Atasan Terbawah
Dalam struktur organisasi, tentu selalu terbangun dengan logika hierarki, dari teratas sampai terbawah. Misalkan dalam struktur organisasi instansi pemerintah di lingkup Kementerian tersusun rapi dari Menteri, Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (Eselon I), Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II), Jabatan Administrasi-Administrator (Eselon III), Jabatan Administrasi-Pengawas(Eselon IV), dan Jabatan Administrasi-Pelaksana (Eselon V dan Pelaksana) sebagaimana diurai Pasal 13 dan 131 dalam UU ASN, Nomor 5 Tahun 2014.
Hierarki organisasi ini (terutama pada instansi pemerintah) dibangun berdasarkan analisis organisasi yang didalamnya terdiri dari analisis jabatan, analisis beban kerja, dan peta jabatan. Variabel semisal kewenangan, cakupan kerja, dan output jabatan akan menjadi alat utama (main tools) yang melahirkan jenjang jabatan yang hieararkis tersebut.
Jika, sekali lagi dalam instansi pemerintah, struktur organisasi terbawah itu adalah Jabatan Pelaksana non-eselon, maka atasan terbawah yang dimaksud adalah Jabatan Administrasi-Pengawas (eselon IV) atau Jabatan Pelaksana (eselon V).
Atasan terbawah menjadi menarik untuk disorot karena jabatan ini tidak memiliki bawahan yang berstatus eselon. Bawahan dari seorang atasan terbawah adalah Jabatan Pelaksana non-eselon dan jabatan fungsional (dalam status kendali koordinasi, bukan instruksi) yang kesemuanya itu diatur sepenuhnya oleh analisis beban kerja, bukan ditetapkan oleh regulasi struktur organisasi.
Kita perjelas lagi. Menteri punya bawahan JPT Madya. Jumlahnya jelas termasuk uraian tugas dan tanggungjawabnya. Demikian pula dengan JPT Madya yang memiliki bawahan JPT Pratama yang juga tugas-tugasnya ditetapkan oleh regulasi. Demikian seterusnya sampai ke JA Administrator (Eselon III) yang dibawahnya didukung oleh JA Pengawas (eselon IV).
Selain JA Pengawas, semua jabatan dalam struktur organisasi instansi pemerintah memiliki bawahan yang juga berstatus jabatan eselon dan sang atasan tidak perlu memikirkan distribusi tugas dan mengawasi batasan kewenangan karena semuanya sudah diatur jelas dalam regulasi tentang struktur organisasi dan tata kerja.
Semua kondisi yang dinikmati oleh JA Administrator, terlebih JPT, tidak terjadi pada Pejabat JA Pengawas (Eselon IV). Ia harus berpikir keras untuk menyusun analisis beban kerja yang meyakinkan sehingga dapat menjelaskan kebutuhan jenis dan jumlah jabatan pelaksana yang berada dibawahnya. Berikutnya, ia pun harus mendistribusikan tugas secara proporsional, cerdas, dan jitu. Selain itu, ia pun menjadi tumpuan bawahannya tentang apa yang disebut kesejahteraan.
Semua beban yang dipikul JA Pengawas ini tidak jauh berbeda dengan JA Administrator atau JPT, jika hanya selesai di paragraf diatas. Ada satu yang paling krusial membedakan JA Pengawas yaitu bahwa semua beban itu harus dirinya sendiri yang mengelola dan memutuskan karena semua bawahannya adalah pejabat non-eselon, jumlahnya tergantung ketersediaan, distribusi tugasnya terserah keputusan JA Pengawas.
Tiga Inti Tugas
Lalu dari kesemua beban itu, alangkah lebih baiknya kembali ke titik awal; apa tugas inti seorang atasan. Pertanyaan ini tentu menyasar ke siapapun yang merasa dirinya dalam posisi sebagai atasan di dunia kerja, tidak hanya JA Pengawas. Namun setidaknya, ini akan menjadi jurus jitu bagi JA Pengawas untuk mulai menyadari bahwa inilah tugas intinya.
Pertama, Atasan wajib memimpin bawahannya agar dapat berkontribusi demi kesuksesan program.
Keyword dari tugas inti pertama ini adalah "memimpin", "berkontribusi", dan "kesuksesan program". Keyword tersebut akan dikaji secara runut terbalik.
Kesuksesan program sesungguhnya bahasa paling klise dalam tugas atasan dihadapan bawahannya karena ketika program dinyatakan sukses, andaikan ada (acapkali tidak ada) rewards sekalipun, alamatnya ditujukan pada para atasan dimulai dari teratas sampai terbawah. Sang pelaksana hanya bertugas bertepuk tangan saja ketika sang atasan itu menerima penghargaan. So, program sukses cenderung kepentingan para atasan, belum tentu bawahan secara sadar punya kepentingan itu.
Kontribusi ialah kata yang bermata ganda. Bisa bermakna bawahan diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasan, bisa juga hanya sekedar bawahan melaksanakan apa yang diperintahkan atasannya. Tapi intinya, terlibat. Keterlibatan seseorang dalam sebuah aktivitas kadang dialibikan sebagai alasan ketercantuman namanya dalam daftar penerima honor. Namun yang terkadang dilupakan adalah disaat kita melibatkan seseorang dalam sebuah proses, sama halnya dengan kita mengapresiasi yang bersangkutan atau hanya sebatas mengakui keberadaannya.
Memimpin sebetulnya adalah mahkota para atasan dihadapan bawahannya. Namun mahkota itu bisa seolah di kepala monyet (maaf, sekedar ikut-ikutan peribahasa "mahkota di kepala monyet", jangan tersinggung) jika sang atasan tidak membuktikan kelayakannya menjadi atasan.
Banyak pilihan untuk disebut layak memimpin dan salah satunya--untuk tidak menyebut yang paling pokok--adalah penguasaan sang atasan atas substansi tugasnya atau setidaknya sekedar keinginan besar atasan untuk belajar atas substansi tugasnya. Mengapa keinginan belajar sudah dipandang cukup, karena kompetensi teknis bukan hal menentukan dalam keberhasilan tugas meskipun penting untuk dikuasai.
[baca artikel tentang kompetensi:
Kedua, Atasan wajib memprioritaskan bawahannya sebagai kader pemimpin yang akan menggantikannya.
Kita perdalam bagian "...atasan penghambat karir bawahan". Tidak jarang didengar ada orang yang menganggap bahwa pengetahuuan yang ia miliki jangan sampai 'dicaplok' oleh yang lain kalau tidak mau lapaknya terganggu. Akhirnya, tumbuh suburlah di dunia kerja orang-orang yang gemar menyembunyikan ilmu agar hanya dia yang tahu dan senang 'mem-password' informasi sehingga sulit diakses oleh selain dirinya. Masalah-masalah seperti itulah yang harus dijauhi bahkan digerus oleh seorang atasan jika ingin disebut layak memimpin.
Namun perlu diberikan catatan pula disini bahwa dalam dunia kerja yang menentukan karir bawahan tidak hanya sebatas atasan langsungnya saja. Masih banyak pihak lainnya yang juga punya akses untuk menekan enter atau delete pada karir seorang bawahan. Hal ini perlu dipahami agar ketika seorang bawahan merasa karirnya sulit berkembang, ia jangan langsung membabi-buta menuding atasannya yang menjegalnya. Lagi-lagi tugas atasan yang ini pun masih tergantung pada yang lain, bukan tugas yang berdiri sendiri.
Ketiga, Atasan wajib memastikan bawahannya pulang ke rumah dengan penuh kebanggaan dan kewibaan.
Kita kembali dulu ke standar normatif tentang mengapa seseorang bekerja. Banyak argumen bisa dicatat untuk mendeskripsikannya, namun ada satu yang paling dasar yaitu cari uang. Sekali lagi, sebelum anda menuduh saya matre, perhatikan baik-baik bahwa mencari uang atau dibahasakan lebih santun mencariu rizki adalah kewajiban manusia yang dititahkan oleh-Nya. Selain itu, uang pun adalah kebutuhan yang membuat seseorang terdorong mengirimkan lamaran kerja.
Betul, anda bekerja karena memiliki kompetensi yang dibutuhkan lembaga. Atau bisa jadi anda dipanggil untuk bekerja dalam suatu bidang profesi karena anda punya minat besar (passion) dan hobby pada dunia tersebut. Atau bisa jadi ratusan alasan lainnya. Namun ada satu yang pasti bahwa pihak yang bersyukur dan bergembira saat mendengar anda bekerja mereka mendapatkan satu pemamahan sederhana bahwa anda (yang sudah bekerja itu) sudah mendapatkan "jalan" untuk hidupnya.
Jalan ini bisa jadi sekedar aktivitas, rutinitas, status, dan lainnya. Namun jangan tutupi juga bahwa jalan hidup pun bermakna kemampuan untuk memenuhi kebutuhan. Dan pemenuhan kebutuhan itu dengan uang, salah satunya.
Kembali kie tugas atasan. Seorang bawahan tidak memiliki "peluang" mendapatkan tambahan keuangan lainnya seluas atasan, demikian norma dasarnya. Sedangkan di lain pihak, tugas bawahan adalah membantu atasan, termasuk ketika sang atasan itu mendapatkan kesempatan uang tambahan.
Lalu apakah ketika atasan mendapatkan honor tambahan karena menjadi narasumber, misalnya, lalu bawahannya cukup diucapi terimakasih dengan sedikit pemanis bahwa sang atasan akan memperjuangkan karirnya? Rasanya, kebutuhan hidup seseorang tidak semuanya bisa ditunda mengikuti karir yang rata-rata penuh penundaan gegara salip-salipan alias tidak tertib. Bawahan dibebani kebutuhan hidup yang juga ada jangka harian, mingguan, bulanan dan seterusnya. Bukan hanya laporan kinerja yang dituntut harian, mingguan, bulanan dan seterusnya, kebutuhan hidup pun demikian.
Rasanyam I'm pretty sure bahwa butir ketiga ini adalah tugas yang paling dasar dan mengena, baik itu untuk atasan maupun bawahan. Terimakasih pada atasan yang sudah mengapresiasi kinerja bawahan dengan direct message, "Terimakasih Mas, komitmen anda luar biasa!". Tetapi, ingat baik-baik bahwa tidak hanya atasan itu yang butuh berwibawa saat tiba di rumah, pun demikian bawahan.
Saat malam larut dan sang bawahan baru tidak di depan kontrakan lamanya bersama Istri dan dua anaknya, sang bawahan itu duduk di bangku reot depan rumahnya. Bergumam seraya menghela nafas dalam "harus bagaimana lagi kubuktikan kinerja ku agar dapat dihargai dengan rupiah, walau hanya sekedar ada, tidak perlu cukup apalagi banyak".
Can't write any words, semoga Sang Maha Kuasa menjadikan rintihan para bawahan menjadi hidayah bagi para atasan tentang makna syukur dan sabar.
Seraya berdo'a untuk seluruh sahabat di Mamuju, Majene dan sekitarnya di Sulawesi Barat semoga selamat dari musibah bencana alam yang menimpanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar