Sejak UU ASN diterbitkan, gaung tentang penilaian kompetensi semakin menemukan momentumnya. Sebelum era UU ASN, sesungguhnya pola penempatan jabatan di berbagai instansi pemerintah sudah mulai mengadopsi satu pendekatan yang populer dengan sebutan assessment center. Sejak saat itu, terma kompetensi menjadi populer diucapkan pada abdi negara. Saking populernya sampai jadi latah alias asal bunyi.
Kalimat berbasis kompetensi yang sudah ngalor-ngidul ini justru malah menjadikan kalimat itu tidak lagi bertuah. Selain dari sosialisasi yang heboh dan mekanisme administratifnya yang dominan, competency-based itu ternyata prosentase penggunaannya masih jauh dari layak untuk disebut well conducted.
'Ala kulli hal, catatan ini bukan untuk mengkritik penilaian kompetensi yang masih jauh dari substansi kehadirannya dan kini malah semakin merapat-erat ke panggung seremonial. Catatan ini hanya sekedar menurunkan tensi diskusi tentang kompetensi pada ranah faktual di lapangan saat benar-benar kita berada di keseharian pekerjaan.
Agar tidak mengernyitkan dahi, kami ingatkan sekali lagi bahwa catatan ini bukan tentang bagaimana kompetensi itu seharusnya, tapi hanya tentang bagaimana kompetensi sudah seenaknya diperalat. Oups! keraskah, ngga tenang saja.
"Pak, kita undang saja semua pegawai disini untuk ikut rapat siang ini. Lha wong bahas anggaran cuma pejabat dan fungsional perencana plus bendahara yang berkepentingan, tapi alokasi pesertanya cukup banyak lho". Ujar seorang pegawai pada atasannya. Lalu, "Ah ngga usah mas. Undang staf di Biro Perencanaan dan Keuangan saja. Staf kita ngga semua memiliki kompetensi tentang tema yang didiskusikan." Demikian atasannya merespons.
Pertanyaannya apa betul semua peserta rapat harus berkompeten sesuai tema rapat? Ah sudah lah jangan berputar-putar. Rapat tentang analisis jabatan saja menghadirkan bendahara, padahal tugasnya bukan untuk ikut rapat tapi menyelesaikan berbagai keperluan administratif keuangan rapat dan ia dijadikan peserta.
Nah, mulai jelaskan. Tidak semua peserta rapat harus memiliki kompetensi yang berkorespondensi langsung dengan topik rapat itu karena rapat tidak selalu tentang topiknya tapi juga tentang pelaksanaannya.
artikel lainnya:
Masih banyak contoh lainnya yang terkadang sekali lagi kita lebay, latah, dan sekenanya ketika menggunakan kalimat "harus sesuai kompetensinya", padahal untuk konteks yang sederhana, simple, dan praktis.
Suatu hari seorang pejabat fungsional analis SDM aparatur ditugaskan menjadi peserta seminar. Hadir pula dalam kegiatan itu, seorang Kepala Biro atasan dari sang fungsional tadi. Selesai acara, ternyata sopir pribadi sang Kepala Biro sakit sehingga izin pulang lebih cepat. Apakah pejabat fungsional Analis SDM Aparatur tadi tidak bisa menggantikan tugas sopir hanya karena dijegal dengan kalimat "harus sesuai kompetensinya" sehingga mobil dinas lebih baik ditinggalkan di lokasi rapat? Aneh rasanya ya....
Di berbagai hari lainnya, kita akan selalu menemukan sebuah kondisi dimana kompetensi tidak selalu dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Ada sebuah kegiatan dimana isinya tidak selalu bersifat tunggal, tetapi terdapat berbagai kondisi yang meliputi kegiatan tersebut yang kemudian membutuhkan kompetensi yang tidak relefan dengan kegiatan tersebut.
Ada juga kondisi yang darurat dimana kompetensi tidak lagi layak untuk menghambat terlaksananya sesuatu karena ketersediaan SDM di sekitar kondisi tersebut yang membutuhkan sikap langsung dibandingkan menunggu orang yang kompeten di bidang itu.
Walhasil, mari kita lenturkan pemahaman kita dan turunkan tensi semangat kita yang berlebihan tentang kompetensi dan konteks-konteks yang mengitari penggunaannya. Jangan sampai gegara over acting-nya kita pada semangat job based on competency, malah membuat kompetensi kehilangan marwahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar