Dalam catatan sebelumnya tentang "Organisasi dan Kepegawaian", saya berpendapat bahwa logika dasar manajemen kepegawaian itu faktual-realistis, berbeda dengan penataan organisasi yang konseptual-idealis. Banyak yang komentar ke kontak pribadi saya tentang catatan saya tentang relasi organisasi dan kepegawaian dimana rujukannya. Ya demikianlah, terkadang kita sudah berangkat jauh tapi lupa langkah pertamanya.
Dalam sampul blog ini sudah tegas dipampang bahwa semua catatan ini sepenuhnya adalah pendapat pribadi saya. Tidak mewakili siapapun, bukan atas nama institusi mana pun, dan rujukan saya sepenuhnya analisis pribadi berbasis pengalaman secara langsung dan/atau tidak langsung terhubung dengan konten yang ditulis.
Pun demikian dengan catatan ini, organisasi menurut analisis dan pengalaman saya (sekali lagi) adalah tentang tema yang konseptual dan idealis. Lalu apa argumen (bukan rujukan) yang dapat kami sajikan untuk mendukung pendapat tersebut? Kita kaji bersama-sama, bukan saya paksa anda untuk setuju.
Di permulaan ini, perlu diingat kembali pemahaman dasar yang menjelaskan bahwa sekumpulan orang yang memiliki ide yang sama dan bersepakat untuk bersama dalam menjalankan ide tersebut itulah organisasi.
Sekumpulan orang itu sederhananya tidak sendirian. Ide yang sama itu dapat dimaknai visi, misi, dan orientasi yang sama. Bersepakat untuk menjalankan ide yang sama secara bersama-sama itu adalah pembentukan organisasi dengan segenap variabel pembangunnya.
Mengapa harus sekumpulan orang? karena organisasi meniscayakan adanya distribusi tugas dan kewenangan guna menjamin akuntabilitas setiap tugas dan kewenangan itu. Jika tugas tidak didistribusikan (secara de jure) maka tidak layak disebut organisasi.
Lalu mengapa harus ada ide yang sama? Ya karena organisasi ketika dibangun pasti karena ada permasalahan yang terjadi di sekitarnya yang hendak dirumuskan solusi atas permasalahan itu dengan seperangkat gagasan atau karena menemukan sebuah gagasan yang hendak ditawarkan ke segmen tertentu.
Gagasan dasar pembangun organisasi inilah yang sesungguhnya paling menjiwai keseluruhan komponen organisasi. Dari gagasan itu, uraian tugas disusun dan berdasarkan gagasan itu pula struktur organisasi dirancang.
Setelah gagasan dasarnya ajeg dan jelas, lalu disusunlah sekumpulan tugas dan kegiatan yang merupakan bentuk teknis atau strategi implementasi dari gagasan tersebut. Semakin berat beban tugasnya, maka bertambah pula unit kerja organisasinya.
Gagasan dirumuskan secara konseptual dan tentu idealis, demikian pula halnya dengan uraian tugas dan detail kegiatannya akan disajikan dalam bingkai konseptual dan idealis.
Untuk dapat menjalankan tugas dan kegiatan yang diperas dari intisari gagasan itu lalu dibutuhkanlah SDM. Namun sebelum SDM itu mencantumkan nama (tunjuk orang), manajemen organisasi masih memberikan rambu-rambu dalam bentuk standar kompetensi jabatan.
Guna menjamin agar tugas dan kegiatan dijalankan dengan metode yang benar berbekalkan pengetahuan yang mumpuni serta dioperasikan dengan kompetensi yang memadai, diperlukan kepastian bahwa SDM yang menjadi pelaksananya memenuhi batasan minimalnya yang disebut dengan Standar Kompetensi Jabatan.
Desain standar kompetensi jabatan tentu berangkat dari konsepsi gagasan besar yang makro (visi misi organisasi) dan uraian tugas yang mikro, bukan mengekor pada fakta kualitas SDM. Dengan bahasa lain, SDM yang harus mengejar standar kompetensi jabatan, bukan malah standarnya yang dicocok-cocokan dengan SDM.
Sampai titik ini, rasanya sudah jelas bahwa organisasi menggunakan logika dasar konseptual-idealis. Oleh karena itu, jika terjadi hal yang "menyimpang" dalam perjalanannya, rata-rata bukan karena desain organisasinya unsupported, tapi karena person yang duduk dalam organisasi itu yang bermasalah.
Mengapa sisi SDM yang potensial terjadi kesalahan, karena SDM karakternya dinamis sehingga vulnerable. Sedangkan organisasi itu normatif dan pasif. SDM dapat menafsirkan sendiri target sebuah program, sedangkan organisasi mencantumkan target program dalam dokumen resmi dan easy to be accessed.
Pada level ini, kita dapat memahami bahwa organisasi sebagai sebuah konsep dan ide akan terbangun sempurna tanpa cela, akan tetapi individu yang ada dalam organisasi itu belum tentu sesempurna desain organisasinya.
Logika ini pun berlaku pada agama dan umat beragama. Agama sebagai sebuah nilai luhur terkonstruksi sempurna, akan tetapi umatnya belum tentu mengamalkan ajaran Agama tersebut secara paripurna. Dengan demikian, tidak fair jika kita menilai ajaran sebuah agama itu hanya berdasarkan fakta perilaku umatnya. Organisasi itu agamanya sedangkan SDM adalah umat beragamanya.
Lalu bagaimana desain terbaik untuk organisasi yang mengelola kehidupan keagamaan? Wow, itu tema panjang yang menarik dikupas nanti.
WHS
Hari pelantikan Menag Baru, Gus "Menteri" Yaqut Cholil Qoumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar