Jumat, 01 Januari 2021

Perayaan Tahun Baru itu Haram

Akhir Desember pun berlalu dengan datangnya awal Januari. Demikianlah pergeseran waktu. Bertebaran ayat-Nya yang jelas menegaskan bahwa waktu adalah tanda kebesaran-Nya sehingga hal itu harus menjadi bagian dari cara hamba-Nya untuk mengagungkan dan meyakini kemahakuasaan-Nya. Jika narasinya semudah itu, apakah masih juga dengan mudah tergiring arus yang menggaungkan bahwa perayaan tahun baru itu haram karena bid'ah dan kelak akan menjerumuskan ke neraka. Masa sih?

Waktu adalah standar ukur yang diciptakan oleh kita setelah melihat adanya keteraturan luar biasa di alam raya ini. Anugerah daya pikir yang dimiliki manusia merumuskan standar ukurnya dengan sebutan waktu. Dirumuskanlah sebutan detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, dan akhirnya tahun yang kesemuanya adalah hasil oleh pikir manusia pada keteraturan alam. 

Lalu dengan merenungkan sedemikian kompleksnya alam raya tetapi dapat bergerak dalam orbit sistem yang sangat teratur ini, maka kita pun terarahkan pada satu keyakinan adanya Sang Maha Kuasa yang menciptakan dan mengendalikan grand system ini, bahkan menyudahinya kelak. Saat itulah waktu menjadi bagian penting dari variabel pembangun keyakinan kita kepada kekuasaan-Nya.

Manusia menjalani prosesnya dalam kumparan waktu. Lahir, hidup, dan mati. Pada tahapan ringkas itu, kita membutuhkan alat ukur tentang seberapa besar peningkatan kualitas kita sebagai manusia yang sedang menjalani proses kehidupan dan kelak akan berakhir dengan kematian. Salah satu alat ukur yang paling mudah adalah waktu.

Siapapun yang saat ini lebih baik dari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung. Sedangkan yang saat ini sama saja dengan kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Adapun yang saat ini lebih buruk dari sebelumnya, maka ia adalah orang yang celaka.

Saat ini dapat dipahami dalam standar ukur beragam. Bisa kita sebut jam, hari, pekan, bulan, dan tahun atau lebih jauh lagi. Namun pada dasarnya, ukuran saat ini dan kemarin adalah ukuran waktu yang jelas-jelas dapat menjadi bagian dari evaluasi diri agar lebih baik dari sebelumnya. Pergeseran tahun pun harus dijadikan momentum untuk perubahan diri menuju lebih baik. 

Lalu, bukankah tahun masehi itu bersumber dari ajaran agama tertentu dan berbasiskan moment yang spesifik di keyakinan tertentu? This is the hottest point.

Momentum adalah waktu biasa yang didalamnya mengabadikan sebuah keadaan luar biasa. Lalu saat sebuah momentum dirayakan atau diperlakukan tidak biasa, maka jenis atau cara memperlakukannya itu yang harus jadi concern, bukan soal waktunya lagi.

Tahun baru 1 Januari adalah waktu biasa. Setiap tahun sejak tahun 1978, saya melalui 1 Januari selama 42 kali sampai saat ini. Biasa saja. Namun diperlakukan luar biasa oleh banyak orang dengan berbagai caranya. 1 januari dijadikan moment awal dari tahun anggaran bagi pihak yang bekerja di dunia birokrasi. 1 Januari disebut sebagai awal neraca keuangan, bagi orang yang beraktivitas di dunia keuangan. 1 Januari bermakna banyak hal bagi banyak orang. 

Walhasil, tidak lagi relevan memperdalam diskusi tentang momentum waktu tertentu dengan menyudutkannya pada bagaimana momentum itu tercipta. Apa masih kita debat kusir tentang asal-usul dari 1 Januari padahal diluar sana orang ada yang bermimpi merancang moda transportasi yang sudah melipat waktu sedemikian pendek? 

Diskusi ini akan lebih bermanfaat untuk membincang tentang bagaimana kita membangun momentum sendiri diatas momentum yang diciptakan yang lain tanpa lelah menguras energi tentang bagaimana momentum yang lain itu diciptakan. Fokuslah pada apa yang akan kita create untuk "menunggangi" momentum mereka.
Jadi akan sangat lama dan dalam kita terjebak pada blunder perdebatan yang tanpa akhir jika masih terus berkutat soal latar dari terciptanya momentum. Kita harus keluar dari blunder itu dan beralih ke bagaimana kita memanfaatkan momentum yang diciptakan yang lain itu dengan menciptakan momentum yang kita buat sendiri.

"Bos, kalau saya ngadain pengajian di malam tahun baruan apa emang bener itu bid'ah? Terus hukumnya haram pula. Gimana bos?", tanya Mas Andi, teman saya. "Bagus itu, adain pengajian di malam tahun baru. Ga ada masalah. Hal itu bid'ah, iya memang bid'ah. Lha wong Nabi Muhammad SAW tidak pernah tahun baruan. Tapi begitu juga dengan WA yang sekarang kita gunakan untuk ngobrol tentang hukum Islam ini juga bid'ah karena sahabat Nabi tidak pernah terima hadits via WA". Demikian celetukan kami saat itu.

Merayakan tahun baru 1 Januari itu haram hukumnya bagi Umat Islam jika dilakukan dengan mengiyakan dan meyakini kekuasaan Jenus, Dewa Bangsa Romawi yang menandakan permulaan sesuatu, sebagaimana diyakini Numa Pompilius, Raja Romawi 715-673 SM. Merayakan tahun baru 1 Januari itu haram hukumnya bagi Umat Islam jika dilakukan dengan niat mengikuti keyakinan dan pola hidup ala Julius Caesar (Tokoh Romawi 100-45 SM) yang berperan menetapkan tahun kabisat dan namanya diabadikan oleh pengikutnya dengan mengubah Bulan Quintilis menjadi Juli. Merayakan tahun baru 1 Januari itu haram hukumnya bagi Umat Islam jika dilakukan dengan meyakini keimanan yang dipeluk oleh Paus Gregorius XIII yang memutuskan untuk mengembalikan 1 Januari sebagai awal tahun baru sejak 1582 M. 

Nah, siapa diantara kita yang pernah memikirkan sejarah 1 Januari sejelimet itu? I believe, no one of us have time to think about those stories, bahasa gaulnya, "ga kepikiran begitu, gimana mau ngeyakinin begitu". Ringkasnya, sudah tidak ada yang merayakan tahun baru 1 Januari karena menghormati ketokohan dari orang-orang yang berperan menjadikan 1 Januari sebagai momentum tahun baru. Apalagi merayakan tahun baru itu berbasiskan keyakinan pada agama tertentu, tidak ada. 

Lalu, kemana sesungguhnya arah diskusi tentang 1 Januari ini mengalir? Sekali lagi, momentum 1 Januari yang melibatkan nama-nama besar semisal Numa Pompilius, Julius Caesar, dan Paus Gregorius XIII sudah tak terdengar lagi. Kini yang bertarung di momentum 1 Januari adalah kita.

1 Januari adalah waktu biasa yang dimomentumkan oleh kebanyakan orang dengan alasannya sendiri-sendiri. Kita gunakan 1 Januari untuk alasan yang kita punya sendiri yaitu mengingat kekuasaan-Nya tentang waktu dan tidak harus atau tidak hanya pada 1 januari. Dengan begitu, kita akan menyusuri nikmatnya alunan ayat suci-Nya yang menguraikan bahwa waktu adalah salah satu tanda dari kekuasaan-Nya. 

Firman-NYA, "Demi Masa"
Tabik,
WHS

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...