Semua kita menginginkan kondisi pertama, ditugaskan untuk mengerjakan hal yang kita mau dan memang karena kita mampu. Kondisi ini disempurnakan dengan terbukanya ruang untuk mengartikulasikan kemampuan kita.
Berbeda dengan kondisi kedua yang bentuknya mau tapi tidak mampu. Kondisi ini bisa berbentuk kemauan kita pada satu pekerjaan yang sebetulnya kita tidak mampu. Kemauan itu bisa karena ambisi atau karena kita bermental challenger, suka pada tantangan.
Jika ambisi jabatan yang mendasari ke-Mau-annya, maka ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa ia tidak mampu. Ketiadaan kemampuan dalam sebuah kemauan adalah indikator kegagalan jabatan atau penyalahgunaannya.
Namun berbeda dengan kemauan karena berdasarkan kesiapan pada tugas apapun yang dipercayakan, karena kemauan seperti ini akan tersublimasi menjadi ketekunan dalam peningkatan kemampuan.
Kondisi yang ketiga adalah saat seseorang yang memiliki kemampuan dalam melaksanakan sebuah tugas tapi ia tidak mau untuk melaksanakan tugas itu atau tidak diberikan ruang yang cukup untuk mengartikulasikan kemampuannya.
Hal itu berbeda dengan ketidakmauan akibat dari dibatasinya ruang gerak untuk mengimplementasikan kemampuannya. Dalam kondisi kedua ini dibutuhkan komunikasi equal untuk membuka ruang agar kemampuan seseorang terejawantah.
Terakhir, kondisi dimana kemauan dan kemampuan sama-sama tidak ada. Nampaknya, ini yang paling berat. Coba kita urai bersama.
Seorang pegawai ditugaskan untuk sesuatu yang ia tidak maui dan ia pun memang tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh pekerjaan tersebut. Kondisi ini dapat dipahami dalam dua premis. Pertama, ia tidak mau pekerjaan itu karena ia tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan posisi itu. Kedua, ketidakmampuannya tidak mendorongnya untuk belajar karena ia tidak menyukai pekerjaan itu.
Pada bagian akhir ini, kami hendak mengalihkan pembicaraan kita dalam serial 3 tulisan ini dengan berfokus pada substansi keberadaan kita dalam sebuah organisasi. Organisasi manapun dibentuk pasti karena hendak merespons tuntutan publik. Jadi, pemenuhan kebutuhan publik itu yang menjadi pangkal dari keberadaan organisasi.
Kemauan dan kemampuan kita sebagai anggota sebuah organisasi harus tunduk patuh pada pemenuhan kebutuhan publik yang diharapkan dari organisasi tempat kita bernaung. Kemauan dan kemampuan harus diarahkan pada optimalisasi pemenuhan kebutuhan publik, bukan pemenuhan hasrat aktualisasi diri.
Artikel terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar