Senin, 12 November 2018

Memahami MAU dan MAMPU (Bag. 2)

Salah satu faktor yang membuat sebuah program tidak berjalan dengan baik adalah kebiasaan menganggap enteng kajian teoritik. "Jangan banyak teori, yang penting tuh kerja!" Demikian biasanya kita dengar. Gara-gara minim kajian teoritis, akhirnya program berjalan dengan landasan pengetahuan yang terbatas, abu-abu, tidak ajeg, dan mudah runtuh. Begitupun memahami MAU dan MAMPU akan kita udar secara teoritis pada bagian ini.

Mau atau Kemauan

Kenyataan dan keinginan sudah ditakdirkan acapkali berbeda. Keinginan hadir bukan menolak kenyataan, karena bagaimana bisa kenyataan ditolak lha wong sudah nyata (real and present).

Sebelum kita udar apa itu makna "mau", makna keinginan perlu dibangun ulang. Keinginan, sekali lagi, bukan lawan makna dari kenyataan karena pada dasarnya keinginan itu adalah hasrat yang juga untuk mewujudkan kenyataan, tetapi yang berbeda dengan kenyataan yang ada dan mewujud saat ini.

Keinginan menjadi faktor penting aktivitas kita. Tanpa keinginan, apapun yang kita lakukan akan hampa makna; tak jelas kemana hendak menuju. 

Saat tugas ringan nan sederhana dikerjakan tetapi tanpa kehadiran 'keinginan' didalamnya, maka pekerjaan itu mendera bak siksaan bagi sang pelakunya. Sebaliknya, saat tugas berat dan rumit ditimpakan kepada kita tetapi sesuai dengan keinginan kita, maka pekerjaan itu terasa panggung konser live music yang enak dinikmati. 

Mau adalah gambaran dari kehadiran hati, seperti keinginan. Mau adalah minat, kecenderungan, dan "gue banget". Tak perlu dijelaskan serumit apa sebuah misi, jika itu adalah yang ku mau, maka separuh misi itu sudah tuntas. 

Kehadiran "mau" pun merupakan indikator kuat ketinggian dedikasi. Tanpa perlu perintah, saat anda dipercaya melakukan sesuatu yang memang anda hobbi, gas poll anda laksanakan tugas itu. 

Gara-garu mau, kita akan sajikan sesuatu lebih baik dari yang diharapkan. 

Mampu atau Kemampuan

Hasil dari sebuah pekerjaan akan tercapai saat dikerjakan oleh orang yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh pekerjaan tersebut. Memiliki kompetensi disini dapat disederhanakan dengan memiliki kemampuan atau lebih singkat lagi, "mampu".

Ya, menyupiri mobil harus oleh supir mobil, menyupiri pesawat terbang harus oleh pilot. Inilah kemampuan atau kompetensi, tepatnya kompetensi teknis-pengetahuan. 

Ke-Mampu-an tidak hanya berpengaruh pada berhasil atau tidaknya sebuah tugas, tapi juga bagi yang merasa jabatannya tidak sesuai dengan kemampuannya ia akan berada pada dua pilihan; belajar hal yang sebelumnya ia tidak mampu atau patah arang karena ditempatkan pada jabatan yang tak dipahaminya. 

Namun selain itu, sesungguhnya kemampuan itu berpeluang untuk tidak berkontribusi sama sekali pada pekerjaan, yaitu ketika yang mampu itu tidak mau mengimplementasikan kemampuannya itu.

Ketidakmauan melaksanakan pekerjaan yang sesungguhnya dia mampui itu bisa karena banyak faktor, tetapi yang menjadi catatan disini adalah karena tidak selalu orang yang berkemampuan memiliki peluang atau ruang untuk menggunakan kemampuannya itu. 

Syndrome bahwa "orang mampu di republik ini dimusuhi" karena mentalitas pemimpin organisasi masih dominan mentalitas priyayi; anti-kritik, gila hormat, besar gengsi, dan ingin dilayani. Gagasan yang terbaik adalah gagasan pimpinan. Sepintar-pintarnya bawahan, ia hanya bekerja untuk mewujudkan gagasan pimpinannya. Nah, kondisi buruknya budaya kerja seperti ini yang paling potensial membunuh kemampuan seseorang menjadi hilang dan tidak berguna.

Lalu, manakah yang paling penting; pegawai yang berkemauan atau berkemampuan?

Bersambung ke Bagian 3 tulisan ini. [Mau versus Mampu (Bag. 3, tamat)]

Wassalam
WHS

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...