Sebelum melebar terlalu jauh, penulis pastikan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang tema hukum. Bahkan penulis pun akui sangat buta dengan peristilahan standar di dunia peradilan.
Catatan ini tentang tingkah polah kebanyakan kita dalam kehidupan sehari-hari; di rumah, bertetangga, di tempat kerja, atau sekedar di warung kopi. Tanpa sengaja, kita sudah terbiasa memvonis seseorang itu terlapor dan tersangka tanpa pernah terpastikan apakah ia terdakwa atau bukan. Hebatnya, ternyata vonis terlapor dan tersangka itu memang hanya untuk maksud tertentu yang tidak ada urusannya dengan ranah hukum.
Memang, penulis 'terinspirasi' dengan stratifikasi sebutan tentang seseorang dalam kaitannnya dengan hukum yang diurai para praktisi hukum. Namun, sekali lagi jangan terjebak disana. Ini catatan reflektif, bukan diktat kuliah.
Rutinitas Terlapor
Dijelaskan oleh praktisi hukum bahwa terma terlapor tidak ditemukan dalam KUHAP, tapi digali dari pengertian laporan yang diurai Pasal 1 angka 24 KUHAP, yaitu "pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana".
Karena diskusi ini lagi-lagi bukan tentang materi hukum, kita kuliti secara common sense saja bahwa isi dari pemberitahuan dari pengertian tersebut, "telah atau sedang atau diduga akan terjadinya". Pertanyaan sederhananya, apakah terjadi sesuatu yang diberitahukan itu? Jelas dan tegas, belum terbukti karena baru dilaporkan dan membutuhkan keputusan apakah kualitas laporannya layak untuk memasuki tahap penyidikan atau tidak.
Pemberitahuan yang terkategorikan laporan terus dan mudah terjadi. Meskipun sudah diatur pola pelaporan dalam mekanisme khusus tetapi tanpa mekanisme itu pun pemberitahuan biasa sudah kadung dikategorikan secara serampangan sebagai laporan sampai-sampai menjadi rutinitas laporan dan banyak sudah yang menjalani rutinitas sebagai terlapor.
Kelumrahan Tersangka
Jika kualitas pemberitahuan sudah sedemikian cukup untuk disebut sebagai laporan melalui proses penyelidikan, maka mulai memasuki tahap penyidikan untuk menemukan tersangka. Tidak dikunci bahwa tersangka itu adalah terlapor karena proses penyelidikan hanya menentukan terlapor sedangkan untuk menetapkan tersangka prosesnya adalah penyidikan.
Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya dan keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Artinya, tersangka sekalipun belum tentu merupakan pelaku kesalahan, ia baru disangka melakukan kesalahan.
Jika seorang tersangka mulai dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan maka ia sudah berubah menjadi terdakwa. Tersangka yang belum pernah dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan tidak pernah menjadi terdakwa. Terdakwa itu sudah "diduga kuat" menjadi pelaku, berbeda dengan tersangka yang baru sekedar "patut diduga".
Akibat dari pemberitahuan yang terlalu mudah disulap menjadi laporan serta akibat dari ornamen pemanis laporan yang terlalu gampang ditahbiskan sebagai alat bukti, maka menjadi tersangka sudah kelumrahan untuk menghentikan laju proses kehidupan target sasaran. Karena, hebatnya status tersangka adalah tidak perlu divonis bersalah oleh keputusan berkekuatan hukum tetap, tapi dapat serta-merta menghentikan berbagai hak dan kewenangan orang yang berstatus tersangka. Perlahan, sederhana, tidak heboh, tapi mematikan.
Hanya Sampai Tersangka
Namun yang menarik, dalam kehidupan keseharian kita seringkali gunjingan tentang keburukan orang lain seolah-olah laporan sehingga yang digunjingkan itu tetiba divonis sebagai terlapor. Bahkan setelah itu digiringlah berbagai arsip cerita yang belum teruji sebagai bukti awal tapi dipaksa mendukung laporan (baca: gunjingan) tersebut melalui proses gotak-gatik-gathuk yang diklaimnya seolah penyelidikan sehingga mengubah terlapor menjadi tersangka. Lalu, selesai.
Mengapa selesai sampai disitu? karena sekali lagi pemberitahuan ini belum layak disebut laporan karena kualitas data dukungnya belum teruji disebut bukti awal dan pola penyelidikannya pun berdasarkan metode gothak-gathik-gathuk yang asumsi dasarnya adalah memaksakan keterhubungan sesuatu yang belum jelas terhubung.
Mengapa dirasa cukup sampai vonis sepihak sebagai tersangka? karena gunjingan yang dipaksa untuk disebut laporan itu hanya menargetkan untuk membatasi hak dan kewenangan dari seseorang yang dituduhnya sebagai tersangka. Ketika berhasil menghambat hak dan kewenangan seseorang, maka pelapor pun merasa cukup karena hanya itu targetnya.
Lalu apa ruginya jika dinaikkan ke tahap penyidikan untuk memastikan siapa terdakwanya? Tidak menarik mengarah kesana karena tahap penyidikan menandakan dimulainya penuntutan, pemeriksaan, dan pengadilan sehingga seluruh proses penetapan terlapor dan tersangka akan diuji ulang. Jika tidak berhasil meyakinkan tahap penyidikan, wassalam tersangka bahkan terlapor pun bisa teranulir. Ini tidak diinginkan.
Berhasil menghambat laju kehidupan (baca: hak dan kewenangan) dari objek gunjingan adalah senyatanya gunjingan. Tidak lebih, tidak kurang. Jadi demikianlah terlapor menjadi biasa dan tersangka dijadikan akhirnya. Akibatnya, tidak pernah ada peristiwa kesalahan yang terbukti secara sah dan meyakinkan sudah terjadi. Berita kesalahan dibiarkan mengambang yang penting berhasil menjadi penjara imajiner yang mengurung terlapor dan tersangka yang diciptakan penggunjing. Ternyata ada yang punya hobby unik; merawat orang lain agar tetap menjadi tersangka.
Demikianlah kita harus mengimani "maaliki yaumiddin", Allah SWT adalah raja pada hari pengadilan agung kelak di akhirat. Disitulah semua divonis terang-benderang. Kesalahan adalah kesalahan meskipun hasil dari kesalahan itu dizakati dengan berbagi kebaikan karena kebaikan tidak dapat diracik dari bahan-bahan yang merupakan kesalahan.
Entah kemana arah catatan ini, kami pun tak lagi dapat mengendalikannya. Let it flow...
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar