pada perangkat birokrasinya, yaitu penyederhanaan birokrasi. Catatan ini sudut pandang optimis yang menjadi komentar atas catatan lainnya yang dipandang sebagai catatan pesimis.
Instansi pemerintah dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepuasan masyarakat pada layanan yang
disediakan pemerintah adalah pijakan eksistensial dari instansi pemerintah.
Struktur organisasi, peta proses bisnis, dan kompetensi SDM harus berkiblat
pada dinamika yang tak henti berkembang di masyarakat.
[Baca artikel lainnya: Pelayanan adalah Kepastian]
Kebijakan penyederhanaan birokrasi, merujuk pada terma yang
digunakan oleh SE Menpan Nomor 384 Tahun 2019 tentang langkah strategis dan
konkret penyederhanaan birokrasi, berlandaskan pada upaya pemerintah
“mempertahankan” makna kehadirannya di tengah masyarakat, yaitu memberikan
pelayanan prima. Artinya, birokrasi dengan berbagai sistem dan perangkat di
dalamnya harus menjadi gerbong yang mengikuti pola pelayanan publik sebagai
lokomotifnya.
Catatan saudara Thobib al-Asyhar yang mengurai tentang
“Dampak Psikologis Alih Jabatan Struktural ke Fungsional” [Dampak Psikologis Alih Jabatan Struktural ke Fungsional] patut dicermati.
Dijelaskan dalam catatan itu ada dua dampak psikologis. Pertama, munculnya
pesimisme pegawai dalam merespon pengalihan (penataan) jabatan; dan kedua,
munculnya kegamangan secara massif atas nasib karier di masa depan. Tulisan ini
akan mencoba untuk mengurai point pertama yang terkait langsung dengan
persoalan kebijakan penyederhanaan birokrasi.
Thobib menengarai, pesimisme pegawai muncul, dikarenakan
pandangan bahwa jabatan fungsional itu berbasis keahlian atau kompetensi,
sedangkan struktural itu tidak. Pandangan ini hemat penulis kurang tepat, untuk
tidak mengatakan keliru. Sebab, jabatan apapun dalam ASN, harus berbasis
keahlian dan kompetensi. Jika terdapat praktik penataan SDM pada jabatan
struktural yang masih tidak berbasis kompetensi, hal itu tidak dapat dijadikan
argumen untuk menghentikan skema penyederhanaan birokrasi.
[Artikel lainnya: Inilah Hasil Asesmen Kompetensi]
Dari sudut pandang penulis, pesimisme pegawai pada penyederhanaan
birokrasi itu cenderung karena hendak bertahan pada status quo, zona nyaman
pada pola penataan SDM yang tidak professional. Selama ini, keahlian dan
kompetensi pada jabatan struktural dinilai belum memiliki alat ukur yang lebih
meyakinkan dibandingkan dengan fungsional. Artinya, penyederhanaan birokrasi
ini bukan masalah dampak psikologis pada pegawai, tapi lebih kepada komitmen
pemerintah, termasuk ASN, untuk beralih pada pola yang lebih professional atau
berdiam diri pada skema lama yang tidak mengindahkan keahlian dan
kompetensi.
Penulis melihat, penyederhanaan birokrasi ini justru akan
menjadi era baru bagi penataan SDM yang lebih berbasis kompetensi dan keahlian.
Pesimisme muncul bisa jadi karena sejumlah ASN ragu dengan keahlian dan kompetensi
dirinya. Keraguan juga bisa jadi karena tidak sedikit pejabat eselon III dan IV
yang memiliki keahlian tidak sesuai dengan jabatan yang didudukinya.
Padahal, pola angka kredit yang diberlakukan pada jabatan
fungsional akan memaksa setiap “mantan pejabat struktural” untuk melaksanakan
butir kegiatan jabatan fungsional dan semua itu basisnya adalah kompetensi.
Bisa jadi, para pejabat yang mismatch mulai menyadari soal kelayakannya
menduduki jabatan saat ini.
[Khawatir dengan jabatan anda? baca: Diberhentikan dari Jabatan]
Catatan Thobib bahwa pesimisme pegawai salah satunya karena
pengalihan jabatan cenderung dipaksakan dan tanpa pilihan juga kurang tepat.
Perlu diketahui bahwa pengalihan ini dilakukan dengan tetap berpegang pada peta
tugas dan fungsi jabatan. Maksudnya, Kepala Bagian yang mengelola urusan
kepegawaian, misalkan, dialihkan menjadi jabatan fungional analis kepegawaian,
bukan jabatan fungsional pranata komputer. Dasarnya adalah karena tugas dan
fungsi Kepala Bagian yang mengelola urusan kepegawaian itu dapat dilaksanakan
oleh fungsional analis kepegawaian. Gagasannya, tugas dan fungsi kepegawaian
harus tetap ada yang melaksanakan tetapi bukan lagi oleh pejabat struktural,
tapi fungsional.
Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana jika Kepala Bagian
yang mengelola urusan kepegawaian “sesungguhnya” tidak memiliki kapasitas dalam
hal kepegawaian? Pada konteks inilah kemudian terasa bahwa pengalihan yang
bersangkutan pada jabatan fungsional analis kepegawaian seolah pemaksaan.
Mengapa penulis sebut seolah, bukankah seharusnya yang bersangkutan menyadari
ketidaksesuaian kapasitas itu sejak ia diangkat menjadi pejabat struktural
Kepala Bagian urusan kepegawaian? Mengapa setelah menjadi fungsional baru
kemudian menyadari itu dan menyebutkan pemaksaan?
[Menarik untuk dibaca: Mutasi Tanpa Caci Maki]
Lagi-lagi, dampak psikologis muncul lebih karena penempatan
pejabat struktural yang tidak sepadan dengan tuntutan tugas dan fungsi dari
jabatan itu. Kebijakan pola pengembangan karier dan kompetensi ASN sebenarnya
sudah diatur sedemikian rupa. Namun, aturan itu belum berjalan sepenuhnya. Pola
penyederhanaan birokrasi dengan bentuk pengalihan struktural ke fungsional ini
akan menjadi sistem yang memaksa ASN untuk tunduk pada prinsip profesionalisme.
Bekerja dan mendapatkan reward sesuai dengan kapasitas, kompetensi, dan
kinerjanya.
Sebagai tambahan, dalam PermenPANRB Nomor 28 Tahun 2019
dijelaskan bahwa eselon III yang dialihkan menjadi fungsional akan disetarakan
dengan jenjang Ahli Madya. Sedangkan eselon IV menjadi Ahli Muda.
Pertanyaannya, apakah penyetaraan seperti itu sudah proporsional?
Penjelasan dari pihak KemenPANRB, privilege itu hanya
dinikmati selama kurun waktu 1 (satu) tahun saja. Pada tahun berikutnya,
seluruh pejabat fungsional hasil penyetaraan dari struktural akan melalui uji
kompetensi untuk mengukur apakah yang bersangkutan layak pada jenjang saat ini
atau tidak. Bahkan apakah yang bersangkutan tepat pada jabatan fungsional saat
ini atau tidak.
[Silahkan baca: Kompetensi Teknis ASN]
Andaikan pejabat fungsional jenjang ahli madya (mantan
pejabat eselon III) dan ahli muda (mantan pejabat eselon IV) ternyata tidak
lulus uji kompetensi tersebut, maka hal itu menjadi indikasi bahwa penunjukan
yang bersangkutan pada jabatan struktural yang sebelumnya itu dilakukan tanpa
dasar keahlian dan kompetensi.
Dampak psikologis yang lebih tepat terjadi gegara
penyederhanaan birokrasi ini justru mengingatkan seluruh ASN tentang
positioning yang benar akan makna kehadiran birokrasi, yaitu menghadirkan
instansi pemerintah yang melayani masyarakat dengan diperkuat SDM yang ahli dan
kompeten.
[Catatan ini telah diterbitkan pada 24 Januari 2020 dalam website resmi Kemenag RI Penyederhanaan Birokrasi dan Tuntutan ASN Berkompetensi. Kami tampilkan kembali dengan beberapa penyesuaian konteks]